Bagian8

4 1 0
                                    

Udara dingin menyambut tubuhku pagi itu. Bulan Desember telah di depan mata. Menunggu semua hari berganti busana dan lelahnya. Sudah sejauh ini aku bertahan dari jurang kemiskinan. Sementara tahun akan berganti dan maslah baru akan aku hadapi. Salah seorang datang memberikan teguran agar hutang dilunasi. Awalanya pria tua itu menggedor pintu warung. Namun tidak ada jawaban apa-apa dari dalam sana. Ia terlihat begitu kesal, tanggaku sendiri yang menjadi saksi mata. Lantas pria tua itu mendapatkan teguran.
"Percuma saja Pak. Orangnya tidak ada." Celetuk penjual jamu yang berdagang di sebelah warung sayur milik ibu.
"Wedus!"
"Kalau bapak cari anaknya ada di sebelah sana." Penjual jamu itu memberikan alamat rumahku. Entah atas dasar kebaikan seperti apa, nyatanya informasi yang ia berikan justru menghadapkan ku kepada malapetaka.

Sungguh aku tidak ingin menyalahkan siapapun atas kondisiku saat ini. Aku hanya tidak mengerti, kapan bapak meminjam uang kepada orang itu. Beliau juga tidak memberitahu. Aku berikan saja beberapa rupiah dari upah ku untuk membayar setengahnya. Lalu aku bilang lagi kepadanya, kalau bulan depan nanti baru aku lunasi. Mendengar isi kalimat ku pria tua itu terlihat tidak senang hati. Padahal aku sudah mengatakan kalau keadaan kami sedang sulit. Jadi aku tidak bisa melunasinya segera mungkin. Lantas pria tua itu menatapku tajam lalu mengatakan sesuatu yang kurang menyenangkan.
"Bilang sama bapakmu, kalau tidak bisa bekerja sebaiknya tidak usah meminjam uang. Kasihan ibumu yang sedang sakit itu. Dan kalau bukan karena dia, kau pasti sudah menjadi pelampiasan emosiku." Ucapnya menutup pertemuan tanpa undangan itu.

Di dalam ruangan kamar sepetak, seluruh tubuhku gemetar memandangi daun pintu. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ku saksikan. Mungkin di luar sana masih banyak orang-orang dengan wajah bengis seperti itu. Aku merasa tidak punya apapun di kota ini. Jangan-jangan bapak mempunyai hutang lain kepada salah seorang juragan. Lalu orang-orang suruhan akan mendobrak daun pintu itu. Mereka mengambil apa saja yang tersisa di rumah ini. Termasuk juga kendaraan roda dua itu, hartaku satu-satunya yang masih terpakai. Aku merasa semakin dekat dengan lingkaran kemiskinan. Semakin hari, semakin nyata. Aku khawatir keadaan ini akan menghambat semua pekerjaanku. Sebab aku membutuhkan uang untuk tetap bertahan hidup dan juga biaya transportasi. Karena meskipun aku mempunyai kendaraan sendiri, tetapi bahan bakarnya harus tetap aku beli.

Beberapa menit setelah itu, seseorang kembali datang mengetuk pintu rumahku. Mendadak ketakutan itu semakin nyata adanya. Kedua kaki melangkah secara paksa. Beragarp semua akan baik-baik saja. Seisi pikiranku terus bertanya sambil menahan debar dada. Siapkah seseorang yang berada di balik daun pintu itu, tanyaku dalam hati. Secara lambat dan penuh kecemasan, ku tarik gagang pintu untuk memperlihatkan diri. Muncul dihadapanku seorang pria tua lagi, bertubuh kurus dan berkumis tebal. Ia adalah seorang tuan tanah, pemilik bangunan warung itu sengaja datang untuk meminta uang sewa. Aku tergagap-gagap menahan malu untuk menjawabnya. Tapi pria tua itu justru menampilkan wajah memelasnya.
"Anakku butuh uang untuk biaya sekolahnya, adek tolong bantu saya." Ucapnya menyampaikan maksud dan tujuan itu.
"Baik Pak, akan aku bayar. Tapi maaf, belum bisa penuh." Jawabku menyesal.
"Tidak apa, aku tahu ibumu sedang tidak sehat. Bapakmu juga sedang dalam kesulitan. Tapi kalau ada tolonglah sedikit saja." Tambahnya lagi, memberikan perasaan iba.

Aku berikan saja tiga puluh persen dari hutang itu. Lalu aku berjanji kepadanya, bulan depan akan aku bayar lagi sisanya. Pria tua pemilik bangunan warung itu lantas pamit dengan wajah diselimuti mendung. Ia terlihat berbeda dari tamu yang pertama. Mendadak perasaanku jauh lebih terjebak lebih dalaman. Melihat wajah penuh kasihan itu datang, diriku merasa amat sangat berdosa. Ia memang berhak untuk minta uang sewa itu kepadaku. Tapi kekuatan rupiah ku tidak seberapa. Sungguh sangat memalukan diriku ini. Telah membuat orang lain amat menderita.

Aku memang tidak ingin menyalahkan bapak karena permasalahan hutang. Tetapi kejadian hari itu telah membuatku begitu sulit mempercayainya. Sebab sebelum keberangkatan, bapak tidak pernah berpesan apa-apa. Ia tidak pernah berterus terang kalau mempunyai hutang sebanyak itu. Aku memang khawatir dengan keadaan diriku sendiri. Sebab mereka akan datang kepadaku lagi, dan meminta sisanya. Sementara bapak cukup aman berada jauh di sana bersama ibu. Meskipun alasannya untuk menemani ibu berobat, namun bagiku sama saja. Ia laki-laki yang tidak bisa bekerja dan memberikan ku penghidupan. Semua kabar masalah tentang hutang telah aku sampaikan kepadanya. Bukan maksudku meluapkan rasa kekesalan, aku hanya tidak ingin ia terus diam dalam masalahnya sendiri. Sehingga semua orang mendapatkan masalah akibat perbuatannya. Berkali-kali bapak meminta maaf kebadaku, lalu ia juga mengeluh kesakitan. Segudang alasan ia berikan untuk mengobati semua rasa kekecewaan ini. Tapi sayang, jawaban ku sama saja. "Tidak perlu meminta maaf, dan tidak perlu merasa bersalah. Semua kata maaf dan rasa bersalah hanya dapat dibayar dengan pekerjaan." Barang kali Tuhan masih mengampuni dosa-dosaku. Jauh dari dalam hati ini, sungguh aku tidak ingin menjadi anak durhaka ditengah kemiskinan seperti ini.

Para Aktor di Jagat KasarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang