Bagian16

1 1 0
                                    

Malam merambat semakin cepat. Sementara itu, aku biarkan lampu menyala terang. Bukan karena aku takut dengan kegelapan. Melainkan karena aku malas sekali untuk bangun dan mematikannya. Entah kenapa tubuhku tidak bisa tenggelam dalam mimpi. Beberapa kali aku sempat terbangun dan melirik ke daun pintu. Aku juga tidak tahu, secara spontan mataku bergerak ke arah sana. Ku lihat jarum jam telah menunjuk angka empat pagi. Untungnya hari itu aku tidak punya rutinitas. Jadi aku masih bisa melanjutkan tidur sampai siang. Rasanya aku tidak ingin pergi kemana-mana di hari minggu itu. Bahkan untuk memikirkan pementasan. Entah kenapa tiba-tiba sekali aku menjadi sangat malas.

Tiba-tiba saja ku dengar suara seseorang mengetuk pintu. Lantas aku bergegas memburu asal suara itu. Seketika aku terkejut dengan kemunculan bapak dari luar sana. Ia ku dapati dengan berdiri menahan ngantuk. Lantas aku langsung memburu lengannya dan mencium punggung telapak tangan itu. Sifatnya masih saja tidak berubah. Ia terus mengeluh kelelahan. Tapi masih sempat membakar sebatang tembakau dan mengapitnya di antara bibir. Seperti halnya anak baik-baik pada umumnya, aku meraih barang-barang yang ia bawa. Tujuanku untuk membantu bapak memasukan barang-barang ke dalam rumah. Beliau membawa satu tas kecil dan sebuah kardus bekas. Aku tidak berani menggeledah tas dan isi kardus mie instan itu. Jadi aku biarkan saja keduanya tergeletak di atas lantai.
"Kenapa bapak tidak mengabariku lagi, kalau akan datang." Tanyaku sedikit kesal kepadanya.
"Kan bapak sudah memberitahu sebelumnya." Jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Suaranya pun terdengar kurang jelas. Sebab beliau masih menggapit tembakau di ujung bibirnya sambil menggulirkan layar kaca. Entah siapa yang sedang ia hubungi di dalam ponsel itu.
"Iya, tapi bapak tidak pernah menyebutkan harinya. Maksudnya supaya aku bisa membereskan tempat ini." Celetukku kembali setelah beberapa detik.
"Yasudahlah, bapak lelah sekali. Nanti saja kita bahas lagi." Jawabnya dengan mudah saja tanpa melihat mataku. Lantas aku pergi ke belakang untuk mengambil segelas air putih. Sama tahu bisa meredakan rasa lelahnya. Kemudian aku kembali membawakan air itu kepadanya. Tapi tahu-tahu bapak sudah mengambil alih tempat tidurku. Ah, kenapa orang itu, pikirku. Ku lihat beliau nampak sangat kelelahan. Jadi aku biarkan saja ia beristirahat. Rasanya tidak tega jika terus mempersoalkan masalah komunikasi pada hari pertamanya di rumah itu. Sementara aku pindah ke ruangan lain untuk kembali membenamkan diri di dalam bantal. Mudah-mudahan saja, aku bisa tidur dengan nyenyak sampai siang nanti.

Matahari mulai membakar genting pada rumah itu. Seluruh ruangan seketika terasa pengap. Mudah-mudahan saja hari minggu itu tidak akan berlangsung lama, pikirku. Aku sempat masuk kedalam ruangan tengah, dan aku dapati tubuh bapak masih berbaring di sana. Tiba-tiba saja keluar suara aneh dari dalam perutku. Kemudian aku lanjutkan langkah kakiku menuju dapur. Tetapi di dalam sana tidak banyak bahan makanan terisisa. Untung sekali aku masih punya beberapa butir beras. Kira-kira dua gelas penuh jumlahnya. Cukup untuk mengisi perut kami selama sehari. Lantas aku memasak beras itu di dapur. Aku masukan dua gelas beras itu kedalam sebuah pancil, lalu mencucinya sampai bersih. Setelah selesai memisahkan pecahan batu kecil dan tanah, kemudian aku membilasnya sekali lagi. Tujuannya akan beras benar-benar bersih dan siap dimasak. Selanjutnya, aku harus memastikan kalau air itu dalam takaran yang tepat. Sejurus kemudian ku masukan ujung jari ke atas permukaan beras dan menambahkan air kebadalam panci. Air itu tidak boleh lebih dari garis ujung jariku. Itulah yang aku pelajari dari cara ibu memasak nasi.

Bapak masih terlelap di atas ranjang. Entah, mimpi apa yang sedang di alaminya. Melihat keadaan tubuhnya, seketika aku merasa kasihan. Mungkin beliau telah menahan lapar sejauh perjalanan. Atau mungkin sebaliknya, barang kali beliau menghabiskan banyak uang untuk membeli cemilan atau makan di sebuah restoran saat sopir bus berhenti di terminal pertama. Entahlah, mungkin saja pekiraanku salah. Wajahnya terlihat begitu lesu dan tidak berdaya lagi. Kulitnya mulai terbelah karena usia. Banyak garis kerutan di sana-sini. Ia nampak sudah terlalu tua untuk bekerja menjual barang dagangan seperti dahulu kala. Sementara ujung rambutnya mulai memutih. Tanda usia yang tidak muda lagi. Tidak lama setelah itu aku tersadar akan sebuah rencana yang terlintas di benak. Mungkin aku harus mengeluarkan sedikit uang untuk membeli lauk. Setidaknya aku bisa mendapatkan sepotong ayam goreng dan sayur daun singkong dari warung makan. Aku tidak boleh ragu untuk mengeluarkan uang beberapa lembar. Semuanya demi mengobati rasa lelahnya.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang