14 - Runtuh (Bagian 2)

85 53 19
                                    

Happy reading!

***

Hari ini hari Senin. Sejak pagi sampai pulang sekolah, aku masih merahasiakan tentang Mirza yang ke rumahku malam Minggu itu dari teman-temanku. Karena aku tahu, kalau aku cerita pada mereka, pasti mereka menyuruhku langsung menolaknya.

“Nad!”

Tubuhku bergetar. Aku kaget ketika tiba-tiba ada suara dari belakangku, diikuti kedua tangan yang memegangi bahuku. Aku menoleh ke belakangku, dan mendapati Mirza yang tersenyum jahil.

Aku mendengus. “Lo ngapain, sih?” tanyaku sewot.

“Eh, nggak boleh marah-marah sama calon pacar.”

Tuh, kan. Gimana aku mau menolaknya kalau ia dengan percaya dirinya yakin kalau aku akan menerimanya?

Aku berbalik badan, kemudian berjalan ke depan, berniat segera keluar dari sekolah dan meninggalkan makhluk menyebalkan yang hobinya membuat hatiku jedag-jedug itu.

“Nad,” panggilnya lagi, sembari menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.

“Hm?”

“Lo udah ada jawaban dari pertanyaan gue waktu itu?”

Aku menahan napas. “Kayaknya lo nggak pernah nanya apa-apa, deh.”

Mirza menghela napasnya. “Lo lupa, ya?”

Aku diam saja.

“Kalo gitu gue ulangin.”

Oh, tidak.

“Lo mau nggak jadi pacar gue?”

Argh!

Bibirku masih tertutup rapat, tapi jantungku sudah berisik sekali dari tadi. Aku lanjut berjalan tanpa mengatakan apa-apa, mengabaikan Mirza. Sebenarnya aku sudah mempertimbangkan jawaban yang tepat untuk Mirza, tapi sampai sekarang aku masih ragu.

“Nad?”

Aku menarik napas panjang. “Ya udah.”

“Ya udah gimana?”

“Yaa ya udah.”

“Iya, ya udah gimana maksudnya?”

Aku menghentikan langkahku, kemudian menatap Mirza dengan pandangan kesal. “Maksudnya, ya udah, gue mau!”

“Mau apa?”

Aku menggeram. “Nggak bakal gue ulangin lagi!”

Mirza tertawa. Ia kembali menyejajarkan langkahnya dengan langkahku. “Asik! Mulai hari ini gue punya pacar, hahaha.”

Aku mengalihkan pandanganku, merasa malu mendengar ucapannya. Ya, akhirnya aku menerima Mirza menjadi pacarku, pacar pertamaku. Aku tak menuruti perkataan teman-temanku, termasuk Van. Aku memberi Mirza kesempatan, karena walaupun ia menyebalkan, ia laki-laki yang baik. Yah, semoga saja ini bukan keputusan yang salah.

“Mau pulang bareng, Nad?” tawarnya.

Aku menggeleng. “Nggak, soalnya nanti Papa gue jemput. Takutnya pas dia jemput gue, nanti gue nggak ada. Kan kasian.”

Mirza cemberut. “Yah, padahal gue ada niat ngajak lo jalan bareng.”

Aku tersenyum jahil. “Cie, mau ngajak gue nge-date, ya?”

Mirza tertawa. “Nggak ada salahnya, kan, ngajak pacar sendiri nge-date?”

Aku menahan senyumku. “Kita jajan bareng aja.”

Axiomatic (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang