Sekolah (Ep. 27)

20 4 0
                                    

Diperjalanan menuju sekolah, Mita terus memandangi jalanan. Raganya memang ada di mobil itu, namun jiwanya masih tertinggal di rumah.

"Mit," panggil Clara.

"Ya?" Sahut Mita.

"Sebentar lagi udah mau nyampe, jangan ngelamun aja," ujar Clara sambil bercermin.

"Iya, aku tau kok," jawab Mita.

Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah mereka. Pak Imam, yaitu satpam SMP Citra Bangsa segera membukakan gerbang itu.

Mita yang terlebih dahulu turun, terkejut melihat sekumpulan murid di tengah lapangan. Clara yang baru melihatnya pun juga.

"Ada apa itu Mit?" Tanya Clara.

"Ga tau. Coba kesana yuk," jawab Mita.

Mita dan Clara berpamitan dengan Faiz. Setelah itu mereka langsung menuju lapangan, untuk mengetahui penyebab terjadinya perkumpulan itu.

"Kenapa pada kumpul disini Shell?" Tanya Clara kepada Shella yang sedang ikut berkumpul disana.

"Mau ada pemberitahuan dari kepsek (kepala sekolah). Tapi ga tau pemberitahuan apaan. Biasanya kan dikasih tau di chat, di taruh di mading, atau disiarin, jadi ga perlu sampai ngumpul kayak gini. Mungkin ini penting banget. Lagian juga kan udah dikabarin sama kepsek di grup angkatan. Eh, di grup kelas juga ada," jawab Shella.

"Gue ga buka HP semalem," Clara terus terang.

"Kalo aku buka HP, tapi ga buka WA," ucap Mita cengengesan.

"Yeeuuu, kalian ini samaan mulu," canda Shella.

Disaat mereka sedang asik ngobrol, Fitri menghampiri mereka, tepatnya Clara.

"Ra, lo kemana aja sih? Semalam gue nelpon lo berkali-kali tapi ga diangkat?" Tegur Fitri tegas.

"Gue ga buka HP," jawab Clara jujur.

"Lo itu OSIS Ra. Ga usah diingetin juga harusnya lo udah sadar. Udahlah, cepat bantu gue atur anak-anak," ucap Fitri dingin, sehingga membuat Mita dan Shella mundur beberapa langkah.

Clara mengikuti Fitri dengan perasaan bersalah.

Para murid sudah berbaris di lapangan sesuai dengan kelasnya masing-masing. Tak lama, bu Ritda selaku kepala sekolah SMP Citra Bangsa berdiri di hadapan murid-murid.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap bu Ritda.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab murid.

Bu Ritda berbicara panjang lebar disana. Bahkan para murid sudah pegal karena terlalu lama berdiri. Tapi bu Ritda memahami muridnya, sehingga ia mengizinkan mereka untuk duduk. Lalu bu Ritda melanjutkan pembicaraannya. Beliau tidak langsung membicarakan poin penting yang ingin disampaikannya. Para murid pun sudah mulai kepanasan (terutama yang bagian depan), karena hari sudah semakin siang.

"Baiklah tanpa membuang-buang waktu lagi, saya akan mengumumkan hal yang merupakan inti dari pembicaraan ini..." ucap bu Ritda.

"Udah kebuang banyak buu waktunya," ucap Alfizan pelan.

"Heh, dasar murid laknat. Pas udah dikeluarin dari sekolah baru tau rasa lo," tegur Shella.

"Tapi bener kan?" Tanya Alfizan yang membuat Shella terdiam.

"Jadi, sekolah kita terdaftar untuk mengikuti olimpiade. Namun ibu masih kurang yakin jika ini dipilih secara sepihak. Ibu mau kalian yang selama ini belum menunjukkan bakatnya, dapat memperlihatkannya hari ini dan seterusnya. Jadi sebelum olimpiade itu dimulai, sekolah kita akan melakukan tes terlebih dahulu. Ada yang mau ditanyakan?" Jelas bu Ritda.

"Bu, apakah semua murid wajib ikut tes itu?" Tanya seorang murid.

"Setelah melalui banyak pertimbangan, ibu nyatakan tidak. Ibu tidak mau memaksakan kalian. Ibu ingin kalian mendaftarkan diri untuk tes ini. Berhasil atau tidak itu urusan belakangan. Kalau berhasil berarti itu bonus. Kalau tidak, kalian jadi punya pengalaman. Sekali kalah, bukan berarti akan terus kalah. Tapi itu bisa kalian jadikan pelajaran agar bisa jadi lebih baik di lain kesempatan. Oh iya, seluruh pembayaran akan ditanggung oleh pihak sekolah. Jadi kalian hanya perlu fokus mengejar. Jika kalian berhasil memenangkan olimpiade, kalian bisa memilih sekolah untuk jenjang yang lebih tinggi dengan mudah. Jadi tak perlu khawatir tidak diterima," jawab bu Ritda.

Para murid semakin antusias untuk mengikuti olimpiade itu. Termasuk Mita.

"Shell, kita ikut tesnya kan?" Tanya Mita antusias.

"Kita? Mungkin gue ga Mit," jawab Shella murung.

"Kenapa Shell? Kan ga apa-apa nyoba dulu," ucap Mita.

"Iya Shell, gue aja tertarik," sambung Alfizan.

"Gue beda dari kalian. Kalian ga akan ngerti posisi gue. Gue itu ga sepintar kalian. Pembagian aja gue masih ga bisa caranya. Perkalian juga gue ga hafal. Sejarah apa lagi, gue susah ngafal. Gue itu g*bl*k banget Mit, Zan. Dan... gue ga mau bikin diri gue malu sendiri," kesal Shella.

Mita dan Alfizan langsung terdiam. Awalnya Alfizan ingin menyangkal pernyataan Shella, namun Mita memberi isyarat agar ia tidak bicara. Shella masih terlalu marah, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Itu yang Mita pikirkan.

Barisan sudah dibubarkan. Mita sangat merasa bersalah. Shella yang selama ini selalu menyemangatinya ternyata mempunyai banyak permasalahan. Tapi Mita tak tahu, dan jadi tak bisa membantunya.

Shella pergi ke kelas lebih dahulu. Mita ikut menyusulnya, dan terus memanggil nama Shella di perjalanan.

"Shella! Shell!" Panggil Mita.

Shella yang merasa malu namanya terus disebut pun menghentikan langkahnya dan membisikkan sesuatu kepada Mita.

"Mit, tolong jangan panggil-panggil nama gue. Biarkan gue buat berpikir dulu. Kepala gue rasanya mau pecah tau ga?!" Bisik Shella.

"..." Mita terdiam.

Bersambung...

.

.

.

.

Thanks for reading 😊.

Jangan lupa beri bintang dan bagikan cerita ini ya~

Satu bintang/ suara dari kalian itu sangat berarti bagiku, terima kasih💖

My Prestasi✨ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang