Fifthteen

228 22 3
                                    

Langit-langit sebuah ruangan berwarna putih menjadi objek pertama yang aku lihat setelah aku tersadar. Tidak tahu apa aku pingsan atau tertidur, yang pasti aku berada disebuah tempat yang kurasa sangat nyaman.

Tidak ada suara bising, suara tembakan, suara ledakan, teriakan, hingga panggilan 'Nuna', hanya ada suara burung berkicau dan aroma khas pagi hari.

Tunggu.

Ternyata kejadian itu benar-benar nyata.

Aku coba menggerakkan tanganku, penuh dengan luka, selanjutnya aku meraba kepala, ada perban disana. Lalu, apa aku sekarang dirumah sakit?

Aku merindukan Jungkook.

Bahkan, aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Mungkin saja...

"Akhirnya kau sadar juga." Suara seorang wanita mengisi ruangan.

Kepalaku menoleh perlahan, wanita yang sama menolongku waktu itu.

"Kau pingsan selama dua hari, syukurlah tidak ada hal serius terjadi padamu." Lanjutnya sambil menaruh makanan beserta obat-obatan di meja nakas.

"Mari aku bantu." Ucapnya sedikit mengangkat tubuhku untuk duduk.

Mataku tak lepas dari wanita disampingku ini, wajahnya sangat cantik, aku iri padanya. Tapi, bagaimana Jungkook bisa mengenalnya? Apa mereka memiliki hubungan? Sungguh, aku tidak ingin mengetahuinya.

"Baiklah, aku akan merawatmu dengan serius sekarang. Aku yakin kau sangat lapar." Sendok ditangannya sudah berada didepan mulutku.

"Aku tidak lapar." Ucapku sangat pelan aku tidak yakin dia mendengarku atau tidak.

Dia kembali meletakkan sendok bubur kemangkuknya kembali, dia menatapku penuh simpati.

"Tapi satu nyawa diperutmu membutuhkan nutrisi lebih."

Aku menunduk melihat perut rataku, mungkin ada benarnya kata wanita ini, janin dalam perutku tidak berkembang dengan baik karena tak adanya nutrisi masuk ke tubuhku maka dari itu perutku belum membesar. Perlahan aku mengusapnya, seolah dari sana aku bisa memberikannya kekuatan bahwa dia sudah kehilangan sang ayah disaat dia belum lahir ke dunia.

Tidak. Aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak.

"Kau benar. Dia sudah berjuang sampai mati demi melindungi kami berdua." Lalu aku mengambil mangkuk bubur dari tangannya. "Aku akan makan sendiri, kau bisa tinggalkan aku."

Suapan pertama bubur tanpa rasa bagi lidahku sekarang, mengiringi tangisan tanpa suara setelah mengingat kembali seseorang yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi orang yang dia cintai.

Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan mengatakan pada anakku ketika dia bertanya tentang ayahnya, atau ketika dia menangis tidak ada seorang ayah menemaninya bermain disaat teman-temannya tertawa lepas dengan sang ayah. Tangisanku semakin tak bisa dikendalikan, namun, aku tidak berhenti menyuapkan makanan. Tak peduli lagi rasa mual, aku melahap habis semuanya tanpa sisa.

Tanpa sadar aku meremas kaosku, menahan rasa sakit dihati.

Natalie masih tertegun melihat keadaan paling berantakanku, aku merasakan sudah berada dalam pelukannya lalu ikut larut bersamaku.

"Dia belum pamit dengan anaknya, darah dagingnya sendiri, bagaimana aku menjelaskannya nanti." Aku menangis sekeras mungkin.

Benar-benar menyakitkan.

Pagi itu aku habiskan dengan menangisi kepergian Jungkook sampai aku lelah sendiri dan memuntahkan semua makanan yang sudah susah payah aku telan, Natalie pun ikut panik kemudian memintaku berhenti menangis.

Candy MAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang