Bagian7

5 1 0
                                    

Mendung menyelimuti hari-hari yang panjang pada bulan itu. Langit terlihat murung menjelang akhir tahun, terlihat dari pukul enam pagi sampai pukul enam malam tiba. Seketika ku rasakan tubuh ini begitu ringan. Sepertinya ada masalah dengan berat badanku. Entah kenapa rasa penasaran itu mendadak muncul. Pada ruangan Unit Kesehatan Siswa, aku menghitung berat badanku sendiri dengan timbangan. Jarum merah pada timbangan seketika berputar saat kedua kakiku menginjaknya. Melihat hasil itu, aku merasa kawatir dengan kesehatan ku sendiri. Mungkin ini semua buah hasil menghemat makanan. Seperti halnya orang bodoh saja. Aku memang perlu menghemat pengeluaran, tapi tidak seharusnya menyakiti diri sendiri. Kalau ibu melihat pipiku yang mulai kurus ini, pasti beliau akan sangat marah kepadaku. Hanya saja semua itu sudah berlalu. Yang aku butuhkan hanyalah sebuah tenaga. Agar semua hari-hari penuh kesibukan ini dapat dihadapi.

Pada akhir bulan november itu, Ami kembali menghubungiku melalui ponselnya. Ia ingin mengajak bertemu di rumahnya seperti beberapa waktu lalu. Namun niat baik itu harus aku tolak mentah-mentah. Karena aku terlanjur membuat agenda lain dengan rekan-rekan di komunitas. Lantas kami berdua menyempatkan diri untuk berbicara di dalam telepon saja. Di dalam telepon kami saling menyapa dengan akrab. Terkadang aku sendiri lupa untuk tetap menggunakan bahasa yang baik. Berjumpa dengannya serasa kembali menjadi srigala. Terkadang kami berbicara tanpa batas. Percakapan di dalam telepon itu mendadak berubah. Awalnya sahabatku itu ingin sekali berkunjung ke rumah untuk menemui keluargaku. Lebih lanjut lagi, bocah kurus berprawakan tinggi semampai itu menanyakan kabar orang tuaku. Mau tidak mau, aku jawab saja yang sebanar-benarnya. Bahwa kondisi kami sedang tidak baik. Ibu tengah sakit keras dan harus dibawa ke kampung halaman untuk dirawat oleh saudara-saudaranya. Sementara bapak memilih untuk menutup warung dan pergi menemui ibu di kampung halaman sana.

Kepada sahabat terbaik yang satu itu. Sebenarnya diri ini sangat sungkan untuk mengatakan keadaan itu. Aku juga tidak suka mendapatkan rasa iba dari orang lain. Entah kenapa, mendengar kalimat-kalimat prihatin yang diucapkan orang lain kepadaku justru terdengar memilukan. Sama sekali aku tidak ingin dikasihani siapa pun, tidak terkecuali sehabat ku sendiri. Karena aku merasa kalimat penuh iba seperti itu sama saja artinya seperti penghinaan. Sebab aku tidak membutuhkan kalimat penuh simpati dari siapa pun. Apalah arti kalimat iba, jika di dalamnya tidak berisi solusi. Jadi aku katakan saja kepada kawan baikku itu, kalau keadaan ku tidak seburuk yang ia bayangkan. Juga tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Sebab hidup adalah sebuah perjalanan. Setiap tanah yang kita injak, akan menentukan masa depan. Dan untuk mencapai masa depan, kita perlu menjadi pribadi yang kuat. Sementara untuk menjadi kuat, kita butuh berlatih mengangkat beban berat.

Aku kembali melihat jarum jam pada dinding ruangan kantor. Waktu telah menujukkan angka empat, tanda sebuah janji harus aku penuhi. Lantas ku minta diri untuk menutup percakapan melalui telepon itu. Seketika sahabat baik itu mengerti. Kami menutup dialog dengan begitu saja. Seperti ada perasaan yang mengganjal. Mungkin karena aku tidak terlalu ramah kepadanya dan menolak ajakan itu. Habis mau bagai mana lagi, aku sudah terlanjur membuat janji. Dan jani itu memang serupa kelebihan waktu. Sehingga aku harus memberikan semua waktu yang tersisa untuk membayarnya.

Hujuan turun sepanjang bulan November itu. Mungkin akan berlanjut di hari-hari selanjutnya, hingga bulan-bulan mendatang. Namun pementasi itu masih terkendala beberapa masalah. Salah satunya pekerjaan tim produksi. Mengurus orang lain memang terasa merepotkan dari pada mengurus diri sendiri. Lebih dari itu, sepertinya Siswanto mulai menggunakan emosinya untuk mengatur di berbagai lini. Wajar saja, jiwa muda memang kerap ingin meledak-ledak. Pada suatu sore setelah mendiskusikan naskah dengan Brewok dan Albar, Siswanto kembali datang dengan wajah cemberutnya. Ia mengaku kalau rasanya susah sekli mengatur orang sebanyak itu. Ia berbicara banyak sekali kepadaku. Tapi aku tidak memberikan saran apa-apa, selain juga sama-sama saling merenungi.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang