Bagian26

2 1 0
                                    

Gedung-gedung pendidikan nampak kokoh berdiri. Pada pagi itu, para siswa memadati jalan-jalan. Mereka tengah memburu waktu, agar sampai ke sekolah yang dituju. Sementara kaum gelandangan tidak sempat mencicipinya. Adalah seorang anak berbaju loreng merah putih itu. Yang setiap hari harus melawan lapar. Pagi-pagi sekali bocah itu sudah berada di sana. Mempertontonkan kebolehannya memainkan cambuk. Sementara aku hanya melintas begitu saja tanpa mengindahkannya. Bukannya aku tidak ingin memberikan apresiasi, tapi tak seberapa isi kantongku ini. Untuk makan siang saja aku harus membawa bekal sendiri. Aku juga sedang terburu-buru. Mesin kehadiran di sana terus saja menghantui pikiran ini. Jadi mau tidak mau, aku harus melewatkan aksi bocah lugu itu.

Semakin hari suasana latihan semakin terasa melelahkan. Aku pernah mengalami sebuah kejadian yang memalukan. Jika ku hitung, kira-kira aku sudah melakukannya selama empat kali dalam satu bulan ini. Beberapa kali aku sempat tertidur di meja kantor saat jam kosong tiba. Rasanya tidur dalam waktu empat jam sehari tidak memberikan pengaruh apa-apa. Selain rasa pusing di kepala. Malahan aku merasa belum memejamkan mata sedikit pun. Semuanya berlangsung sangat cepat. Puncaknya saat tubuh ini mendapati jam kosong di sekolah. Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur. Mendadak suara tawa membangunkanku. Wajahku yang masih polos mendadak diinterogasi. Salah seorang guru menjadikan hal tersebut sebagai hiburan.
"Bapak, gak apa-apa?" Ujarnya.
"Apa?" Jawabku kebingungan.
"Kangen ibu Pak?" Ucapnya lagi tanpa beban sambil terkekeh.
"Apa?" Tanyaku sekali lagi dengan wajah yang masih belum sadarkan diri. Seluruh orang seketika tertawa. Entah apa motivasinya.

Rupanya aku sempat beberapa kali mengigau. Kata salah seorang rekan guru, aku sempat menyebut nama ibu. Seketika aku lupa dengan mimpi yang barusan masuk ke dalam kepala. Mengingatnya sama saja seperti melihat sebuah nasi putih. Tidak akan bisa membuat perut kenyang kalau belum dimakan. Sama halnya dengan lelah ku hari itu. Tidak bisa aku ingat kembali kembali mimpi itu jikalau aku masih sadarkan diri. Ya, aku ingin kembali tertidur. Mengulang mimpi bersama ibu. Tapi sayang, aku harus memaksa mata ini untuk tetap tahan. Apa kata Iwan Fals nanti, aku sudah seperti wakil rakyat yang tertidur saat rapat. Bagai mana kalau tahu-tahu muncul sebuah lagu, seorang guru tertidur saat jam pelajaran tiba. Sama sekali terdengar tidak lucu bukan.

Gadis itu kembali menghubungiku untuk menanyakan konsep tata rias. Sekali lagi aku harus membalasnya. Sebenarnya aku membebaskan tim tata rias untuk memikirkannya sendiri. Aku hanya memberikan gambaran besarnya saja. Karena bagiku, mereka lebih tahu urusan terkait itu. Ternyata wanita itu menghubungiku atas dasar perintah Via. Cukup untuk membuatku kesal saja. Inisiatif seperti itu bukan datang dari dirinya sendiri. Malah justru dari orang lain. Juga aku tidak habis pikir dengan Via sendiri. Kenapa bocah itu masih saja bertanya. Padahal aku sudah cukup banyak memberikan gambaran.

Gadis yang mendapatkan perintah dari Via untuk menghubungiku bernama Hana. Mungkin aku tidak bisa menyalahkan Via sepenuhnya. Sebab meskipun perempuan itu pandai merias, namun nyatanya ia hanya bisa merias untuk kecantikan saja. Bukan merias untuk pementasan seperti itu. Beberapa kali aku memberikan pemahaman tentang merias wajah aktor. Ada banyak hal yang harus dipikirkan. Merias juga berarti membuat karakter wajah. Ada Beberapa bagian atau lekuk wajah yang harus nampak ditegas. Karena cahaya lampu nanti jauh berbeda dari cahaya beneran. Apa yang penonton saksikan nanti tidak terlihat seperti menonton layar televisi. Wajah aktor dapat dilihat dari berbagai sudut yang berbeda. Dan dari jarak yang bervariasi. Tergantung di mana posisi penonton yang melihatnya.

Mawar juga menghubungiku sesaat setelah selesai dengan Hana. Sepertinya tim produksi ingin meminta kepastian dariku, kalau busana yang ia buat untuk Gendruwo sudah cukup pas. Karena beberapa hari sebelumnya aku menilai bulu-bulu yang dibuat kurang terlihat lebat. Lantas aku meminta cukup saja. Tidak perlu banyak penambahan. Bukan karena aku menyerah untuk memberi usul lagi. Tapi karena aku ingin melihatnya langsung. Seperti apa kelihatannya, jika busana itu telah berada di tubuh Raka. Apakah sudah menyerupai Gendruwo atau belum.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang