Cerita (Ep. 22)

21 3 0
                                    

Di hari minggu, Alin kembali lagi ke rumah Xavier. Kali ini bukan karena tugas, tapi karena Xavier mengundangnya untuk datang ke rumahnya. Tapi, undangan apa? Ulang tahun? Syukuran? Atau..... pernikahan?

"Assalamu'alaikum," ucap Alin.

Tidak ada yang menjawabnya, pintunya juga terbuka sedikit. Awalnya Alin ingin langsung masuk, tapi ia merasa itu tidak sopan. Apalagi mereka belum terlalu akrab. Alin pun mengetuk pintunya berkali-kali.

"Eh," Alin terkejut karena pintunya terbuka semakin lebar.

Alin mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, dan tidak ada siapapun.

"Permisiiii. Xavier, Nea, gue masuk ya!" Teriak Alin.

Di dalam juga tidak ada siapapun. Alin terus-terusan memanggil nama Xavier dan Nea, namun tidak ada yang menyautinya. Alin membungkuk, berputar, bahkan jinjit untuk menemukan mereka. Tiba-tiba... ada yang menyentuh kaki Alin.

"EH COPOTT!" Teriak Alin sambil jingkrak-jingkrakan.

"Apanya yang copot lin?" Tanya Alfizan meledek.

"Jantung gue. Lagian lo ngapain sih megang-megang kaki gue?!" Kesal Alin.

"Ya maap, lagian lo kok nyeker?" Ucap Alfizan.

"Eh iya, ketinggalan kan sandalnya di depan," ucap Alin yang baru sadar bahwa ia melepas sandalnya.

Alin kembali ke luar untuk memakai sandalnya, dan tak lama Xavier turun dari lantai dua.

"Ada apa ini? Kok berisik banget?" Tanya Xavier.

"Udah tau berisik, dari tadi dipanggilin kok gak ada yang nyaut. Udah gitu pintunya kebuka lagi. Kalo ada orang jahat bagaimana?" Kritik Alin yang terburu-buru masuk ke dalam.

"Tenyata lo, gue kira kucing tetangga lagi berantem," canda Xavier.

"Emangnya lo punya tetangga? Bukannya kanan, kiri, sama depan rumah lo kosong? Belum ada yang nempatin kan?" Tanya Alfizan.

"Belakang," jawab Xavier.

"Belakang rumah lo kan danau," kata Alfizan yang berusaha memojokkan Xavier.

"Iya, penunggunya kan punya kucing," ucap Xavier beralasan.

'"Yeuuu."

"Vier, ada apa lo ngundang gue kesini? Terus kok ngajak Alfizan?" Tanya Alin.

"Emangnya gak boleh kalau ada Alfizan?" Jawab Xavier dengan pertanyaan lagi.

"Maksud gue, Alfizan doang? Claranya nggak?" Ucap Alin memanas-manaskan.

"Eaaaaaaa," tambah Alfizan.

"Udahlah bercandanya. Ayo ikut gue ke atas," ajak Xavier.

Alasan mereka berkumpul karena sebuah chat yang dikirim oleh Alfizan kepada Xavier.

Alfizan : Oi.

Xavier: ?

Alfizan: Lo cewek ya? Jawabnya singkat banget.

Xavier: Ngaca bos.

Alfizan: Selow dong selow. Gimana reaksi Clara? Lo belum cerita sama gue.

Xavier: No coment.

Alfizan: Why?

Xavier: Besok lo dateng ke rumah gue. Gue bakal ceritain ke lo. Gue juga mau ngundang orang yang mungkin bisa kasih solusi.

Alfizan: Ok.

"Jadi gitu ceritanya" ucap Xavier puas.

"Ooh gitu. Jadi lo mau cerita nih? BTW, gue belum tahu banyak tentang lo sama Clara, jelasin dikit lah," kata Alin santai.

Xavier meng-angguk-kan kepalanya sebanyak dua kali. Kata demi kata keluar dari mulut Xavier. Xavier menceritakannya dengan sangat teliti dan detail. Tempat, tanggal, waktu, bahkan pakaian yang dipakai pun dia ceritakan.

Alin mendengarkan Xavier sambil sesekali mengangguk. Sering kali dia juga memotong ucapan Xavier dengan pertanyaan, tapi Xavier justru senang. Dia merasa bahwa ada orang yang mendengarkan ceritanya. Sedangkan Alfizan, dia tipe orang yang menghargai orang bercerita dengan cara mendengarkan saja. Jika dia mempunyai pertanyaan, dia mencoba untuk menahannya agar orang itu menyelesaikan ceritanya terlebih dahulu. Sambil memakan kue nastar yang disuguhkan Nea, Alfizan mencermati omongan Xavier. (Kalau kalian suka tipe orang yang seperti apa?).

"Zan, jangan dimakanin terus dong nastarnya," tegur Alin.

"Kenapa? Lo takut kehabisan?" Canda Alfizan.

"Yaaa itu termasuk juga sih, hehe. Ngomong-ngomong, kok ada nastar disini? Jadi berasa lebaran," ucap Alin.

"Nyokap gue suka bikin kue," jawab Xavier.

"Oooh."

"Jadi bagaimana menurut kalian?" Tanya Xavier.

"Nastarnya enak kok," jawab Alfizan jujur.

"Bukan nastarnya. Bagaimana menurut kalian, kenapa Clara bersikap dingin ke gue kayak gitu?" Xavier mengulang perkataannya dengan tartil.

"Menurut gue, Clara itu bukan tipe orang yang marah sama seseorang tanpa alasan. Jujur nih ya, gue baru dekat sama Clara itu beberapa bulan yang lalu. Jadi yaaaa ini pendapat gue aja. Tapi saran gue sih lo harus tanya langsung ke orangnya," jelas Alin.

Xavier mengangguk dengan ragu. Dia tak yakin bisa bertanya ataupun berbicara kepada Clara yang begitu ketus padanya.

"Kalau dari cerita lo tadi, gue bisa nyimpulin sesuatu. Tapi sebelumnya gue mau tanya ke lo dulu. Apa lo pernah menyebarkan sesuatu yang bersifat 'rahasia' tentang Clara ke orang lain?" Alfizan serius.

"Nggak kok. Yaa dulu gue memang suka bertukar diary sama dia. Tapi gue gak pernah nyebarin apa yang ada di dalam buku itu," jelas Xavier.

"Yakin? Mungkin lo tanpa sengaja nyebarin itu ke orang lain?" Alfizan curiga.

"Gak pernah Zan. Kalau pun iya, lo yang bakal gue kasih tahu duluan. Karena dulu lo gak kenal Clara, dan kita beda sekolah. Lagian juga gue kan gak punya banyak teman. Jujur, gue juga sedikit malu nyeritain tentang gue yang suka nulis diary," sangkal Xavier.

"Yaudahlah. Menurut gue Xavier juga bukan orang yang kayak gitu Zan," lerai Alin.

"Gue berasumsi kayak gitu juga ada alasannya. Soalnya waktu itu gue pernah liat Clara lagi nulis sesuatu di bukunya. Tapi pas gue pengen liat, dia kayak nyembunyiin itu dari gue. Dan tiba-tiba dia nangis. Kalau gak percaya cek aja di episode 9," ucap Alfizan yakin.

"Ok fix, Xavier harus tanya langsung ke Clara. Emangnya lo mau istirahat sendiri terus? Kan gak enak," ucap Alin.

"Iya, coba dibicarain dulu baik-baik. Siapa tahu ada jalan keluarnya," ucap Alfizan setuju.

Bersambung...

.

.

.

.

Thanks for reading 😊.

Jangan lupa beri bintang dan bagikan cerita ini ya~

Satu bintang/ vote dari kalian itu sangat berarti bagiku, terima kasih

My Prestasi✨ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang