Bagian10

2 1 0
                                    

Ruangan kamar itu terasa sepi, juga seluruh isi rumahku. Padahl bola mata dalam foto itu menatap tajam seluruh ruangan. Mungkin aku akan tetap membiarkan foto ibu terpampang di sana untuk selamanya. Pada dinding kamar itu, wajahnya dan wajahku beradu. Tapi wajahku dan wajahnya tidak saling menangkap satu sama lain. Kini wajah ibu begitu rata, sementara wajahku masih tetap ingin melihat wajahnya yang dengan diam tersenyum tanpa suara. Aku juga masih menyimpan beberapa wajahnya di dalam album keluarga. Setidaknya ibu sudah pernah melihatku mengenakan toga pada wisuda tahun lalu. Ia juga sudah mendengar dari mulutku sendiri, kalau aku sudah bekerja. Jadi aku tidak boleh menyesal atas kepergian itu. Hanya saja melihat wajahnya selalu membuatku rindu.

Tidak hanya kepada dinding kamar dan benda di dalam seluruh ruangan yang membisu. Dunia pun terasa begitu sepi dan tidak menarik lagi. Orang-orang memberikan kalimat bela sungkawa sesaat setelah melihatku. Juga kawan-kawan di komunitas, saudara satu angkatan saat Sekolah Menengah, Sampai rekan-rekan satu profesi pun ikut mengucapkan kalimat yang sama. Juga datang dari beberapa perempuan yang pernah aku dekati. Mereka mengucapkan bela sungkawa yang terdalam atas meninggalnya ibuku. Jujur sekali, aku tidak menyukainya. Ponselku berisi banyak sekali pensan semacam itu. Sementara aku sendiri tidak pernah membuka atau membalasnya. Ini bukan karena aku membenci meraka, sama sekali tidak. Sebab yang ku mau bukanlah rasa kasihan. Sama sekali tidak akan bisa membuatku merasa cukup baik. Semakin sering ku dengar kalimat semacam itu masuk ke dalam telinga, maka semakin sering hati tertusuk dan menderita. Aku ingin berada dalam waktu ku sendiri, sepi dan sendirian.

Sayang sekali, aktivitas, tugas dan tanggung jawab tidak membiarkanku tenang dalam kesepian. Ia kembali memberikan tuntutan untuk aku selesaikan. Aku harap di luar sana semua orang mulai berhenti mengucapkan kalimat bela sungkawa. Mudah-mudahan saja, ucapan seperti itu hanya ada di dalam dunia maya saja. Jadi aku tidak perlu khawatir saat harus berpergian. Tidak akan takut dengan apa yang akan orang katakan kepadaku. Aku sangat menyesal dengan semua yang pernah terjadi ini. Tapi gerbang sekolah memintaku untuk segera kembali mengajar. Sementara aku sendiri belum tahu, apa isi laporan Brewok selama aku tidak ada. Sudah pasti masalah akan menjadi bertumpuk, dan banyak hal-hal yang aku lewatkan. Tapi aku sendiri memang sudah memilih untuk berada di kampung halaman semenatara waktu, tentunya setelah pemakaman itu selesai. Menyendiri dalam waktu dua minggu memang tidak sebentar. Dan semoga saja, doa yang aku sampaikan kepada Tuhan sudah cukup untuk menghapus rasa rindu itu.

Pagi yang baru untuk semua aktivitas sebagai guru bahasa. Gedung sekolah tetap megah dengan pancaran warna kebiru-biruan. Para siswa terlihat senang melihat kedatanganku, meraka berterikan menyebut namaku dari depan kelas. Aku sempatkan waktu untuk menyapa mereka satu persatu sebelum menghadap rekan-rekan guru yang lain. Mereka saling bertanya tentang ketidak hadiranku beberapa hari lalu. Tapi aku tidak menjawab secara gamblang. Sebab yang terpenting adalah semua sudah kembali. Suasana di depan kelas semakin rius, para siswa berbondong-bodong datang menghampiriku. Mereka menjabat tanganku lalu bertanya seperti yang lain. "Bapak kemana saja?" Celetuk salah seorang siswa bertubuh besar.
"Ada keperluan di kampung halaman." Jawabku.
"Palajaran kita bagai mana Pak?" Tanya salah seorang siswi bertubuh agak pendek.
"Minggu ini akan kita mulai lagi. Tenang saja tidak ada yang harus dikebut." Ucapku memberi jawaban.
"Baik Pak."

Suasana di depan siswa tentu saja jauh berbeda ketika kaki telah melewati pintu ruang guru, rekan-rekan seprofesi tidak coba menanyakan sesuatu. Mereka hanya menyapaku dengan renyah saja, tanpa berusaha mengucapkan kalimat bela sungkawa. Sepertinya mereka sangat paham dengan perasaan yang aku bawa ini. Sangat tidak mudah untuk memulai aktivitas baru di saat hati sedang memulihkan diri. Kepala sekolah pun hanya menjabat tanganku kemudian mengucapkan kalimat selamat datang. Beruntung sekali aku masih disambut hangat oleh para siswa dan rekan-rekan seprofesi. Padahal sudah dua minggu absen dari rutinitas mengajar. Ketika bel berbunyi, aku bergegas menuju ruangan kelas. Tidak boleh menghabis-habiskan waktu untuk berkeluh kesah terlalu lama. Juga tidak baik terus menerus menceritakan kemalangan. Aku datang ke sekolah hendak menghapus kemalangan itu. Jadi tidak boleh sampai dilewatkan kesempatan kedua ini. Sebab bisa saja Kepla Sekolah meberhentikanku kapan saja dengan alasan kekosongan. Waktu dua minggu ada hal yang sangat penting bagi para siswa sebelum ujian. Dan aku telah menggunakan waktu selama itu untuk merenungi nasib. Sangat berdosa rasanya jika diri tidak dapat bangkit. Di dalam kelas, para siswa masih menyimpan pertanyaan yang sama. Namun aku mencoba untuk menahan diri, sebab rasanya tidak enak untuk menceritakan pengalaman buruk ini. Tetapi mereka terus saja bertanya tentang apa yang baru aku alami. Dengan terpaksa, aku berjanji akan menceritakannya jika materi pembelajaran telah usai. Itu pun kalau masih ada waktu. Dan benar saja mereka menuntut cerita itu. Setelah kita lihat waktu, ternyata masih tersisa lima belas menit lagi. Aku tidak bisa mengelak kali ini. Dan harus memenuhi semua janji itu. Lantas aku coba menguatkan diri untuk menceritakannya.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang