10. Meninggalkan rumah ibu

353 22 1
                                    

Tubuhku terasa ringan, sangat ringan. Terdengar lamat-lamat suara jerit dan tangisan Mamah. Aku sadar, masih bisa mendengar. Hanya saja tak punya cukup tenaga untuk sekadar membuka mata.

"Ya Allah, Ning ... huuu huuu." Suara Mamah sekarang percis di dekat telinga kananku.

Kurasakan badanku melayang, aku diangkat oleh seseorang kemudian mendarat di permukaan yang empuk. Tak bisa lagi kucerna kata-kata orang di sekitarku, hanya serupa dengungan sekawanan lebah yang membuat kepalaku semakin pusing.

Entah berapa lama aku menikmati kesunyian. Tidur tapi tidak nyenyak, terjaga tapi tak bisa membuka mata hinga bau minyak telon menusuk hidung. Rasa sakit menyengat diantara telunjuk dan ibu jari karena tekanan yang sangat kuat, memaksa mataku terbuka.

"Ning, udah siuman!" pekik Mamah. Mamah memelukku, masih tergugu, isak tangisnya terdengar pilu.

"Minum dulu, Nak." Mamah menarik bahuku hingga aku bisa duduk bersandar. Teh manis hangat mengaliri kerongkongan, terasa hangat sampai ke perut.

"Ning makan ya, Mamah bawa ayam serundeng kesukaan kamu." Mamah mengeluarkan kantong hitam dari tas berwarna merah dengan variasi warna coklat, tas yang aku belikan dulu saat masih bekerja.

Nasi timbel berbungkus daun pisang sebesar lengan, tercium wangi khas yang menggugah selera. Potongan ayam serundeng dalam plastik bening dikeluarkan Mamah, membuat cacing di perutku bersorak sorai.

Aku makan disuapi Mamah, nikmat sekali. Sesekali Mamah menyeka sudut matanya yang berair, dia menyuapiku sambil berurai air mata. Aku pun tak kuasa menahan tangis, nasi yang masuk ke mulutku terasa asin.

Lebih dari setengah bagian nasi timbel telah berpindah ke perutku. Bapak datang dengan Marisa di pangkuannya. Aku meraih dan mencium tangannya dengan takdzim.

"Kita pulang ke rumah, Ning." Bapak berbicara dengan nada dingin. Rahangnya mengeras dengan mata yang berkaca-kaca. Bapak memang tak banyak bicara tapi, siapapun yang melihat wajahnya kini akan sangat tahu bahwa dia sedang bersedih.

"Mamah ke sini sama Mang Jael, sengaja mau jemput kamu. Semalam Mamah mimpi buruk Ning, kamu Mamah temukan di jalanan dengan pakaian compang-camping," tutur Mamah masih dengan air mata yang menganak sungai di pipinya.

Jika aku tetap di sini, mungkin mimpi Mamah akan menjadi nyata, kewarasanku akan hilang hingga terlunta-lunta di jalan. Naudzubillah.

"Tapi Ibu dan Bang Rafi belum pulang."

"Kita tunggu sampai Ibu mertuamu pulang, tapi gak usah nunggu Rafi. Kalau dia sayang anak dan istrinya dia akan datang menemui kamu." Masih terdengar amarah dalam kata-kata Bapak.

Aku tak perlu bercerita, kondisiku sudah menggambarkan semuanya. Tubuhku kurus kering, wajah tirus, tulang di bawah leherku tampak menonjol, lingkar mata hitam dan cekung dengan bibir pucat membiru, bagaimana aku akan bilang pada Mamah dan Bapak kalau aku baik-baik saja?

"Kita mulai berkemas. Bawa seperlunya saja, terutama perlengkapan Marisa," perintah Bapak.

Aku menghela napas. Bimbang menguasai hati. Aku ingin pulang ke rumah Mamah, lepas dari penderitaanku tapi, bagaimana nasib pernikahanku setelah ini? Apakah nanti Bang Rafi akan menemuiku atau justru melepaskanku.

Sebuah tepukan lembut di bahu menyadarkan lamunanku. "Rafi itu sayang sama kamu dan Marisa. Dia hanya belum dewasa. Dan kejadian ini akan menguji kedewasaannya. Jangan berpikir macam-macam, yang terpenting sekarang adalah kesehatan kamu dan Marisa." Mamah seolah dapat membaca isi hatiku.

Aku mandi dan bersiap setelah menyusui Marisa. Mamah turun dari tangga dengan setumpuk pakaian yang telah kering. Dia kembali mengusap matanya yang berair. "Mamah kenapa?" tanyaku.

"Kalau di rumah kita, kamu tak akan Mamah biarkan mencuci sebanyak ini, Ning. Turun naik tangga.... Kamu itu baru melahirkan, tak ada luka di tubuhmu bukan berarti kamu sehat. Huuu huuu...." Mamah menangis lagi. Dia terduduk dengan memeluk pakaian yang baru diangkatnya.

"Mamah menyesal, mempercayakan kamu pada Bu Sukma, mamah menyesal!" Mamah masih saja terisak. Aku pun duduk di sisinya. Bersandar pada bahu Mamah kemudian saling memeluk.

Pakaian dan perlengkapan Marisa yang sudah aku masukkan dalam tas besar. Aku hanya membawa baju seperlunya. Di rumah Mamah, masih ada beberapa pakaian yang aku tinggalkan. Pakaian saat aku gadis dulu. Dengan tubuhku sekarang, pakaian-pakaian itu akan bisa aku kenakan kembali.

Semua sudut rumah telah Mamah rapikan, tak tersisa piring dan gelas kotor. Kamarku pun telah rapi, sprei tanpa lipatan, bantal yang menumpuk, kasur pink Marisa telah siap kami tinggalkan. Pandanganku menyapu seluruh ruangan. Biarlah, apapun yang terjadi setelah ini aku pasrah.

Aku mengambil secarik kertas dan pulpen, menuliskan pesan untuk Bang Rafi. Jika saja ponsel yang kumiliki tak kujual untuk persiapan biaya persalinan dulu, komunikasi dengannya tentu lebih mudah. Tapi, tak apa, di rumah nanti aku bisa meminjam ponsel Wening.

Aku, Mamah, Bapak dan Mang Jael telah bersiap di teras rumah saat Ibu turun dari ojeg yang ditumpanginya. Dia tampak kaget, dan berjalan dengan tergesa ke arah kami.

"Apa-apaan ini?"
Kami terkesiap mendengar tingginya nada suara Ibu.

"Maaf Bu Sukma, Ning mau saya bawa pulang," ucap Mamah.

"Bawa saja, tapi jangan bawa Marisa, cucu saya!" tukas Ibu.

Bapak terlihat menahan marah. Bicara pada Ibu nyatanya tak semudah yang kami kira.

"Saya di sini bukan mau meminta izin, Bu. Hanya pamit. Saya menghargai Ibu sebagai besan walaupun Ibu sudah memperlakukan anak saya dengan begitu kejam." Mamah mulai sengit.

"Siapa yang kejam? Sudah untung saya tampung mereka di sini, tidak harus hidup di jalanan. Rumah nyaman, makan tinggal makan, nyuci pakai mesin, apa lagi?"

Mamah hendak menjawab tapi Bapak memegang tangannya. "Terima kasih Ibu sudah merawat anak dan cucu saya selama ini, sekarang giliran kami. Ibu dan Rafi boleh bertemu mereka kapanpun." Bapak mencoba menengahi.

Aku menggendong Marisa, menutup tubuhnya dengan selimut tebal, dia akan melakukan perjalan pertamanya hari ini. Aku pamit, menyalami tangan Ibu namun ditampiknya.

Mata Ibu menatap Marisa, egonya luluh. Ibu mengambil Marisa dari pangkuanku dan menciuminya, dia menangis. Kukira Ibu tak punya air mata, nyatanya dia bisa menangis juga.

Hari itu aku dan Marisa meninggalkan rumah Ibu. Lega, sedih, nelangsa, bimbang bercampur menjadi satu. Satu hal yang kuyakini, ini adalah pilihan terbaik untuk kesehatan jiwa dan ragaku. Marisa membutuhkan Ibu yang bahagia.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang