Bagian9

4 1 0
                                    

Akhir bulan Desember sudah di depan mata. Rekan-rekam komunitas memilih untuk pergi berlibur. Ada yang pulang ke kampung halaman. Dan ada pula yang memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, kerabat ataupun pacar. Tidak seperti diriku yang entah mau kemana. Pulang ke kampung halaman dan berjumpa lagi dengan ibu adalah hal mustahil. Sebab tidak banyak rupiah tersimpan dalam dompet ku. Mungkin aku bisa pulang dan menginjakkan kaki di sana. Tetapi setelah itu, aku akan kehabisan cara untuk kembali ke kota. Alhasil aku lebih memilih untuk menyendiri di sudut kecil rimba raya. Menahan segala rindu yang tidak kunjung terobati.

Pada pagi hari jelang Natal, bapak menghubungiku kembali melalui ponselnya. Tentunya itu adalah saat-saat yang paling aku tunggu-tunggu. Apa lagi kalau bukan mendengar suara ibu. Dan syukur sekali, Tuhan mengabulkan doa-doa ku di malam hari. Kabar baik datang dari tempat yang jauh di sana. Keadaan ibu sedang membaik, namun belum bisa beranjak dari tempat ranjangnya. Bapak juga menambahkan, kondisi ibu cukup bugar dan nafsu makannya pun membaik. Beliau tidak menyisakan satu butir nasi pun, buah-buahan juga tidak dilewatkannya. Aku cukup senang mendengar kabar tersebut. Lantas aku meminta bapak untuk memberikan ponselnya kepada ibu. Maksudku adalah untuk memastikan sekaligus ingin sekali mendengar suara khasnya. Persis sekali apa yang dikatakan bapak, suara ibu terdengar cukup merdu di sana. Tidak ada tanda-tanda lelah, apa lagi putus asa. Ia beberapa kali mengucap syukur ketika aku bilang keadaan di sini baik-baik saja. Sampai telepon itu ditutup, aku dapat bernafas dengan lega.

Hari yang cerah terasa menunggu di depan. Sementara kabar dari ibu di sana memberikan semangat tersendiri bagi ku. Aku cukup punya tenaga untuk menyusun hari ke depan. Meskipun sedikit kekurangan biaya. Tapi dengan bekal hidup minimalis, semua terasa sama bahagia. Aku mulai bisa mengatur waktu dan isi dompet. Meskipun terkadang harus mengonsumsi mie instan untuk beberapa hari ke depan. Sebagai seorang tamu yang baik aku tidak boleh menampilkan kekurangan itu. Jadi kawan pun tidak merasa iba terhadapku. Ya, setelah mendapat kabar dari kampung halaman sana, aku bergegas pergi menemui Ami. Kali ini perjumpaan kami bukan karena perasan antara kawan saja. Melainkan aku punya misi tersendiri. Tidak butuh waktu yang terlalu banyak untuk sampai di rumah itu. Pemilik rumah sendiri tidak berkeniatan untuk pergi. Kini Ami bekerja pada sebuah perusahaan jasa simpan pinjam. Ia tidak terlihat penuh beban seperti beberapa bukan lalu. Ada yang sedikit berbeda dari biasanya, bocah cungkring itu terlihat begitu rapih dengan rambut tipis belah samping. Rupanya ia ingin terlihat lebih metropolis. Pakaiannya pun terlihat begitu rapih, celana ketat dan baju kemeja. Terus terang saja, bukannya terkagum-kagum dengan penampilannya itu, justru aku malah dibuat terpingkal-pingkal. Sebab biasanya ia amat sangat biasa saja. Malahan lebih dari hal yang tidak wajar-wajar saja. Karena bocah itu lebih suka memakai pakaian yang nyaman, meskipun telah kusut dan bahkan berubah warna. Ami memberikan alibi, kalau semua itu karena tuntutan profesi dan demi membuat sang kekasih semakin terkesima dengannya. Alah, sial juga ledekannya itu. Jelas sekali bocah sedang menyinggung tampilankj yang tidak pernah rapih ini.
"Aku sih memaklumi saja, namanya juga seniman, haha." Ucapnya sambil tertawa.
"Alah, ini mah bukan soal mau tampil baik atau tidak. Sebab mau bagai mana lagi, yang ada di lemari ya cuma ini." Jawabku membenarkan tuduhan.
"Setuju." Lanjutnya lagi sambil tertawa bersama-sama.

Melalui Ami aku akan menemui seorang seniman untuk mengajaknya bergabung di dalam pementasan Dhemit nanti. Salah seorang yang akan aku temu adalah Banyu. Ia pemain serba bisa, hampir jenis musik apa saja dapat dimainkannya. Apa lagi ia tidak punya pekerjaan lain selain musik dan belajar. Jadi setidaknya ia cukup dapat mengatur waktu dengan baik saat dibutuhkan. Usianya memang lebih mudah dari kami berdua. Bahkan dia juga masih berada di semester tiga. Namun kemahirannya bermain alat musik tidak diragukan lagi. Sebenarnya kami sudah bertemu sejak lama. Terhitung kurang lebih sebanyak lima kali. Pertemuan pertama, kami berjumpa saat komunitas tetangga menggelar kegiatan. Dan pertemuan kedua, ada di sebuah panti asuhan. Aku kerap sekali lupa dengan nama panti asuhan itu. Padahal namanya sangat mudah untuk diingat, Wisma Karya Bakti di daerah Depok. Bukan saja dengan Banyu, rekan-rekan seniman yang kain pun berada di sana. Sebenarnya aku lebih sering ngobrol dan diskusi bersama salah seorang kawannya, namanya Deri. Namun kesibukannya mengurus panti dan grup muaiknya tidak dapat aku usik. Jadi aku pilih Banyu saja, sebab ia lebih bebas dalam mengatur waktu.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang