Hujan masih terlihat jelas turun dari langit ke bumi. Percikan airnya bahkan membasahi kaca tempatku menatap lenggang jalanan yang telah basah. Aroma tanah yang menguar dan bercampur udara mengabarkan rindu yang menggema dalam dada, bergemuruh hingga lebur menjadi abu.
Pandanganku mengedar ke jalanan, ke halte yang tepat berada di depanku. Beberapa orang di sana terlihat cemas karena bus yang ditunggunya tak kunjung datang, jikapun datang bus selalu penuh sesak hingga mereka harus lebih bersabar menunggu bus yang lain datang. Begitulah hujan, hujan yang membuat semua orang berlindung darinya.
"Ice cappucinonya, mbak... " kata seorang pramusaji yang cantik padaku. Dua sudut bibirnya terangkat hingga menampilkan lesung pipit yang terpampang rapi di wajahnya. Rambutnya dicepol jadi satu dengan hiasan beberapa mutiara yang membentuk sisir dan disematkan asal namun tetap cantik di rambut hitam legamnya.
"Terima kasih..." kataku padanya, lalu ia kembali tersenyum, berbalik dan pergi dari mejaku.
Saat aku menoleh ke arah halte bus lagi, terlihat olehku sebuah bus tengah berhenti. Sama seperti bus-bus lainnya, penuh sesak hingga banyak yang memutuskan berdiri karena tak ada lagi tempat untuk duduk bagi mereka.
Ketika bus itu melaju, aku cukup tercengang, pasalnya separuh penghuni halte telah memutuskan berdesak-desakan di dalam bus. Mereka memilih kesemutan sepanjang perjalanan dari pada kedinginan tak jelas di luar.
Seorang perempuan muda nampak cemas saat menengok berulang kali ke arah datangnya bus. Mungkin ia berharap akan ada bus yang memiliki kursi kosong untuknya kelak. Berulang kali kepalanya menengok ke arah bus datang, lalu menengok ke arah bawah, ke rok merah muda yang dikenakannya. Mungkin ia tak nyaman dengan pakaiannya itu jika harus berdiri dan berdesak-desakan di dalam bus. Ia mengenakan blouse putih yang menutup lengan panjangnya dan rok merah muda yang hanya sampau lutut. Masih sopan sih, tapi untuk cuaca yang tak bersahabat seperti ini memang sebuah ketidaknyamanan tersendiri bagi perempuan jika harus naik angkutan umum dan berdesak-desakan dengan yang lainnya. Andai saja ia memiliki kendaraan pribadi maka ia tak perlu berdiri dengan perasaan cemas, ragu-ragu dan bimbang di halte.
Gadis itu menghentakkan kakinya, mungkin ia kesal dengan situasinya saat ini dan ia tak bisa berbuat banyak hingga berulang kali ia memainkan bibirnya dan menggerutu tak jelas.
Bus datang, kali ini terlihat agak longgar meski tetap saja tak ada tempat duduk yang tersedia. Beberapa detik kemudian bus itu telah penuh sesak dan aku berharap gadis itu ikut naik bus dan mendapatkan kursi untuk pemberhentian selanjutnya. Tetapi, ketika bus tersebut melaju aku melihatnya terduduk di halte seorang diri dengan wajah yang menatap lesu genangan air di depannya.
"Marissa..." panggil seseorang, aku menoleh dan cukup terhenyak kaget ketika mendapati seorang pria yang sebagian tubuhnya telah basah karena hujan tengah menatapku lega dan putus asa. Serta merta aku berdiri kaku dan menatapnya bingung. Aku bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba karena pasalnya aku yakin kalau kali ini aku telah berhasil kabur sangat-sangat jauh darinya.
Napasku masih naik turun dan aku bingung harus bagaimana dengan situasiku saat ini. Kehadirannya tak pernah kuperhitungkan sama sekali di kota kecil di daerah Malang. Untuk apa ia jauh-jauh datang dari Jakarta ke Malang? Bagaimana bisa ia menemukanku di sini? Siapa yang memberitahunya kalau aku ada di sini?
Aku menelan ludah. Bingung harus bersikap bagaiamana dan harus lari kemana saat ini. Di luar hujan dan aku benci basah karena hujan. Hujan bagiku adalah kutukan. Kenapa hari ini harus hujan?
"Ayok pulang... " katanya lemas setelah kami cukup lama saling pandang.
"Untuk apa? " tanyaku lantang.
"Untukku dan anak-anak kita... " katanya lirih. Aku tersenyum kecut mendengarnya.
"Nggak. Aku bosan saat aku harus hidup denganmu. " ujarku ketus. Ia menatapku tak percaya dengan matanya yang lemah. Aku tahu aku melukainya dengan kata-kataku tapi aku tak peduli. Aku sama sekali tak peduli dengan perasaanya saat ini. Aku sudah cukup terluka dengan kebohongannya selama 9 tahun ini.
Tak ingin berlama-lama tinggal bersamanya, aku menyambar tasku dan berlalu darinya. Kali ini aku tak peduli jika tubuhku harus basah karena hujan. Mungkin hujan akan menyembuhkan lukaku. Semua luka-luka yang telah membatu di hatiku.
Seseorang menarik tanganku dengan sangat kuat hingga tubuhku otomatis berputar ke arah si penarik. Lelaki yang sama dengan yang tadi. Lelaki yang saat ini tak ingin kusebut namanya karena aku ingin melupakannya dengan sempurna. Lelaki yang benar-benar telah mengoyak-ngoyak hatiku dan memporak-porandakannya. Jika saja aku bisa memutar kembali waktu, aku ingin kembali ke masa dulu, masa di mana aku dan dirinya pertama kali bertemu. Sama seperti hari itu, hari itu hujan dan kami bertemu di dalam bus yang penuh sesak. Sebuah bus yang tak hanya membawa kami pulang ke rumah masing-masing tapi juga membawa kami ke takdir kami yang rumit. Rumah tangga yang pelik dan mengesalkan. Rumah tangga yang diwarnai air mata dan pengorbanan. Rumah tangga yang penuh rahasia. Rumah tangga yang berakhir kekosongan. Rumah tangga yang membuatku berakhir ke sini, ke kota tempat Ibuku menyepi dan menenangkan diri dari seorang Ayah yang tak bertanggung jawab.
"Tolonglah, Sa! Tolong pulang! Jangan demi aku! Demi anakmu!" katanya.
"Bullshit!" kataku kasar seraya menepis tangannya keras-keras.
"Risa!" panggilnya lagi saat aku benar-benar tak mengubrisnya dan memilih melangkah cepat-cepat darinya untuk pergi sejauh mungkin.
"Tunggu!" katanya lagi seraya menarik kembali tanganku dan kali ini lebih kuat dan keras sehingga aku susah menepisnya. Tubuhku dan tubuhnya telah basah oleh hujan dan kami sama-sama sendirian di tepi jalan. Gadis halte tadi telah buru-buru naik bus ketika aku dan lelaki di hadapanku bertengkar. Mungkin ia risih sekaligus sungkan jika harus menonton drama pertengkaran antara aku dan lelaki di hadapanku ini.
"Aku gak mau pulang!"tegasku padanya.
"Bagaimana kau bisa setega itu kepada kedua anakmu?!" teriaknya. Aku terhenyak kaget dan tak percaya dengan apa yang kudengar dari mulutnya barusan.
"Aku? Aku setega apa katamu? Setega itu kepada kedua anakku? Maksudmu aku?" balasku berteriak. "Mereka anakmu juga! Aku baru meninggakkannya kepadamu seminggu! Ayah biologisnya! Iya! Kamu! Kamu ayahnya yang meninggalkanku dan kedua anakmu selama dua tahun!" kataku kesal.
Seharusnya hari itu aku tak naik bus dan membiarkan hujan yang dingin menemaniku sepanjang hari agar aku tak bertemu dengannya. Seharusnya hari itu aku tak menjatuhkan buku-bukuku dan ia memungutnya. Seharusnya ia tak mengantarku malam itu sampai kostku. Seharusnya tak kubalas pesan-pesan kecil darinya. Seharusnya aku tak menerima lamarannya secepat itu sebelum menengalnya baik. Dan seharusnya aku tak memergokinya bersama perempuan lain di mal yang ternyata adalah istri pertamanya...
![](https://img.wattpad.com/cover/239287064-288-k706934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU SUAMI KAKAKKU ITU AKU!
Romance"Kamu puas sudah hancurkan hidupku? " kata Lara setelah menuangkan satu gelas air putih yang telah kupesan sepuluh menit yang lalu ke seluruh wajahku. Sebenarnya aku ingin marah, tapi aku menahannya sekuat tenaga karena aku tahu statusku saat ini...