Bagian21

4 1 0
                                    

Rasanya cuaca tidak berubah sama sekali. Entah kapan musim kemarau berlangsung. Hampir sama sekali tidak terasa. Selalu ada hujan di setiap latihan. Bahkan di mana saja kaki melangkah. Mungkin bumi telah banyak mengalami pergeseran iklim. Kabarnya di tanah Arab sudah mulai turun salju. Entah apa artinya. Di tanah tropis ini hampir semua tumbuhan dapat hidup. Kecuali pohon kurma. Sungguh adil kekuasaan-Nya itu. Tapi sayangnya, aku tidak memanfaatkan bulan puasa dengan banyak menyebut nama-Nya. Maafkanlah aku atas kecerobohan itu. Aku harap Ia tidak marah kepadaku. Karena aku tahu, Tuhanku maha pengasih lagi maha penyayang. Aku hanyalah salah satu mahluk pemalas yang sibuk memikirkan diri sendiri. Tidak terkecuali keluargaku.

Di bukan Mei lalu, kami masih sibuk latihan sampai satu minggu sebelum masuk bulan Juni. Bahkan aku telah melewatkan hari ulang tahun ku sendiri yang jatuh pada bulan April. Pada bukan Februari yang lalu, aku baru saja kehilangan ibu. Kemudan pada bulan Maret, kabar duka kembali datang mengiris daun telingaku. Nenek dari almarhumah ibuku melepaskan nafasnya yang terakhir. Tepat saat dunia memperingati hari teater. Dan sebelumnya di akhir tahun yang lalu pada bulan Oktober, nenek dari bapak mengawali hari-hari menyedihkan itu. Beliau wafat di tanah kelahirannya. Dan di saat itu, ibu masih sempat melihat jenazahnya. Tahu-tahu ibu dan nenek juga ikut menyusul. Melengkapi daftar kepergian yang sangat rapat. Aku kehilangan tiga seorang ibu sekaligus. Aku selalu mengingat hari teater sedunia sebagai hari penuh duka. Tanggal dua puluh tujuh Maret lebih tepatnya. Hukuman apakah yang sedang Tuhan berikan kepadaku.

Sudah tiga bulan saudara perempuan ku melanjutkan usaha warung. Terlihat memberikan tanda-tanda perubahan. Sangat jauh berbeda waktu bapak yang mengurus usaha itu. Kakak ipar dan saudara perempuan ku labih terlihat santun dan ramah dari pada penjual sebelumnya. Namun bukanya aku ikut senang dengan keadaan itu malahan justru sebaliknya. Keponakanku terlihat murung dan suka rewel akibat tidak punya teman bermain. Ia selalu di bawa ke warung. Menemani emak dan bapaknya berjualan. Bagi iparku mungkin keberadaannya sangat merepotkan. Tapi dari kacamataku sendiri, anak sekecil itu telah terjebak pada tempat yang salah. Di beberapa kesempatan, aku mengajaknya bermain. Menjauhi emak bapaknya yang sibuk bekerja. Karena itulah yang ia butuhkan. Pergi dari sana dan mengenal dunia. Bocah kecil itu terlihat lucu dan menggemaskan. Beberapa tingkahnya sering membuatku terhibur. Namun kadang-kadang memang cukup merepotkan. Ia tergolong anak yang sangat berani, ceria, suka berceloteh dan selalu penasaran. Lantas aku ajarkan mengenal bahasa. Sedikit demi sedikit bahasa ibunya tidak lagi dikenal. Ia nampak fasih berbahasa pemersatu negeri ini. Bahasa yang digunakan orang-orang dari seluruh penjuru nusantara.

Ternyata keponaku mulai tahu bahasa Inggris. Entah bagai mana ibunya memberikan pelajaran kepadanya. Aku cukup terkejut saat keponakan menyebut nama warna dengan bahasa asing itu. Bahasa yang entah bagai mana ajaibnya. Bahasa yang selalu menjadi bahan diskusi karena mengancam bahasa nusantara. Mungkin seluruh manusia di dunia ini memang harus disatukan dengan satu bahasa. Apa lagi bahasa asing itu telah banyak menentukan sarjana di dunia pekerjaan. Bahasa yang menawarkan masa depan dan cita-cita. Bukan hanya bahasa asing itu saja yang sedang naik daun. Hampir seluruh bahasa di dunia ini ingin mencapai posisi itu. Tapi aku tidak mengerti, kenapa negeri ini tidak memiliki ambisi yang sama soal bahasa.

Bersama gadis kecil itu, hari-hariku sangat terasa sangat menyenangkan. Ia nampak tidak ingin berpisah denganku. Saat itu, kami sedang bermain bersama. Ia sangat pandai menyusun balok. Entah benda apa yang sedang diciptakannya. Tahu-tahu bibirnya monyong kedepan, lalu membuat suara seperti mesin kendaraan. Seketika aku tahu apa yang sedang mengambang di dalam imajinasinya. Lantas aku buat sebuah kendaraan serupa dengan balok-balok itu. Ia tersenyum lebar saat tangan-tanganku berhasil menyusun bentuk yang ku mau. Lantas aku memainkannya sesaat bentuk itu tercipta. Ku angkat susunan balok itu ke udara lalu membuat suara mesin pesawat terbang. Ia nampak senang dengan karyaku, lantas kedua tangan itu memintanya. Lalu sekonyong-kantongnya bibir mungil itu menirukan suaraku.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang