Bagian4

4 1 0
                                    

Pagi itu terasa sangat sepi. Tidak ada siapa-siapa di dalam rumah. Entah apa yang membuatku ingin sekali kembali ke rumah itu. Sudah hampir satu minggu aku menginap di salah seorang kawan. Habis mau bagai mana lagi, aku hampir kekurangan uang dan bahan makanan. Jadi aku putuskan untuk menumpang saja. Dinding kamar terasa begitu dinginnya. Padahal baru beberapa hari saja aku pergi. Lantainya pun terasa amat dingin. Padahal sudah lama sekali aku tidak membersihkannya. Kalau memungkinan, barang kali aku pergi menginap lagi ke salah seorang kawan. Sebab aku bosan sendirian.

Sebenarnya aku ingin pergi menemui ibu, dan merawat beliau di sana. Tapi kabar dari telepon sudah cukup untuk membuatku lega. Awalnya ibu berkata melalui telepon bahwa ia begitu cemas kepadaku. Tentu saja aku bertanya kepadanya, tentang apa yang membuat dirinya cemas. Lantas ibu bercerita soal mimpinya beberapa waktu lalu. Aku terkejut mendengar mimpi itu. Di dalam mimpi itu, aku menikah dengan salah seorang perempuan yang tidak ibu kenal sama sekali wajahnya. Seketika aku dengar suara ibuku seperti sedang menangis. Sebenarnya apa arti mimpinya itu. Dan kenapa beliau harus cemas. Mungkin beliau begitu takut dengan mimpi itu. Atau barang kali terbesit sebuah harapan di dalam dirinya, tentang kehidupan ku di masa yang akan datang. Sayangnya aku tidak punya kekasih sama sekali.

Beberapa kali ibu menanyakan kabar ku sebelum telepon itu ditutup. Dan aku jawab saja, kalau semua sudah baik-baik saja. Aku menceritakan semua pencapaianku kepadanya, bahwa hari itu aku mendapatkan pekerjaan baru. "Tentunya ibu tidak perlu kawatir lagi. Meskipun hanya menjadi seorang pengajar biasa, setidaknya ada yang aku hasilkan dari kepala dan pikiranku." Mendengar kalimat ku itu, ibu rupanya senang sekali. Beberapa kali aku dengar ia mengucapkan syukur. Perasaan haru dan rindu bercampur aduk. Semua terasa mengganjal di dalam nafas, hingga dadaku begitu berdebar hebat. Setidaknya beliau merasa cukup tenang dengan keadaanku. Lagi juga aku tidak mau membuatnya terus memikirkan kehidupan anaknya. Pikirku, beliau harus banyak menenangkan diri demi kesembuhannya itu.

Informasi tentang pekerjaan itu aku dapatkan dari salah seorang dosen. Seperti mendapatkan bala bantuan yang tidak diduga-duga. Pada malam itu aku sedang menginap di rumah Ilham, salah seorang rekan anggota komunitas. Tiba-tiba saja ponsel ku berdering hebat, ternyata ada pesan masuk dari beliau. Aku tidak membuang-buang kesempatan. Pekerjaan menjadi pengajar pun tidak masalah. Yang terpenting saat itu aku punya pekerjaan dan keseibukan sendiri. Lantas lowongan pekerjaan tersebut langsung aku proses malam itu juga. Untungnya aku menyimpan berkas lamaran pekerjaan di dalam ponselku. Jadi tinggal aku kirim saja ke alamat email yang tertera. Tidak ku percaya sebelumnya, ternyata pihak sekolah merespon dengan segera. Keesokan harinya aku datang ke sekolah untuk interviu. Beruntung sekali Ilham meminjamkan aku kemeja dan celana panjang. Jadi aku tidak perlu pulang kerumah untuk berganti pakaian. Dengan pakaian pinjaman itu, aku langsung bergegas menuju sekolah. Untung saja alamat yang tertera di lowongan pekerjaan sangat mudah untuk aku cari. Bahakan jaraknya tidak jauh dari rumah Ilham. Entah berapa kali aku harus mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan. Nyatanya aku masih di kelilingi kawan-kawan baik.

Gedung sekolah terlihat begitu biru dan anggun. Burung-burung hinggap pada genting dan dahan-dahan pohon. Di antara gedung berlantai tiga itu, aku lihat cahaya matahari menerobos masuk dari sela-sela pepohonan sampai menerangi lapangan. Sepertinya aku akan mendapatkan hari yang begitu baik untuk masa depanku. Tanda-tanda itu akhirnya terbukti juga. Hanya beberapa waktu saja, sesi interviu dan tes mengajar selesai ku hadapai. Aku tidak merasa canggung sama sekali. Bahkan untuk melakukan tes simulasi. Entah kenapa pikiranku begitu mudah untuk digunakan. Padahal aku sama sekali tidak pernah meraba akan seperti apa tes tersebut berlangsung. Juga aku tidak tahu menahu kalau harus ada tes semacam itu. Syukurnya dengan spontan aku dapat menentukan materi untuk tes tersebut. Kemudian dengan lancarnya simulasi mengajar itu ku lakukan.

Setelah semuanya selesai, kepala sekolah memintaku untuk kembali menghadapnya. Di bawanya aku ke salah satu ruangan. Di sana kulihat banyak sekali bingkai penghargaan dan beberapa potongan artikel yang sengaja dipajang. Aku di persilahkan duduk pada sofa memanjang. Sofa itu menghadap dinding yang penuh dengan bingkai kaca. Aku terkejut dengan kemunculan kepala sekolah itu. Mungkin umurnya baru menginjak kepala tiga. Tidak seperti kepala sekolah pada umumnya yang rata-rata sudah berusia empat puluh. Pada ruangan itu kami membicarakan banyak sekali hal tentang dunia pendidikan. Tapi sayang sekali, aku belum tahu banyak tentang itu. Alhasil aku hanya berbicara seperlunya saja. Tiba-tiba saja beliau menanyakan sesuatu tentang seni. Aku sudah menduga, ia memang sosok yang suka sekali berdiskusi. Tapi ya sudahlah, aku tanggapi saja. Akhirnya beliau kembali pada topik pembicaraan. Ia pun memintaku untuk segera mengisi kelas. Lantas aku menyanggupi kesepakatan itu. Lebih cepat akan lebih baik. Kami kemudian berjabat tangan dan saling menyepakati satu sama lain. Setelah itu aku pamit undur diri.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang