Aku Daneen Arumi Basyira. Seorang siswi dari Scregent High School. Sungguh, bertemu dengan bermacam-macam perangai orang-orang yang sedang menerobos melihat mading membuatku jenuh dan lelah. Dari yang tak sabaran hingga paling menjengkelkan. Tak ada yang mau mengalah.
Kala itu, hari di mana pembagian kelas. Pada saat daftar namaku masuk ke dalam jurusan IPA, sungguh bereaksi pada jantungku yang rasanya sangat mendebarkan. Aku sangat bahagia. Sedihnya, sedari tadi aku sendiri, menepi tak ada yang menemani. X IPA 3 begitulah kelas baruku yang tertulis di mading sekolah. Walaupun untuk melihatnya dengan susah payah karena begitu terdesak. Yang ditakutkan ketika tanpa sengaja bersentuhan dengan lelaki. Jadi, aku lebih memilih di kerumunan wanita.
Setelah selesai aku salah fokus pada seseorang lelaki yang bersandar di dinding kelas yang entah diketahui kelas berapa, lelaki itu memasukkan kedua jemarinya ke dalam kantung celananya. Aku yang berada dalam barisan paling belakang hampir menempel pada dinginnya dinding ketika memperhatikannya, langsung mengalihkan tatapan ke arah lain karena tak seharusnya memandangi lawan jenis. Suara lelaki lain yang terdengar jelas di tempat lelaki tadi membuat telingaku berfokus pada mereka.
"Lo kelas X IPA 4 Rifqi kita bakalan sekelas."
"Oh ... serius?"
"Iya masa gue bohong. Lo belum lihat mading?"
"Belum, terlalu ramai."
Sampai suara mereka tak terlalu jelas lantaran telah pergi dari tempatnya. Dari percakapan singkat mereka, sekarang aku jadi tahu nama lelaki itu Rifqi. Bagus, mungkin hanya itu yang terlintas di pikiranku. Nama yang bagus.
Hingga tibalah iris mataku kembali memandangi kerumunan di mading. Aku melihat seorang lelaki yang berusaha melihat seluruh daftar nama di mading, dari jurusan IPA hingga ke jurusan IPS. Telunjuknya membantu mempermudah. Setelah dirasa telah menemukan, dengan sigap ia berusaha keluar dari banyaknya orang-orang yang menghadang jalan. Kepalanya celingak-celinguk tak tahu mencari siapa.
Aku menunduk menatap ke bawah dan menggesekkan sepatuku membentuk pola asal di lantai sembari menghela napas. Aku mengernyitkan dahi, ketika terdapat sepasang sepatu berada di depan sepatuku.
Ketika mendongak, refleks aku langsung mundur—karena jarak aku dan lelaki yang berhasil keluar dari kerumunan tadi terlalu dekat — sampai-sampai punggungku menghantam lantai.
"Au ... sakit," jeritku tertahan di dalam hati.
Lelaki itu memajukan kepala ke arah nametag yang disampirkan di hijabku. Matanya tampak terbelalak, tetapi sedetik kemudian ekspresi wajahnya kembali seperti semula. Dia berdehem sepintas dengan posisi yang sama, di depanku. Karena aku merasa risih, jelas aku menautkan alis terdapat kerutan di dahi.
Aku mengalihkan pandangan dan menggeser tubuh ke samping kiri untuk memberikan ruang supaya tidak dekat dengan lelaki itu. Karena penasaran, aku kembali menoreh ke arahnya. Lelaki itu juga menatapku dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Aku yang tak suka dibercandai langsung memasang muka sedikit ditekuk.
"Dasar lelaki aneh!" batinku menyeruak.
Karena diriku yang mulai malas meladeni lelaki yang tak jelas, tak aku hiraukan kehadirannya dan kembali menghadap kerumunan orang-orang yang tampak merenggang dengan tatapan kosong.
"Nama lo, Arumi?" tanya lelaki itu tiba-tiba saat aku membalikkan badan.
Namun, ada yang mengganjal di benakku, kenapa lelaki itu memanggilku dengan sebutan 'Arumi' bukan 'Daneen'? Sebab hanya papa yang memanggilku dengan sebutan itu.
"Daneen," jawabku singkat.
Aku menjawab dengan wajah biasa tanpa senyuman. Karena tidak nyaman setelah itu langsung bergegas—meninggalkan lelaki itu tanpa menunggu responnya — mencari kelas baruku.
Ya, bisa dikatakan tidak ada yang istimewa. Itulah awal mula sebelum aku memulai kelas pertama di sekolah putih abu-abu.
Kenangan satu tahun silam yang masih terekam jelas di ingatanku.
Ini kisah yang tampaknya hanya diriku, tetapi tidak semua tentang diriku.
Ravika Zahara
Jangan lupa Vote dan comment^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...