19 - Bukan Kesalahan (Bagian 1)

55 33 18
                                    

Now Playing : Karena Aku Tlah Denganmu – Ari Lasso feat. Ariel Tatum

Happy reading!

***

Aku berjalan santai ketika sudah memasuki gerbang sekolahku. Perhatianku yang tadinya tertuju pada  jalan yang sedang kutapaki langsung teralihkan ketika aku mendengar deru motor yang keras dari belakangku. Tak perlu waktu lama bagi motor itu untuk menyalipku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali pengendara yang baru saja menyalipku itu. Ah, dari punggungnya saja aku sudah kenal. Itu cowok paling menyebalkan sedunia.

“Hai, Za!” sapaku ketika melewati Mirza yang baru saja turun dari motornya.

Tapi bukannya membalas sapaanku, ia justru menatapku tajam.

Aku mengernyit. “Lo kenapa?”

“Lo kemarin pulang bareng sama Malik, ya?”

Tubuhku seketika menegang. “Lo tau dari mana?”

“Lebih penting lo jelasin ke gue kenapa lo bisa pulang sama Malik, atau gue jelasin ke elo kenapa gue bisa tau?”

Aku meringis ketika mendengar pertanyaan sarkasmenya. “Maaf, Za, gue nggak ijin atau cerita sama lo.” Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya, bersiap untuk menceritakan seluruh kronologisnya kepada Mirza. Mirza diam saja, dan aku bersyukur karena ia masih mau mendengarkan penjelasanku. “Kemarin Mama Papa gue pergi ke luar kota. Pas berangkat ke sekolah gue emang dianter sama mereka, tapi pas pulang sekolahnya enggak, karena ternyata mereka masih di perjalanan pas gue pulang sekolah. Terus, gue nelepon elo buat minta jemput, tapi lo nggak ngangkat telepon gue. Habis itu–”

“Oh? Jadi lo nelepon gue itu buat minta jemput?” Mirza memotong penjelasanku.

Aku mengangguk, kemudian lanjut menjelaskan, “Habis itu, gue nelepon Lily. Dia ngangkat telepon gue, tapi sayangnya dia lagi di pasar sama Ibunya, jadi nggak bisa nganter gue pulang. Lily nyaranin gue buat minta Van nganter gue pulang. Tadinya gue nggak mau, tapi ya udah. Mau gimana lagi?” Aku menunduk. “Maaf, ya, Za.”

“Kenapa lo nggak mesen ojek online aja?”

Pertanyaan Mirza membuat jantungku berdegup cepat. Duh, aku sama sekali nggak kepikiran hal itu. “Duit gue abis, Za. Dan pas itu posisinya rumah dikunci semua, kuncinya dibawa Naufal, jadi gue nggak bisa masuk ke dalem rumah buat ngambil duit,” aku mencoba mencari alasan. “Maafin gue, ya?”

Mirza menghela napas. “Nad, lo nggak bisa, ya, manggil Malik, tuh, Malik aja, bukan Van?”

Aku tertegun. “Maaf, Za, udah kebiasaan.”

Mirza menghela napas gusar. “Gue nggak suka, Nad. Gue nggak suka lo nyebut dia ‘Van’ di depan gue. Kesannya kayak dia punya panggilan spesial dari lo.”

Aku meringis. “Maaf, Za. Maaf, nanti gue biasain kalo lagi di depan lo nggak manggil dia ‘Van’.”

Mirza mengangguk. “Ya udah, deh, gapapa. Gue mah baik. Tapi jangan diulangin lagi, ya. Gue nggak suka soalnya.”

Aku mengangguk, lalu tersenyum. “Lo cemburu ya?”

Mata Mirza langsung membesar ketika mendengar ucapanku. “Gile aje lo!”

Aku mencibir, tak percaya dengan pembelaannya.

“Ya jelas gue cemburu lah! Gue, kan, pacar lo. Wajar, kan, kalo gue cemburu liat pacar gue diboncengin cowok lain?”

Aku tertawa. Ah, Mirza itu lucu sekali. “Kemarin lo juga ngeboncengin Dina.”

“Beda. Kalo Dina, dia cuma kenalan gue doang. Kalo Anu, dia sahabat lo.”

Aku tertawa ketika mendengar Mirza memanggil Van dengan ‘Anu’. “Iya, Za. Ya udah, gue minta maaf banget, ya.”

Mirza tersenyum, kemudian mengusap rambutku pelan. “Princess mah selalu dimaafin.”

Aku ikut tersenyum, kemudian aku dan Mirza berjalan bersama. Sambil berjalan, aku membuka pembicaraan baru lagi. “By the way, besok lusa gue mau ada kerja kelompok di rumah temen gue pas pulang sekolah.”

Mirza hanya mengangguk-angguk. Aku melanjutkan, “Tapi gue bingung. Di kelompok gue ceweknya lima, cowoknya dua. Nah, empat cewek itu udah ada barengan berangkatnya. Gue jadi nggak ada tebengan. Terus Danu, eh, dia temen lo juga, kan, ya? Nah, dia ngajak gue bareng ke tempat kerkomnya. Boleh, kan, kalo gue berangkat bareng dia?”

Mirza menyipitkan mata. Aku tau Mirza sering main ke kelasku, lalu mengobrol dengan Danu. Tapi matanya melirik ke arahku. Haha! Hei, aku serius, bukan cuma halu.

“Nggak boleh,” jawabnya tegas.

“Lho? Kenapa? Ini, kan, masalah kelompok. Lagian juga gue nggak ada apa-apa kok sama si Danu.”

Mirza menatapku serius. “Lo tau nggak kenapa akhir-akhir ini gue jarang ke kelas lo dan jarang juga ngobrol sama Danu?”

“Kenapa emang?”

“Soalnya gue perhatiin si Danu ada ketertarikan sama lo.”

Aku tertawa. “Lo tau dari mana?”

“Lo jangan kira gue nggak tau, ya. Lo sering, kan, disamperin si Danu terus si Danu belagaknya nanya-nanya PR ke lo?”

Aku mengangkat bahu. “Dia cuma nanya PR doang, Za.”

“Itu, kan, menurut lo,” Mirza memutar bola matanya. “Gue liat kok setiap dia nanya kakinya deket-deket ke arah lo. Ah, picik emang, tuh, orang.”

Aku tertawa kencang. Astaga. Mirza lucu sekali kalau cemburu.

“Terus gue juga sering lewat kelas lo diem-diem. Gue sering liat kalo si Danu, tuh, ngeliatin lo mulu. Bukan cuma Danu malah. Si Vito yang duduk di belakang lo itu juga ngeliatin lo mulu.”

Aku mengernyit. “Vito?” Setahuku, Vito itu anaknya pendiam sekali. Rasanya aneh kalau ternyata dia sering memperhatikanku.

Mirza mengangguk mantap. “Lo tau nggak sih? Masalahnya, dia itu ngeliatin lo tatapannya aneh banget. Mana sambil jilat-jilat bibir lagi.”

Aku bergidik ngeri. “Udah ah. Nggak usah dibahas lagi itu.”

Mirza mengangkat bahu. “Ya udah. Tapi lo hati-hati, ya.”

“Iya, Za.”

Sekarang, aku sudah sampai di depan kelasku.

“Besok lusa lo kalo kerkom gue anterin, ya?”

Aku tertawa. “Nggak usah, nggak usah.”

“Lah? Kenapa?”

“Sebenernya gue tadi cuma bercanda doang, pengen liat aja reaksi lo gimana, hahaha.”

Mirza memutarkan bola matanya. “Jadi? Nanti pas kerkom lo dianter siapa?”

“Sama temen gue, cewek kok. Tenang aja.”

Mirza tersenyum kecil. “Ya udah. Kalo gitu gue ke kelas dulu, ya.”

“Iya.”

“Belajar yang bener, ya. Banggain pacar lo.”

Aku tersenyum lebar, senang mendengar pesannya yang manis itu. Yah, walaupun aku sudah mendengar pesannya yang itu sampai berulang-ulang, tapi rasanya aku nggak bosan sama sekali. Aku senang, senang sekali. “Iya, Za. Lo juga, ya.”

Mirza tersenyum, kemudian membalikkan badannya dan berjalan menuju kelasnya.

Setelah itu, seperti biasa, aku cuma melihat punggung Mirza dengan senyum mengembang.

***

Halo! Part 19 kubagi jadi dua ya. Bagian 2-nya bakal ku-upload besok.

Makasih ya udah baca ceritaku. Jangan lupa buat vote ceritaku ini ya, karena satu vote dari kalian itu berharga banget buat aku. Makasih!

Sayang selalu,

Fajar Asa

Axiomatic (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang