Rumah Ibu sudah di depan mata. Aku turun dari motor dengan kaki bergetar, entah karena terlalu lama duduk menyamping atau karena rasa takutku akan suasana di rumah ini.
Ibu mendahului langkahku menuju pintu. Bang Rafi sigap menurunkan tas yang kubawa juga memegang erat tangan kananku. "Yu, masuk," ajak Bang Rafi.
Kurang lebih satu bulan aku meninggalkan rumah ini, suasananya telah banyak berubah. Hampir semua perabotan berpindah posisi. Letak kursi tamu, lemari, bahkan posisi kasur di kamarku.
"Jangan heran begitu, Ning. Ini semua Ratih yang rapiin. Dia memang punya selera bagus, karena latar belakang keluarganya juga bagus," sindir Ibu.
'Ratih, Ratih siapa? Bukannya itu pembantu yang pernah Bang Rafi ceritakan. Lalu dimana dia sekarang?' Aku hanya berbicara dalam hati. Nantilah aku tanyakan pada Bang Rafi. Aku tak punya cukup energi untuk berdebat, pinggangku rasanya mau patah. Belum lagi dada yang terasa keras, dan nyeri. Marisa sudah waktunya mimi.
Aku dan Marisa di kamar berdua, sedang Bang Rafi pergi entah ke mana. Aku terlelap sampai tak mendengar suara azan Maghrib dan Isya, saking lelahnya.
Malam telah larut saat aku keluar kamar. Rasa tak nyaman karena belum berganti pakaian, juga panggilan alam untuk menunaikan hajat ke kamar mandi membuatku terjaga.
"Rafi sudah menuruti permintaan Ibu untuk membawa Ning dan Marisa kembali, jangan jodohkan lagi Rafi dengan Ratih!" Suara Bang Rafi jelas tertangkap indera pendengaranku.
Aku tertegun, rasa ingin buang air kecil yang tadi mendesak pun menguap tak tersisa, berganti rasa penasaran yang menuntun langkahku mendekati sumber suara.
Bang Rafi dan Ibu sedang duduk berhadapan di meja makan. Lampu ruang tamu yang padam membuat bayanganku yang berada di balik dinding tersamarkan.
"Ratih itu lebih segala-galanya daripada istrimu, Fi. Kamu memang tak bisa membedakan permata dan batu kerikil," ketus Ibu.
Aku menahan sesak di dada. Masih bertahan mendengarkan obrolan mereka. Pantas saja waktu itu Bang Rafi menelponku dengan suara sendu. Rupanya dia berada dalam tekanan Ibu. Ah, entah apa lagi yang tidak aku ketahui. Aku semakin menajamkan pendengaran.
"Tolonglah, Bu, restui Rafi dan Ning. Berdamailah dengan menantu Ibu. Rafi sangat mencintai Ning dan Marisa," lirih Bang Rafi. Air mataku luruh. Aku meremas kerah bajuku, menahan agar tak terisak.
Ibu tak lagi menjawab, dia beranjak dari duduknya dan berlalu meninggalkan Bang Rafi yang kini tertunduk, menahan wajah dengan telapak tangannya, dia terlihat prustasi.
Beberapa menit aku mematung, lalu memberanikan diri menuju kamar mandi, yang artinya harus melewati Bang Rafi yang masih duduk sendiri di kursi meja makan.
"Kamu ko bangun?" Bang Rafi tersentak saat aku telah berdiri di depannya.
"Kebelet," jawabku sambil buru-buru melangkah ke kamar mandi.
Malam itu aku kembali tak nyenyak tidur. Apa yang harus aku lakukan dengan situasi rumah tangga yang seperti ini? Aku tak punya pegangan.
****
Hari ke empat puluh pasca melahirkan, aku merasa telah benar-benar suci dari nifas. Aku melakukan mandi besar sebagaimana yang diajarkan guru mengajiku dulu.
Mencuci tangan dan kemaluan, berwudhu, menyugar rambut tiga kali, kemudian mengguyur bagian kepala disertai niat, "Nawaitu rof'al hadasil akbari, anjami'il badani, aninnifasi fardhu lillahi ta'ala. Aku niat menghilangkan hadas dari sekujur tubuhku, karena nifas, fardhu karena Allah ta'ala."
Byurrr ....
Dinginnya air menyentuh ujung kepala hingga ujung kaki. Kubasuh semua bagian tubuh, semoga air ini membawa serta semua luka, semua duka dan menggantinya dengan suka dan bahagia.Setelah semua rangkaian mandi wajibku selesai. Aku bergegas wudhu dan kembali ke kamar, takut Marisa terbangun sedangkan di rumah ini sudah tak ada siapa-siapa. Bang Rafi sudah berangkat kerja, begitu juga Ibu.
Marisa si anak sholeh itu ternyata masih anteng, lelap dalam tidurnya. Sesekali tersungging senyum di bibir mungilnya, entah apa yan sedang dia mimipikan.
Puas memandangi wajah damai putri kecilku, aku mulai mematut diri di cermin. Usiaku baru dua puluh tahun kini. Kulit putih, hidung yang tak begitu mancung, mata bulat dengan tahi lalat di dagu bagian kanan. Bulu mata pendek tapi lentik, alis lebat, dengan rambut tebal dan sedikit ikal. "Aku cantik."
Aku menyisir rambut, memakai bedak sambil terus berkata di dalam hati, 'Aku cantik, aku pantas bahagia.'
Kualirik jam kecil di atas nakas, sudah lewat waktu dzuhur. Aku mengambil mukena yang sekian lama tak kusentuh, memakainya dengan perasaan haru. Entahlah, ada rasa rindu yang membuncah di dalam hati. Rindu menumpahkan keluh kesah di atas sajadah. Berbisik pada bumi, berharap didengar pemilik langit.
Selama ini aku lemah, karena merasa tak punya pegangan. Aku lupa, ada Allah di atas segalanya. Sebanyak apa pun orang mempecundangiku, ada Allah pemilik arasy yang akan menaungiku.
Rakaat demi rakaat aku lalui dengan syahdu. Aku tergugu, menumpahkan air mata sebanyak-banyaknya. Memohon kekuatan pada yang kuasa agar hatiku selalu tabah menghadapi segala ujian.
"Allah ... Allah ...," lirih aku menyabut nama-Nya.
Aku kembali menangis, saat teringat cerita Bang Rafi tentang Ratih. Ternyata dia bukanlah pembantu, seperti yang kukira. Dia adalah saudara jauh Bang Rafi yang sengaja di bawa Ibu ke rumah ini saat aku pulang ke rumah Mamah. Ibu hendak menjodohkan Ratih pada Bang Rafi.
Bang Rafi bersikeras menolak keinginan Ibu dan membawa kembali aku dan Marisa ke rumah ini. Ratih telah pulang sebelum aku sampai, aku tidak tahu seperti apa wajah perempuan yang dipilih Ibu untuk menggantikanku itu.
"Yaa muqolibal qulub, wahai yang maha membolak-balikan hati. Lembutkanlah hati Ibu. Tumbuhkan kasih sayang di hatinya."
Aku menutup rangkaian doa setelah mendengar suara Marisa. Aku buru-buru membuka mukena, mengaitkannya pada paku di balik pintu kamar.
Kuraih permata hatiku dan menciuminya. Kuhirup udara dari ubun-ubun dan pipinya. Wangi.
"Bunda akan bahagia, Bunda akan kuat, demi kamu, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...