Bagian25

3 1 0
                                    

Di bawah payung malam, langkah kakiku berhenti pada sebuah lelah yang memanggil-manggil ranjang itu. Seolah-olah menyuruhku untuk berhenti beraktivitas. Melupakan semua peliknya keruwetan hari sebelumnya. Menambah daftar mimpi dalam  deretan pulau-pulau kecil di atas bantal. Tubuhku terasa begitu lelahnya. Aku ingin sekali berhenti merokok dan menenggak kopi. Agar bisa tidur tepat waktu. Melupakan nikmatnya malam dengan bergadang. Takut kalau kebiasaan buruk itu akan memperpendek umurku. Tapi nyatanya kedua bola mata ini selalu sulit untuk terpejam. Sungguh beruntungnya orang-orang yang bisa tidur cepat.

Aku tidak tahu kapan kedua mataku meredup. Tidak tahu seperti apa mimpi yang semalam berlangsung. Semuanya berlalu sangat cepat. Aku sadar sekali, rasanya tubuh ini sudah tidak merasakannya. Menikmati bunga tidur saja rasanya tidak bisa. Tahu-tahu matahari menerobos masuk melalui sela-sela jendela. Kedua mataku seketika terbuka. Karena terganggu cahaya surya. Membangungkan tubuhku dari tidur sementara. Sejurus kemudian tubuh telah berganti busana. Memulai aktivitas baru dengan segala rencana.

Masa-masa yang sulit untuk aku jalanani sudah berlalu. Aku sudah mendapatkan pekerjaanku sendiri. Ibu sudah tenang di alam sana. Bapak juga sudah mulai merenungi masa tuanya. Hanya tinggal menunggu kiriman uang datang. Warung telah dipercayakan kepada ipar dan istrinya. Wajah gadis mungil itu selalu membuatku iba. Menjadikan pikiranku gelisah di setiap aktivitas. Karena nyatanya aku lebih memilih rutinitas. Dari pada harus menemaninya bermain. Jika hari yang panjang libur tiba, aku ingin sekali memanfaatkan waktu yang ada. Menengok bapak di kampung halaman sana. Atau mengajaknya kembali ke ibu kota. Namun, seketika aku teringat dengan perkataan ibu kepadaku sebelum ajalnya. Ia menyuruhku untuk pergi, menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawab ini.

Seperti halnya sebuah janji. Rutinitas harus ditepati. Karena memang itulah isi pesan terakhir dari bunda. Yang belakangan ini justru membuatku ragu. Kenapa dunia tidak memihakku. Banyak sekali permainan di sana-sini. Membuat ruwet urusan pementasan. Kekuranganku sebagai sutradara semakin hari semakin terlihat. Entah kenapa rasa kepercayaan diriku menurun. Banyak hal-hal yang tidak bisa terpenuhi. Dan malah aku meminta bantuan banyak orang, Haris, Raka, Botak, Graha dan Bedul. Sekarang Ikal dan si Kribo itu.

Pementasan ini membawa banyak nama. Tidak bisa dibayangkan lagi, bagai mana kerepotan di dalamnya. Banyak anggota yang berhenti di tengah jalan, karena perbedaan cara pandang. Belum lagi, pementasan ini tidak sepenuhnya murni karena cita-cita yang sama. Itu karena kami terlalu banyak melibatkan orang dari luar komunitas. Banyak anggota yang hari demi hari terus mengeluh. Merasa paling repot dalam mengemban tugas. Tentu saja membuat Siswanto menjadi orang yang paling susah mengontrol emosi. Apa lagi pria itu banyak meninggalkan urusan pribadi demi pementasan ini. Jadi mau tidak mau, mengesahkan segala strategi.

Mungkin sudah seharusnya aku meninggalkan semua pikiran negatif itu. Si plontos dari organisasi loreng merah jingga itu memang sudah menjadi benalu. Dan barang kali usaha Kribo bisa membantu. Sudah hampir lengkap semua persiapan. Mana kala banyak tamu yang datang. Aku harus terus fokus memandang arah depan. Menyiapkan segala jawaban untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan.

Setelah melangsungkan kegiatan di sekolah. Aku kembali menuju tempat latihan. Para tim artistik mulai menyiapkan diri. Menambah rasa semangatku untuk hari nanti. Ternyata Siswanto kembali meminta bantuan orang-orang dari luar organisasi. Memang tidak banyak jumlahnya. Ia mendapatkan beberapa tenaga untuk memasang kain-kain hitam. Banyak celah yang harus ditutup. Agar cahaya dari taman tidak masuk ke dalam. Dan pekerjaan itu tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Lagi-lagi pemasangan kain hitam harus ditunda sampai hari selanjutnya. Yang pasti dua hari sebelum pementasan harus sudah siap. Waktu pementasan tinggal dua minggu lagi. Setidaknya masih sangat sempat untuk memikirkan kekurangan yang ada. Haris dibantu Raka, Albar dan beberapa rekan yang lain, pergi mencari tambahan kain hitam. Sementara pada sela-sela waktu, kami menyempatkan diri untuk berdiskusi. Tentang bagai mana cara memasang kain-kain itu. Teknik apa yang akan dipakai. Seberapa banyak tenaga yang turut serta. Dan berapa jumlah waktu yang dihabiskan untuk memasangnya.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang