3. Tak pandai berdebat

581 23 0
                                    

Aku memasukkan nasi bertabur garam ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan cepat, setelah Ibu mengambil paksa ikan patin balado yang katanya pantang dimakan orang yang baru melahirkan. Capcay pun dirampasnya, karena Ibu yakin bumbunya memakai kemiri yang juga katanya akan membuat luka pada rahimku susah sembuh.

Aku pasrah, tak punya energi untuk berdebat dengan Ibu, aku sangat lapar. Seharusnya Ibu ikut juga kelas ibu hamil sepertiku agar dia tahu pendapatnya tentang makanan yang dilarang itu hanya mitos, warisan kaum feodal agar ibu dan bayi kekurangan gizi.

Bang Rafi tak banyak membantu, dia hanya bisa menatap dengan iba saat aku mengunyah nasi garam dengan air mata menggenang.

Dan kejadian horor pasca melahirkan ternyata belum sepenuhnya terlewati. Malam hari aku kebelet ingin BAB. Aku membangunkan Mamah yang berbaring di sampingku. Kamar yang kami tempati berukuran 3X4 meter dengan kasur menggelar langsung di atas lantai.

Mamah memapahku berjalan melewati kamar Ibu menuju kamar mandi di samping dapur. Aku berjalan dengan pelan dan hati-hati, selain menahan rasa sakit yang masih terasa. Juga takut membangunkan Ibu.

Dengan luka jahitan yang masih terasa ngilu aku mencari posisi yang pas di kamar mandi. Hal sesederhana ini menjadi begitu rumit. Keringatku mengucur menahan sakit, nasi garam jelas tak cukup menyediakan serat hingga konstipasi yang kuaalami membuat penderitaan di kamar mandi itu begitu menyiksa.

Setelah perjuangan itu selesai aku terduduk lemas di depan pintu kamar mandi. Bang Rafi yang ikut terbangun membopong tubuhku ke tempat tidur.

Di kamarku telah ada Ibu yang tengah menggendong bayi cantikku, ia terbangun dan menangis kencang hingga membuat Ibu turun tangan.

"Susui dulu, Ning!" perintah Ibu dengan tatapan tak bersahabat.

Mamah membenahi tempat dudukku. Disusunnya beberapa bantal di belakang punggungku. Kemudian mengambil Marisa, bayi kecilku dari gendongan Ibu dan menyerahkannya padaku. Ibu kembali ke kamarnya.

Bayiku menghisap dengan kencang, kembali menggugah rasa sakit hingga aku menyusuinya sambil menggigit bibir bawah. Tapi, semakin lama rasa sakitnya menghilang, Marisa menyusu dengan nyaman hingga aku dan dia terlelalap ditemani Mamah dan Bang Rafi yang setia menjaga.

Dua hari Mamah menemani di rumah Ibu. Semua keperluanku dia yang membantu. Air hangat untuk mandi, makanan sehat yang disetujui Ibu, juga membantu mencucikan pakaian aku dan bayiku. Aku merasa terlindungi saat ada Mamah di sisiku. Sayangnya, Mamah harus pulang juga.

"Mah, Ning ikut ya?" Aku memohon sambil memegang lenganya.

"Nanti Mamah sama Bapak jemput kalau Marisa sudah agak besar. Kasihan jalan ke rumah kita kan jauh dan jelek," tutur Mamah sambil mengusap lembut tanganku.

Aku melepas kepergian Mamah dengan risau di hati. Seperti apa hidupku selanjutnya di rumah ini?

****

Setelah tak ada Mamah, aku menguatkan diri untuk segera pulih dan beraktivitas dengan normal. Kini tak ada lagi yang bisa aku andalkan selain diriku sendiri. Bang Rafi bekerja di sebuah pabrik yang mengharuskannya berangkat setiap pukul setengah tujuh pagi dan pulang pukul lima sore. Jika lembur, dia akan ada di rumah selepas isya.

Ibu mertuaku adalah seorang single parent, ia memiliki sebuah toko pakaian di pasar dia pun selalu berangkat pagi dan pulang sehabis dzuhur. Dia meninggalkanku dengan rumah yang belum disapu dan piring yang belum dicuci. Jika aku sehat, tentu tak masalah dengan pekerjaan rumah semacam itu. Tapi, aku yang mengurus diri sendiri dan bayiku saja masih kewalahan apalagi memikirkan pekerjaan lain.

Ibu memang tak pernah melewatkan memasak setiap pagi. Setengah liter beras dengan lauk yang habis sekali makan untuk kami bertiga. Setiap hari dia makan siang di pasar dan tak memasak lagi hingga malam. Itu sudah menjadi kebiasaannya, seharusnya aku dan bayiku menjadi alasannya untuk memasak lebih banyak tapi nyatanya tidak begitu.

Sering kali aku mengganjal perut dengan mie instan saat nasi habis dan tak menemukan persediaan beras yang bisa dimasak.

Aku memaksakan diri mencuci piring sambil berdiri saat Marisa terlelap. Kemarin, pulang dari pasar Ibu menggendong Marisa sambil berkata, "Ibumu kaya bukan perempuan aja, gak bisa ngurus rumah. Nanti kalau kamu sudah besar jangan kaya dia ya, Mar." Aku hanya menahan sakit hati tanpa berani membalas ucapannya.

Aku mengajak Bang Rafi pulang ke kontrakan atau ke rumah Mamahku di kampung. Tapi dia memintaku untuk bersabar, tak tega katanya meninggalkan aku dan bayiku di kontrakan yang bersebelahan dengan kuburan. Nyatanya, di rumah ini ada sosok yang lebih menakutkan dari hantu.

Semakin hari berat badanku semakin menurun, aku lelah lahir batin. Lelah dengan pekerjaan yang memaksa dikerjakan, Bang Rafi yang tak jua peka dengan kesulitanku, juga dengan waktu bersama Marisa yang sering dirampas Ibu. Setelah Ibu ada di rumah, Ibu akan mengajak marisa bersamanya dan hanya memberikannya padaku jika Marisa ingin menyusu.

Lelah dengan pekerjaan rumahaku tertidur sehabis asar. Dan tersentak saat Ibu mengguncang tubuhku dengan kasar.
"Ning, ini bayimu pingin mimi!" sentak Ibu

Kepalaku pusing, telinga berdenging. Aku mendorong tubuh Ibu yang tengah menggendong Marisa dengan keras.

"Aaahhh ...." Ibu menjerit, dia terduduk dengan tangan mendekap erat Marisa. "Kamu gila!" teriak Ibu.

Aku limbung, merasa hampa dan sangat sedih. Memeluk lutut yang gemetar. Badanku panas, betisku kebas karena setiap hari turun naik tangga untuk menjemur pakaian di atas loteng. Perutku sangat lapar. Tak kuhiraukan lagi sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu, aku meringkuk seluruh sendiku lemas bagai tak bertulang.

Terdengar tangis Marisa yang melengking, mugkin dia lapar, mungkin dia sakit karena ikut terjatuh. Tapi, aku juga lapar, aku juga sakit, dan itu karena dia, karena Marisa.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang