Bagian6

9 1 0
                                    

Gedung Sekolah Menengah itu terlihat kokoh dengan pancaran warna birunya. Burung-burung beterbangan memutari pelataran. Sementara aku memilih untuk duduk di bawah tiang bendera. Menyaksikan kekosongan ruang untuk kembali mengisi kepala. Di dalam hari kecilku bertanya-tanya. Benarkah Dhemit itu ada. Atau keberadaan mereka hanyalah sebatas imajinasi semata. Aku tidak tahu pasti kebenaran akan semua cerita mahluk tak kasat mata itu. Sementara di dalam naskah karya Heru, semua dialog telah tertulis rapih dengan nama-nama mereka. Mereka adalah Genderuwo, Wilwo, Egrang, Kuntilanak, Jin Pohon Preh dan Sawan. Siapakah mereka sebenarnya, kenapa penulis lebih mengambil sifat mereka yang seperti manusia. Jangan-jangan mereka memang berasal dari sifat manusia. Tokoh jagat halus yang diambil dari kegagalan manusia dalam mengekspresikan ketakutannya terhadap sesuatu yang tidak pernah ada. Atau mungkin memang Dhemit diciptakan melalui cerita dengan tujuan hanya untuk memberikan teguran kepada manusia. Untuk melihat lebih jauh ke sana, alangkah baiknya jika aku mengetahui apa yang ingin penulis sampaikan di dalam naskahnya. Tidak masalah, hari masih terlalu panjang untukku.

Tiba-tiba saja matahari terasa begitu panas. Rupanya ia sudah berada di ubun-ubun kepalaku. Pertanda waktu siang sudah menjelang. Beruntung sekali, hari itu aku hanya mengajar dua kelas saja. Jadi sisa waktu yang masih masih bisa sebelum pukul empat, aku gunakan untuk memikirkan konsep pertunjukan. Tetapi tempat itu sudah tidak lagi mengindahkanku. Lantas aku memilih untuk berpindah tempat, mencari perenungan.

Di ruangan kosong pada lantai tiga. Barang-barang bekas berserakan di sana-sini. Banyak sekali papan-papan yang telah lama tidak digunakan. Keadaannya pun sudah tidak layak lagi. Aku juga menjumpai beberapa alat peraga seperti tubuh manusia dan tulang tengkorak. Seketika tubuhku bergetar melihat penampakan itu. Padahal apa yang aku lihat hanyalah benda mati biasa saja. Mendadak diri tidak merasa nyamab lagi dengan kondisi ruangan itu. Seperti adan sesuatu yang aku lewatkan, lantas aku kembali masuk ke dalam ruangan itu. Aku berpikir bahwa sesuatu telah terjadi kepadaku. Ya, itu berupa perasaan takut, khawatir, tidak nyaman, dan segala sesuatu yang tidak nampak percampur aduk di dalam pikiranku. Semua itu sering disebut dengan istilah perasaan negatif atau kekuatan negatif yang membuat diri kita merasakan kehadiran sesuatu. Entah dari mana perasaan itu muncul. Mungkin karena kakek sering sekali menceritakan kisah-kisah horor kepadaku. Sehingga pikiranku memunculkan imajinasi itu. Sebuah narasi yang teramat menakutkan. Mungkinkah dari sini semua perasaan takut itu muncul.

Konsep itu kutulis begitu panjangnya. Sehingga mungkin orang lain akan melihat bahwa konsep ini tekah matang dan selesai. Padahal diriku sama sekali belum puas. Rasanya masih ada hal lain yang belum aku mengerti. Tapi aku harus bisa mengambil salah satunya saja. Lalu memegang teguh satu sudut pandang itu sebagai kendalinya. Ya, seketika aku dapat menyimpulkan. Bahwa Dhemit yang Heru maksud tentu saja manusia itu sendiri. Mahluk yang paling buas di jagat kasar ini, melebih dari apa pun. Manusia dapat melakukan apa saja dengan pikirannya. Sifatnya yang tamak dan serakah telah melupakan tanggung jawab dirinya kepada Tuhan. Sehingga mereka mendapatkan balasan atas semua kerusakan-kerusakan yang mereka perbuat sendiri.

Haru juga menyinggung soal pembangunan. Adalah seorang Rajegwesi yang begitu tamak dan perhitungan. Ditemani seorang perempuan bernama Suli yang pintar namun tidak berdaya melawan kemunafikan. Di kubu lawan terdapat dua tokoh penting, yaitu sesepuh desa dan pembantunya. Tentunya mereka berdualah yang berupaya menggagalkan rencana Rajegwesi merobohkan pohon keramat untuk membangun jembatan itu. Ini lah sumber masalahnya. Dan karena itu para Dhemit berusaha berkualisi dengan manusia.

Sebenarnya, aku sudah bisa melihat garis lurusnya. Pembangunan memang kerap menghancurkan sifat tradisional manusia. Inilah kemodernan yang memberikan janji-janji kemewahan dan kesejahteraan. Pada masa modern seperti yang telah lewat sampai detik ini, manusia dapat bermukim di mana saja. Semuanya berkat jasa-jasa pembangunan. Lambat tahun akan mengikis kecintaan manusia terhadap tanah lahirnya sendiri. Karena manusia akan lebih memilih hidup sesuai taraf kemewahan, ketimbang bertahan hidup di tanah daerah tradisional yang serba sederhana dan barang kali penuh jerit kemiskinan.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang