Bagian15

1 1 0
                                    

Gedung sekolah itu kembali memancarkan sinarnya saat pagi tiba. Seketika aktivitas petugas keamanan terlihat begitu sibuknya. Beberapa orang tua memilih untuk mengantarkan anak-anaknya sampai di depan gerbang, tapi apa pula yang tidak. Sementara guru-guru mulai memadati ruangan kehadiran. Cukup meletakan ujung jari ke alat yang sudah disiapakan pada ruangan itu. Kemudian secara otomatis mesin akan mendeteksi kehadiran pemilik jari itu. Data akan diproses sesaat itu juga, ketika lampu pada benda itu menyala hijau. Tapi jika lampu menyala merah, itu artinya si pemilik jari harus melakukannya kembali. Inilah sebuah kemodernan yang dianggap efektif untuk menurunkan tingkat kemalasan. Saat di perjalanan menuju sekolah, aku sendiri selalu memikirkan keberadaan alat itu ketika waktu sudah menunjukan setengah tujun. Lewat sedikit saja, upah dan masa depanku menjadi taruhannya. Mesin kehadiran itu bagaikan malaikat yang selalu memberikan lampu peringatan. Aku merasa seperti dikendalikan waktu. Berangkat pukul enam pagi dan berharap sampai di sekolah sebelum puluh tujuh. Meskipun pekerjaan sudah diselesaikan, kembali aku harus menunggu jarum jam menunjuk angka empat. Tidak ada upah tambahan meskipun aku pulang kelewat waktu. Jadi jika sudah waktunya pulang, aku tidak akan berlama-lama lagi di sekolah.

Hari-hari sibuku mulai sedikit berkurang di sekolah. Itu larena siswa kelas tiga sedang mengikuti ujian akhir sekolah mereka. Jam kosongku pun sedikit bertambah. Cukup punya banyak waktu untuk memikirkan pementasan. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan kesibukan lain di depan rekan-rekan guru. Jadi aku gunakan waktu kosong itu untuk membuat persiapan materi. Jadi nanti aku tinggal masuk ke dalam kelas dan menyampaikan isi materi tersebut. Tanpa harus memikirkannya dua kali. Aku harus tahu tempat dan situasi. Lagi pula membuat materi pelajaran tidak terlalu sulit. Bagiku pementasan Dhemit jauh lebih sulit dan melelahkan. Ditambah aku tidak mendapatkan apa-apa dari situ, melaikan kepuasan batin. Dan sekarang masalah-masalah baru terus saja berdatangan.

Seperti hari-hari yang telah lewat, aku kembali menemui para aktor untuk meneruskan latihan. Semua jadwal yang aku persiapkan sudah tidak dapat digunakan lagi. Sebab keadaan membuat ku kesulitan untuk menerapkannya. Krisis aktor adalah salah satu penyebabnya. Pada pertemuan kali ini aku hanya menggunakan perkiraan waktu saja. Pementasan jatuh pada bulan Agustus, sementara sekrang ini sudah memasuki bulan April. Itu tandanya hari pementasan itu sudah setengah jalan. Bagi seorang sutradara tentunya waktu empat bulan bukanlah jarak yang lama. Tidak ada waktu untuk bersantai-santai lagi. Para aktor sudah masuk ke tahap bloking. Aku sampai lupa untuk meminta denah panggung. Padahal kemarin malam ada Bagus di sana. Di sisi lain aku harus mempersiapkan waktu untuk melihat hasil pekerjaan tim busana dan properti.

Setibanya kedua kaki ini di tempat itu, aku dikejutkan dengan kehadiran Haris. Ia seperti seorang Pitung yang datang di saat-saat terakhir. Bocah itu nampak berdiri mengindahkan kehadiranku. Kemudian aku menanyakan keberadaannya selama ini. Lantas dengan sangat sopan laki-laki bertubuh gempal itu menyampaikan semua kejadian yang dialaminya. Dengan mengucapkan permintaan maaf, ia berusaha untuk bertanggung jawab atas ketidak hadirannya selama ini. Aku mendengarkan semua ceritanya dengan seksama. Rupanya beberapa bulan ini, bocah itu baru saja mengalami kesulitan ekonomi. Lantas ia bekerja di sebuah pementasan sebagai tenaga pembantu. Namun tidak seberapa jumlah upahnya. Dalih ingin bekerja untuk membayar biaya kuliah, Haris justru terancam dicutikan. Ia juga terpaksa menjual ponselnya untuk melanjutkan penghidupan. Bahkan ia juga harus menjual sepeda motornya untuk membayar tunggakan kuliah. Untuk memenuhi kebutuhnya sehari-hari, kini laki-laki berbibir hitam itu terpaksa bekerja serabutan. Beberapa kesempatan saat melihat wajahnya, aku mengira jika usia pria itu sebenarnya sudah cukup matang. Mungkin usianya sama sepertiku. Tapi informasi seperti itu tidaklah penting bagiku.

Setidaknya aku merasa lega dengan kehadirannya. Seperti mendapatkan angin segar. lantas aku putuskan hari itu juga. Kepada Haris aku memberikan kesempatan baru untuknya. Tapi tugas yang aku berikan kali ini sedikit bertambah. Jadi tokoh Rajegwesi aku berikan lagi kepadanya. Juga aku minta dia untuk menggantikan posisi Brewok sebagai assisten sutradara. Rekan-rekan aktor meminta Haris untuk menginap di rumah Ilham selama latihan menuju pementasan itu berlangsung. Maksudnya agar itu membuatnya selalu dapat hadir saat latiha tanpa terkendala transportasi. Aku paham betul jenis manusia yang satu itu. Dari caranya berbicara saja sudah menunjukan kalau dia tipe orang yang pandai bergaul. Dia memang suka sekali berbicara. Kebiasaannya itu akan berdampak baik pada hubungan, tentunya jika ia pintar menjaga warna bahasanya. Dia juga anak yang mudah beradaptasi. Terlihat dari keberaniannya datang kembali menemuiku. Kebanyakan orang akan sangat malu serta ciut nyali ketika menemui seseorang yang sudah dikecewannya. Tapi bocah itu tidak.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang