Kak Lisna beringsut mendekatiku. Matanya awas menatapku, takut aku tiba-tiba bergerak dan menerkamnya.
"Ning."
"Hem."
Kak Lisna duduk di sisi kasur dekat dengan ujung-ujung jari kakiku yang berselonjor. Hening beberapa saat.
Aku hanya diam, memperhatikan raut wajah Kak Lisna yang tidak sekeras biasanya. Dia seperti hendak bicara tapi masih takut dengan reaksi yang mungkin kutunjukkan.
"Ini, Marisa bobo. Kakak simpan di sini ya," tuturnya sambil meletakkan Marisa di pembaringan.
Dia kembali beringsut. Membuka pintu kamar dan menutupnya kembali setelah keluar. Aku mendengar lamat-lamat suara Kak Lisna yang tengah memarahi Gio disusul suara TV dengan volume sedang.
Aku menyandarkan kepala pada bantal yang ditumpuk tiga di belakang punggung. "Astagfirulloh ...," kuseka rambut yang masih basah karena air doa tadi. Emosiku sering tak terkendali belakangan ini, kadang merasa sangat sedih, lalu hampa ... sekali, marah dan benci pada Marisa, bayi cantikku yang sama sekali tak berdosa. Juga sangat kecewa pada Bang Rafi yang seolah tak peduli dengan derita lahir batin yang kualami.
Kuakui, aku sering lalai mengingat Allah, merasa belum suci karena nifas membuat aku serta merta melupakan ibadah, padahal dzikir itu adalah obat hati yang paling mujarab. "Allah...." Kutarik napas dalam dan menghembuskannya cepat, berharap beban dalam dada keluar bersama helaan napas yang terbuang.
"Ning." Kak Lisna kembali muncul di balik pintu dengan sapu di tangannya. Aku masih belum beranjak dari tempat dudukku.
Kak Lisna mulai membersihkan kamarku. Pecahan gelas hingga debu bekas bedak yang berhamburan ke udara. Dirapikannya baju-baju Marisa yang berserakan akibat ulah Gio.
Setelah selesai menyapu dia kembali dengan nenenteng alat pel dan ember kecil berisi air. Aku tak tega.
"Kak, biar Ning aja," ucapku sambil meraih gagang alat pel dari tangannya.
"Jangan! Kamu duduk aja, tuh Marisa bangun," tukas Kak Lisna.
Aku menyerah, memilih meraih Marisa dan menyusuinya. Air mataku kembali jatuh. Sedih rasanya membayangkan bayi ini tadi sakit dan ketakutan karena ulahku.
Aku menyusui Marisa sambil membelai setiap bagian wajahnya. Harusnya, karena dia aku menjadi lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih sabar. Tapi, hari-hariku di sini sangat berat, aku menderita.
Kak Lisna telah selesai dengan pekerjaannya. Kamarku kembali rapi, bersih dan wangi. Membuatku merasa segan dan tak enak hati.
Untuk kesekian kalinya Kak Lisna masuk ke kamarku. Dia duduk di lantai menghadapkan tubuhnya yang sekarang mulai berisi. "Maaf ya, Ning," ucapnya.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Aku bukan orang pendendam, aku sangat mudah memafkan. Sayangnya hatiku terlalu perasa.
"Kakak jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat Kakak melahirkan Gio. Belum juga hilang rasa sakit bekas oprasi. Ibu datang dengan tatapan menyalahkan, 'Udah ngabis-ngabisin biaya, eh anaknya laki-laki.' Begitu katanya." Kak Lisna mulai bercerita sambil sesekali menyentuh pipi Marisa.
Dulu Kak Lisna mengalami baby blues lebih parah dari yang kualami. Dia sama sekali menolak menyentuh Gio apalagi menyusuinya. Itu dampak dari penolakan Ibu karena cucu pertamanya laki-laki, tak sesuai harapan.
"Untung Bang Reza itu pengertian, dia tak mengizinkan Kakak pulang ke rumah ini. Kakak langsung pulang ke Sukabumi, membawa bayi merah Gio. Dan baru pulang ke sini setelah Gio berusia enam bulan," tutur Kak Lisna.
Aku memindahkan Marisa ke tangan sebelah kiri sambil terus mendengarkan Kak Lisna.
"Begitu tahu kamu melahirkan bayi perempuan, Kakak iri. Ibu pasti menyayangi kamu dan Marisa tak seperti pada Gio. Tapi setelah melihat reaksi kamu tadi, Kakak tahu kamu sama tidak bahagianya seperti Kakak," pungkasnya.
Aku ingin curhat. Tapi segan. Ini adalah kali pertama aku bertemu Kak Lisna dalam waktu yang terbilang lama. Biasanya, kami hanya bertemu di acara-acara penting saja, saling basa-basi dengan Kak Lisna yang selalu menunjukkan wajah tak bersahabat.
"Ning mau pulang saja ke kontrakan, Kak. Ning gak kerasan di sini," ucapku.
"Ya, Kakak setuju. Tinggalkan rumah ini demi kebaikan kamu dan Marisa. Kakak tahu betul sifat Ibu. Kakak kira kamu akan jadi mantu idaman karena melahirkan bayi perempuan, nyatanya sama saja." Kak Lisna menyeringai.
Kak Lisna dan Gio pamit sebelum Ibu pulang. Bantal berbentuk hati kesayanganku dibawa Gio, aku pasrah. Sebelum pulang Kak Lisna menyelipkan sebuah amplop di bawah bantal Marisa sambil berbisik, "Kakak serius tentang kamu yang harus pintar-pintar jaga badan, jangan sampai Rafi tergoda perempuan di #Kampung_Pelakor, bahaya," ancamnya.
Aku hanya meringis, Kak Lisna tertawa. "Nanti kita cerita-cerita lagi soal itu ya, Kakak punya resep rahasia," tandas Kak Lisna sambil berlalu menggandeng Gio.
Tekadku sudah bulat, nanti malam aku akan bicara pada Bang Rafi. Aku mau pulang ke kontrakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/239215873-288-k85113.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...