Happy reading!
***
Aku berjalan memasuki sekolah sambil mengamati sekitarku. Sekolahku masih lumayan sepi. Setelah menyapa Pak Joni, satpam yang berjaga di gerbang sekolah, aku kembali berjalan menuju kelasku yang berada di lantai atas. Hanya butuh dua menit untuk sampai di depan kelasku. Tanganku mulai menggerakkan kenop pintu kelasku, untuk membuka pintu kelasku yang di dalamnya masih kosong. Belum ada orang sama sekali. Baru saja mau melangkah memasuki kelasku, tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahuku, membuatku kaget.
“Kenapa lo? Kaget? Emangnya gue setan?” Ia menyeringai.
Aku berdecak. Itu Mirza.
“Lo masih ngambek sama gue, Nad?” Mirza tertawa.
“Nggak ada yang ngambek,” jawabku sambil mengalihkan pandanganku dari Mirza.
Mirza cuma senyum-senyum. Setelah itu ia merogoh sesuatu di kantong celananya. Aku melirik ke arahnya, kemudian menyipitkan mata. Apa itu? Gantungan kunci?
“Nih,” ia menyerahkan gantungan kunci bintang-bintang itu kepadaku. “Buat lo.”
“Hm?” Aku mengernyit, tapi setelah itu aku menerima pemberiannya. “Bintang?”
“Iya.”
“Kenapa bintang?” tanyaku penasaran.
“Karena gue suka bintang.”
Aku tertawa. Alasannya terdengar seperti alasan anak TK. “Udah? Gitu doang? Apa hubungannya sama gue?”
Mirza tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas ada. Gue suka bintang. Gue juga suka lo. Tapi gue lebih suka sama lo dibanding sama bintang.”
Aku menahan senyumku sekuat mungkin.
“Nah, kan lucu jadinya ngeliat yang gue suka bareng-bareng. Jadi, lo pake ya gantungan kuncinya?”
Aku tersenyum tipis. “Mm-hm,” aku mengangguk-anggukkan kepalaku. “Tapi kenapa lo nggak langsung aja ngajak gue liat bintang? Atau apa gitu kek.”
Mirza menyeringai. “Oh? Lo mau ngajak gue liat bintang-bintang bareng? Lo ngajak gue nge-date?”
Aku melotot. Oh, astaga. Aku merasa harga diriku ternodai kalau sampai mengajak manusia di depanku ini nge-date.
“Ya nggak lah! Pengen banget lo.”
Mirza terkekeh. “Yaa, gapapa, kan? Gue cuma mau ngasih lo doang. Lumayan, kan, buat kenang-kenangan?”
Aku melihat ke arah gantungan kunci bintang yang sekarang sedang kugenggam sambil tersenyum. “Iya.”
“Eh iya, lo berarti udah nggak marah sama gue, kan?”
Aku tertawa. “Enggak, Za, enggak.”
“Ehem!”
Aku dan Mirza sama-sama menoleh. Itu Kinan dan Lea.
“Masih pagi udah pacaran aja,” Kinan mencibir.
“Pagi-pagi udah ngebucin. Sebel banget gue selalu ditakdirkan buat ngeliat keuwuan orang lain,” Lea ikut menggerutu.
Aku terkekeh, kemudian menyingkir, memberikan jalan untuk Kinan dan Lea yang masih meledekku. Setelah mereka masuk, aku kembali menoleh ke arah Mirza.
“Gue ke kelas, ya?”
Aku mengangguk.
“Belajar yang bener, Bol. Biar banggain pacar lo.”
“Kok lo manggil gue Cebol lagi, sih?” Aku berteriak, mengomelinya sambil tertawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Axiomatic (Telah Terbit)
Fiksi RemajaNada Akeela Kirana, perempuan yang manis, namun sulit untuk membuat keputusan. Ia bersahabat dengan Malik Van Leonard, cowok cool yang kakek buyutnya orang Belanda, dari SMP kelas satu. Lalu ia bertemu dengan Mirza Mahendra, cowok paling menyebalkan...