21 - Luka

76 34 29
                                    

Now Playing : Waktu Yang Salah — Fiersa Besari feat. Thantri Sundari

Happy reading!

***

Hari ini semuanya berjalan lancar. Aku ada praktek menari, dan itu berlangsung lancar. Ulangan harian Matematika dan Geografiku juga berjalan lancar. Kemudian, pulang sekolah ini, aku ada kerja kelompok di kelasku. Aku dan teman-teman di kelasku sedang berusaha menghias kelas untuk ulang tahun wali kelas kami besok.

Kini aku dan Kinan sedang berjalan menuju kelas, kami habis beli pernak-pernik di warung seberang sekolah. Tanpa sengaja, aku bertemu dengan Mirza di parkiran sekolahku.

“Nad, jadi nggak?”

Ah, astaga. Aku hampir saja lupa kalau hari ini aku mau jalan-jalan dengan Mirza.

“Hari ini gue harus ngehias kelas buat ulang tahunnya Bu Sita, Za. Lo maunya gimana?”

Mirza melirik ke arah Kinan, mungkin merasa nggak nyaman karena Kinan mendengar obrolan kami berdua.

“Nan, lo ke kelas duluan aja, ya? Nanti gue nyusul,” aku menatap Kinan, secara nggak langsung menyuruhnya pergi.

Kinan mengangguk, dan tanpa berlama-lama lagi, ia meninggalkanku berdua dengan Mirza.

“Kira-kira nanti lo pulang jam berapa?” tanya Mirza setelah Kinan benar-benar pergi.

“Mungkin jam 4 sore.” Ah ya, sekarang pukul 3 sore.

Mirza mengangguk-angguk. “Kalo ini gue pulang dulu, terus nanti gue balik lagi ke sekolah jam 4 sore buat jemput lo, gimana?”

Aku menatap Mirza ragu. “Lo nggak kerepotan?”

Mirza tertawa, kemudian menggeleng. “Enggak. Yang penting bisa jalan-jalan bareng sama Princess.”

Aku menahan senyumku. Duh, pacarku ini manis sekali. “Ya udah, nanti gue ngabarin lo lewat chat, ya.”

Mirza mengernyit. “Lo bawa HP?”

Aku mengarahkan telunjuk di depan bibirku, isyarat agar lawan bicaraku diam. “Diem-diem aja.”

Mirza tertawa. “Cebol gue udah berani, ya, sekarang?” Tangan Mirza mengacak rambutku.

Aku cemberut, kemudian membenarkan tatanan rambutku. “Kok manggil Cebol lagi, sih?”

Mirza tertawa. “Bercanda, Nad. Ya udah, kalo gitu gue pulang dulu, ya?”

Aku mengangguk. Mirza tersenyum, kemudian menaiki motornya yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri.

“Hati-hati, Za,” ucapku ketika Mirza sudah menyalakan motornya.

Mirza tersenyum, kemudian melajukan motornya, meninggalkanku dengan senyum yang masih bertengger di bibirku. Aku kembali ke kelas dengan perasaan riang setelah motor Mirza keluar dari sekolah.

Acara menghias kelasku berakhir lebih cepat dari yang kuperkirakan. Lima belas menit sebelum pukul 4 sore, aku, Kinan, Aurel, dan Hera sudah berjalan beriringan untuk berkumpul sejenak di warung seberang sekolah. Kami berempat melewati lapangan sekolah kali ini. Hera yang meminta, katanya mau lihat Kak Delvin main basket.

Ketika melewati lapangan, ada hal yang menyita perhatian kami berempat. Ada kerumunan di pinggir lapangan, di dekat selokan.

“Itu pada ngapain, ya? Kok rame-rame begitu? Kak Delvin juga kayaknya juga ada di situ,” Hera beropini.

“Coba liat, yuk!” ajak Aurel.

Aku bergidik. “Dih, males banget, itu cowok-cowok semua gitu.”

Axiomatic (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang