Bagian24

4 1 0
                                    

Aktivitas di sekolah terasa sangat melelahkan. Banyak sekali kegiatan yang diadakan sekolah itu. Untungnya tidak berbarengan dengan jadwal latihan. Namun tetap saja, membuat repot. Susah sekali membuat pikiran terus peka terhadap apa-apa yang ada di depan mata. Terkadang aku kebingungan untuk melakukan sesuatu.  Seperti bukan seorang guru saja. Pekerjaan kami terlihat banyak. Di sana-sini, ada saja persoalannya. Aku kira mengajar hanyalah persoalan siap dan tidak siap. Tapi ternyata lebih dari itu. Banyak rekan guru yang memilih untuk berhenti dari pekerjaannya. Padahal usia mereka lebih mudah. Alasannya karena upah. Sampai tidak habis pikir dengan keputusannya itu. Aku memang menganggap upah menjadi guru itu tidak seberapa jumlahnya. Tapi aku tidak berpikir sedikitpun untuk keluar dari sekolah. Sebab aku tahu betul, gelas sarjana sastra ini tidak cukup banyak berbicara.

Aku mendengar cerita Pak. Iwan sendiri. Beliau merasa kebutuhannya sangat terbebani. Sebab kami memang bukan seorang guru honorer biasa. Kehadiran kami di sekolah sedemikian diaturnya oleh mesin kehadiran. Waktu masuk dan waktu pulang, pengaruhnya tidak dapat dielakkan. Alhasil, banyak jadwal di masjid yang terpaksa digagalkan. Dan Pak. Iwan merasa sangat terkungkung dengan aturan sekolah itu. Ia tidak mungkin menggagalkan satu tanggung jawab demi fokus di satu tempat. Ia adalah orang sibuk yang tidak sesuai tempat. Seharusnya beliau tidak bekerja di sekolah itu. Karena banyak jam kosong yang dilewatkan. Atau mungkin memang beliau tidak bisa menjadi seorang guru. Kecuali pemuka agama.

Pak. Iwan namanya, seorang guru agama. Aku sengaja tidak menyebutkan agama apa yang aku maksud. Karena dapat mencelakakan diriku sendiri di ruang publik. Beliau selalu saja membandingkan upah yang diberikan sekolah dengan sekolahan ternama lainnya. Aku berpikir cukup positif saja. Barang kali, kebutuhannya sangat banyak. Apa lagi, beliau hanya seorang perantau biasa sama sepertiku. Banyak beban kehidupan yang harus dipenuhi dengan selembar uang. Hanya saja beliau berbeda pemikiran denganku. Aku mengambil jurusan sastra karena menyukai cerita. Sementara beliau sedikit berbeda. Entah kenapa beliau belajar ilmu agama. Pikiranku sedikit negatif kepadanya. Sebab beberapa kali, Pak. Iwan selalu menceritakan aktivitasnya di luar sekolah yang cendrung memberikan dukungan hidup. Ia sering menjadi imam, dan memimpin pengajian. Ia pula mendapatkan penghargaan berupa selembar amplop putih berisi uang dari sana. Entah, apa yang memotivasi dirinya untuk membagikan pengalamannya itu. Tentu saja agama bukan sumber mata pencaharian. Dan beliau terlalu naif untuk menolak penghargaan itu.

Aku sendiri tidak ingin melibatkan Tuhan dalam mencari selembar uang. Kecuali berserah diri kepadanya. Dan memohon kekuatan agar semua tanggung jawab ini dapat diselesaikan. Rasanya perkataan ku ini terlalu jauh untuk menilai Pak. Iwan. Aku sama sekali tidak ingin menghujatnya. Hanya sedikit kecewa saja dengan guru agama itu. Bagiku, meletakan agama dalam situasi ekonomi, menghadap waktu di rumah ibadah atau pun dalam sudut rumah, menghitung butiran tasbih dengan khusu dan hikmat. Tapi yang diminta bukanlah kedamaian hati ataupun belas kasihan Tuhan, melainkan rizki yang terus menerus dianggap kurang. Meminta imbalan atas segala bentuk ibadah, dan memohon sesuatu berupa duniwai kepada sang pencipta adalah ciri manusia yang menjadikan kepercayaan sebagai pelarian. Aku tidak ingin menggunakan agama sebagai pelarian, seperti yang orang-orang gunakan. Melainkan sebagai sebuah tujuan.

Permasalahan tentang kesejahteraan guru memang menjadi urusan negeri ini. Bukanlah persolan yang sederhana. Justru sangat pelik dan membingungkan. Apalah arti pendidikan tanpa seorang guru. Dan apalah arti seorang guru tanpa visi. Tapi di lain sisi, kurikulum menambah daftar beban. Masalah soal Pak. Iwan memang bukan hal yang biasa. Beliau hanyalah salah satu dari banyaknya guru yang susah menentukan nasib. Tamat sebagai seorang sarjana tidak memberikannya apa-apa. Kecuali tetap tergiring pada keadaan realita. Karena nyatanya memang seperti itu. Di dalam benak kita punya mimpi dan cita-cita, tapi dalam realita mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dan kebutuhan itu selalu mencekik leher-leher kita.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang