Bagian23

3 1 0
                                    

Rumah, sekolah dan tempat latihan, tiga tempat ini tidak membuatku merasa bosan. Bukan hanya karena tanggung jawabku. Tapi juga karena aku tidak tahu mau kemana. Selain itu, aku juga bukan orang yang mudah bosan. Tidak mudah cepat suka untuk bergegas pergi mencari suasana baru. Mencari suasana apik, menikmati hiburan. Adalah yang mungkin tidak terpikirkan bagiku. Mencari keindahan dalam setiap meja yang kita pesan, nyatanya hanya fatamorgana. Padahal keindahan dan kebahagiaan, kita sendiri yang menciptakannya. Mungkin aku terlalu sensi dengan orang-orang yang suka berpergian. Mereka punya banyak acara, waktu dan uang. Juga seseorang kekasih yang menawan. Membuat agenda saat liburan tiba. Tempat wisata menjadi targetnya. Datang dengan kesiapan sempurna. Mengambil gambar sebanyak-banyaknya di tempat indah itu, kemudian mengunggahnya. Sementara aku tidak punya rencana apa-apa untuk menghibur diri. Menenggelamkan lelah pada sebuah panorama alam.

Seperti sebuah gambar yang dibuat anak-anak sekolah dasar. Dua gunung menjulang dengan matahari yang bersinar terang di tengah-tengah. Membuat hamparan hijau persawahan terlihat begitu anggun dan mempesona. Jalanan lurus membelah ladang hijau itu. Ia menuju kaki-kaki gunung dengan garis yang semakin mengerucut. Adalah sebuah sebuah kenangan yang telah lalu. Jauh sebelum semua kesibukan ini menyita waktu. Aku ingin sekali berdiam diri sendirian. Di ruangan yang jauh. Pada sebuah desa itu. Tidak ada hiruk pikuk kota, tidak ada bendera loreng merah jingga, dan tidak ada agenda apa pun. Melihat kupu-puku cantik hinggap pada sebuah bunga yang tak pernah takut dengan keberadaan kumbang. Atau menghirup udara segar sewaktu pagi tiba di antara hijaunya ladang milik petani. Tapi sayangnya kesempatan itu belum aku rasakan. Rona mata gadis lucu itu menjadi alasannya. Tidak kuasa rasanya meninggalkan keponakan terlalu lama. Sementara bapak ibunya sibuk bekerja. Aku jadi teringat saat terakhir bertatapan dengan bola matanya. Gadis kecil itu merengek, minta ditemani. Seketika wajahnya mencengkeram kaki-kakiku. Menahan laju tubuhku untuk pergi.

Selama ini aku belum sempat mengajak keponakan pergi keluar rumah. Di hari biasa, aku bangun pada pukuk lima, sebelum gadia kecil itu membuka mata. Dan pulang saat pukul sebelas malam tiba, setelah keponakanku bermain dengan mimpinya. Selain karena aku sendiri jarang di rumah, juga karena memang belum menyempatkan diri. Kalau hari libur tiba, aku memilih untuk tidur sepanjang hari. Jika hari yang demikian itu benar-benar tiba, rasanya aku enggan untuk melakukan sesuatu selama seharian penuh. Entah kenapa, hari libur membuat tubuh terasa malas. Tidak bergairah untuk memikirkan sesuatu. Tapi gadis itu kembali datang. Membangunkan tubuh ini dari rasa tak berdaya.

Tumpukan baju kotor memenuhi keranjang. Ia terletak di sudut ruangan. Tentu saja aku sadar dengan keberadaannya. Tapi aktivitas di luar rumah selalu mengabaikan keberadaannya. Beberapa kali aku sempat kena semprot. Saudara perempuanku kembali mengingatkan berkali-kali untuk mencucinya. Menjadikannya daftar pekerjaan yang harus aku selesaikan. Riang tawa keponakan, suasana riuh di dalam kelas dan beberapa perdebatan di ruang diskusi, tenaga ku habis untuk mengerjakannya. Mengancam suasana libur nanti. Alhasil aku harus mencuci pakaian saat jadwal latihan tidak ada, tepat setelah pulang dari sekolah.

Ada perasaan hati yang berbeda ketika upah turun. Aku harus membagi beberapa lembar untuk membayar sewa rumah. Juga aku harus mengirimkan beberapa lembar lagi untuk bapak di kampung halaman. Seketika aku merasa diri begitu miskin. Upah yang tidak seberapa jumlahnya. Hanya numpang lewat begitu saja. Seharusnya bapak berada di sini. Untuk memudahkan segala urusan. Mungkin beliau hanya butuh uang untuk membeli rokok. Tapi aku terpaksa mentransfer lebih dari harga sebungkus rokok. Karena aku tidak bisa mentransfer uang kurang dari lima puluh ribu. Belum lagi bapak sering meminta lebih dari dua kali dalam satu bulan. Aku tidak ingin membuat tubuhnya kering kerontang. Meskipun beliau tidak pernah memikirkan keadaanku.

Waktu masih dengan bapak beberapa bulan lalu, hubungan kami belum kembali hangat. Bapak memilih untuk tidur di warung. Membiarkan aku sendirian menatap langit-langit rumah. Tidak ada usaha apapun darinya untuk membuat hubungan ini membaik. Mungkin beliau tidak merasa kalau hubungan kami sedang kurang baik. Bahkan aku sempat dibuatnya kesel. Saat sepulang beraktivitas, aku ingin sekali menanak nasi. Tapi alat penanak nasi itu tidak ada pada tempatnya. Terpaksa sekali aku tidak makan malam itu. Dan memilih menahan lapar sampai besok pagi. Baru kemudian aku jumpai alat itu di warung. Padahal bapak mempunyai alat penanak nasi sendiri. Dengan keberadaan alat penanak nasiku di sana, itu berarti bapak mempunyai dua alat yang sama. Beliau tidak merasa bersalah melihat kemunculan ku. Ia membiarkan aku masuk ke dalam warung itu begitu saja. Tanpa ada sapaan akrab antara anak dan orang tua. Aku buka alat penanak nasi itu, yang satu berisi nasi putih dan yang satu lagi berisi pepes tahu. Seketika aku terkejut dengan menu makanannya. Ternyata bapak yang penuh perhatian hanya ada di dalam layar televisi.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang