Bagian19

3 1 0
                                    

Selalu ada keindahan dikala pagi menjelang. Burung-burung bernyanyi pada dahan. Dedaunan kering berjatuhan menimpa seekor kucing yang terlelap. Juga hijaunya rumput yang memberikan dinginnya tetesan embun. Semenatara jalanan masih sangat sepi, tidak ada polusi. Tetapi detik demi detik, matahari mulai meninggi. Meninggalkan sudut timur di sana. Cuaca memang sedang mendung. Namun matahari di atas ubun yang tak terlihat itu menunjukan pukul dua belas. Tanda sudah tujuh jam waktu berlalu dari pukul lima dini hari. Keramaian mulai muncul di sana sini. Hilir mudik pejalan kaki lewat begitu saja. Juga kendaraan yang tidak pernah lelah mengeluarkan asap. Pada saat itu, perut-perut mulai bersuara. Orang-orang keluar dari kantor mereka untuk mencari makanan. Sementara keadaan jalan terlihat semakin rampai. Jam istirahat bagi karyawan adalah jam kerja bagi penjual makanan. Tapi bagai mana dengan nasib bapakku.

Sudah hampir dua bulan bapak berjualan, namun warung itu masih terbilang sepi. Tidak seperti kehidupan sebelum-sebelumnya. Biasanya pada pukul dua siang dagangan bapak laku habis diborong pembeli. Tetapi yang terjadi malahan sebaliknya. Entar bagai mana cara mengembalikan kejayaan warung itu. Beberapa kali bapak selalu mengeluh putus asa. Aku sendiri hanya dapat mendengarkan keluhan itu saja, tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku memang kasihan melihat usaha bapak yang tidak kunjung membaik itu. Tetapi aku tidak bisa membantunya sama sekali. Biarkan saja itu menjadi urusannya. Menurutku beliau akan sangat terhormat jika diberikan kesempatan.Jadi aku tidak perlu mengatakan apapun. Apa lagi sampai menyuruhnya untuk berhenti berusaha. Sebab aku tahu sekali, usa tua memang sangat membosankan. Aku memang belum menua, tapi aku pernah memainkan karakter itu dalam sebuah pertunjukan. Meskipun aku hanya berusaha menjadi orang tua, namun aku tahu bagai mana lingkungan dan fisik membuat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku datang menemui bapak pada pukul dua siang menjelang sore itu. Untung jam latihan tidak ada, jadi aku bisa memanfaatkan libur hari sabtu itu di rumah. Sebab aku tidak ingin mengganggu malam minggu mereka dengan orang terkasih. Begitu juga denganku yang tidak ingin melupakan hubungan keluarga. Kesempatan ini aku gunakan untuk berkomunikasi dengan bapak. Barang kali bapak membutuhkan teman bicara. Aku duduk di sebelahnya ketika bapak sedang asik menonton tayangan sepak bola. Terlihat pada layar kaca itu, pertandingan mempertemukan kubu merah dengan biru. Ketua tim sepak bola legenda dari zaman perserikatan menunjukan perlawanan yang ketat. Keduanya saling membalas serangan. Bapak terlihat sangat khusu menyaksikan permainan itu di depan televisi. Bahkan ia tidak menggubris keberadaanku. Sebatang tembakau hijau di tangannya terlihat luput untuk dihisap. Baranya perlahan-lahan membakar seluruh batang tembakau itu tanpa diketahui. Lantas aku melihat celah kesempatan, ku ambil beberapa batang tembakau milik bapak dan menghisapnya satu per satu. Lumayan untuk menemani bibir yang sedang asam. Sementara bapak terus berceloteh kesal, lantaran salah seorang penyerang dari kubu merah gagal menciptakan peluang menjadi sebuah keunggulan jumlah goal.

Pertandingan di babak pertama masih dengan skor kaca mata. Bapak terus saja berkomentar dengan perbuatan para pemain dari kubu merah yang belum menunjukan keperkasaannya. Semsntara aku hanya duduk di sebelahnya sambil mendengar semua kekesalannya itu. Bukan bermaksud tidak ingin ambil bagian untuk memriahkan suasana. Aku sendiri masih belum tahu harus memihak tim yang mana. Karena keduanya sama-sama bukan tim favoritku. Beberapa detik kemudian, beliau mengindahkan keberadaanku. Ia kembali mengambil sebatang tembakau untuk dihisap. Sejurus kemudian asap telah mengepul dari dalam mulutnya. Tapi aku belum ingin memulai kata-kata. Lantas beliau memulai pembicaraan lebih dahulu, ia mempertanyakan kehadiranku di sana. Aku jawab saja kalau hari itu sedang tidak ada acara. Jadi bisa menemani dirinya untuk menonton pertandingan sepak bola sambil menunggu pelanggan datang.

Babak kedua di mulai. Di layar kaca itu ku lihat stadion penuh sesak oleh kehadiran fans. Namun bapak sedang sibuk menghitung pendapatan sementara. Wasit pun meniup peluit, tanda pertandingan dimulai lagi. Pemain dari kubu biru tengah menguasai pertandingan. Tetapi bapak sedan meletakan fokusnya di tempat yang lain. Tiba-tiba saja air mukanya terlihat menampilkan suasana lesu. Entah apa yang sedang di alaminya. Lantas aku menegaskan, kalau pertandingan sudah dimulai. Berharap wajahnya kembali bersemangat menyaksikan pertandingan itu. Tahu-tahu bapak mematikan sebatang tembakau yang belum habis dihisapnya. Apa sebenarnya yang sedang dirasakan oleh hatinya. Aku tidak dapat mengetahuinya sesaat itu juga. Tapi aku menebak sendiri. Barang kali beliau sedang kesal terhadap pendapatan hari itu. Atau mungkin beliau merasa gagal, sebab warung belum juga kembali seperti pada masa kejayaaannya. Tapi rupanya tebakanku salah.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang