Bagian1

27 4 0
                                    

Tidak kuasa rasanya membiarkan ibu bekerja. Sementara beliau beberapa kali meringis kesakitan. Dan aku lihat kakinya semakin lama semakin besar saja. Mungkin bukan kemunculan yang besar, jika tidak di amati dari hari-hari sebelumnya. Kakinya yang bengkak itu tidak terlihat seperti sebuah penyakit. Selintas hanya sebuah daging berlemak saja. Orang pasti tidak melihat ada yang berbeda. Tapi bagiku sendiri, ia nampak telah letih. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja. Harusnya aku cukup punya banyak waktu di rumah. Dan membantu sebagian dari pekerjaannya. Meskipun hanya aku sendiri yang merasakan perbedaan itu. Nyatanya tidak ada yang aku kerjakan untuk membuatnya beristirahat. Selain memang harus menyelesaikan tugasku sendiri, ibu juga melarangnya. Barang kali karena aku cukup khawatir padanya. Apa lagi beliau banyak berkata yang tidak-tidak di masa terakhir studiku. Aku harap umurnya panjang sampai detik-detik terakhir nanti.

Waktu sudah mulai menunjukan pukul sepuluh. Tanda tubuh harus segera berganti pakaian. Juga berganti ruang dan dunia. Dengan perasaan ragu, aku jumpai tubuh wanita itu pada meja kerjanya. Kemudian aku raih tangan halus itu untuk meminta restunya. Rasanya begitu hangat, ketika tangan kanan itu ku cium. Tanda beliau begitu keras dan sibuk dalam mengerjakan tugasnya. Aku pun harus melakukan hal yang sama. Semua ku persembahkan untuk kebahagiaannya. Kembali tangan kananku menengadah. Berharap tangan kanannya memberikan cukup banyak rupiah. Dan benar saja, ia memberikan apa yang aku minta, tanpa sekali pun bertanya untuk apa. Memang tidak banyak jumlahnya. Tetapi cukup untuk semua perjalananku hari itu. Lembaran rupiah di tangan membuatku tertegun beberapa saat. Cukup miskin bagiku jika harus menyisakan uang itu untuk keperluan lain. Sebab tidak mungkin tersisa. Juga tidak tahu bagai mana cara menghabiskannya. Meski pun aku tahu, akan ku gunakan untuk apa.

Bangunan kota, hilir mudik pedagang kaki lima, ogah di pertigaan jalan, dan kemacetan telah melupakan pikiranku kepada ibu. Lampu lalu lintas berwarna merah, tanda kendaraan roda empat dan dua harus berhenti sejenak. Aksi bocah kecil dengan baju loreng merah putih penuh keberanian. Dimainkannya cambuk itu berkali-kali, hingga menghasilkan bunyi. Entah kenapa aksi bocah itu dibiarkan. Barang kali ia tidak punya cara lain untuk bertahan hidup. Tapi sayang sekali, bocah itu datang kepada orang yang salah. Aku sama sekali tidak memberikannya apresiasi. Selain membuka tangan dan mengangguk. Kemudian aku amati bocah itu dengan iba. Kepadaku ia tidak mendapatkan hasil, lantas pemain cambuk itu datang kepada beberapa salah seorang pengendara roda dua dan beberapa sopir angkutan umum. Tetapi hasilnya sama saja. Tiba-tiba lampu telah menyala hijau, tanda pedal gas harus segera ditarik.

Pada gedung itu semua pikiran ini dikumpulkan. Berharap semua tugas dapat ku selesaikan tepat waktu. Tapi aku harus menyambangi tempat yang lain terlebih dahulu. Aku bergegas memburu waktu setelah selesai memarkir motor. Sinar matahari mengiringi langkah kakiku yang terburu-buru menuju tempat fotokopi. Pada tempat itu aku melihat banyak sekali mahasiswa berlalu lalang di sana. Dan membuat antrian yang cukup panjang. Waktuku tidak banyak untuk menyiapkan naskah penelitian. Hanya tinggal beberapa menit lagi. Semua naskah harus dipersiapkan. Jika tidak demikian, jadwal bertemu dengan dosen pembimbing nanti akan cukup mengecewakan. Pasalnya beliau meluangkan waktu bertemu di luar jam biasa. Sebab selama dua minggu tidak satu pun bab yang ku berikan. Sementara waktu bimbinganku sedikit lagi selesai. Benar saja, sudah satu jam aku menyiapkan naskah itu. Lima belas menit lebih lama dari yang dijanjikan. Pada pukul sebelas, jarum panjang menunjuk angka tiga. Sudah pasti bapak dosen akan memberikan teguran. Tapi biarkan sajalah. Yang terpenting naskah sudah siap dan aku tidak kehabisan uang karena itu.

Di ruang perpustakaan yang dingin, semuanya terlihat berbeda. Untuk saja bapak dosen belum berada di sana. Sudah menjadi hal yang wajar bagi seorang murid untuk duduk menunggu. Maka aku lakukan itu dengan sepenuh hati. Aku mencari bangku kosong pada ruangan, lalu menyediakan kursi di samping ku. Agar dosen tidak perlu lagi mencari tempat. Di sana ku lihat pemandangan baru. Tidak banyak mahasiswa memadati ruangan. Sehingga aku merasa cukup nyaman. Pada ruangan itu tidak ku jumpai mahasiswa duduk santai menyeruput kopi atau sekedar menghisap segaret. Orang-orang nampak khusu melihat kumpulan kertas bersampul warna-warni. Sebenarnya tidak seperti penglihatanku. Sebab mereka bukanlah mahasiwa baru, atau memang bukan karena hanya ingin mengisi waktu luang. Terlihat dengan jelas buku yang mereka pilih. Semuanya terlihat sama, namun dengan judul yang berbeda. Sudah ku pastikan, mereka pun tengah dalam posisi yang sama denganku. Yaitu mengejar tugas akhir studi.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang