11. Kembali

311 17 0
                                    

***

Sudah nasibku memiliki ibu mertua yang tak sayang menantu. Selain karena karakter Ibu yang ceplas ceplos, keras dan seperti tak punya empati, hubunganku dengan Ibu tak pernah baik, sebab sejak dulu, Ibu tidak merestui pernikahanku dengan Bang Rafi.

Tiga tahun lalu, aku dan Bang Rafi bertemu di gerai minimarket tempat aku bekerja. Saat itu status Bang Rafi masih mahasiswa semester empat. Kami menjalin hubungan serius, Bang Rafi tak suka saat banyak lelaki mencoba mendekatiku. Dia bersikeras menikahiku padahal dia belum mampu menjadi seorang kepala keluarga.

"Kamu harus pilih salah satu, tetap kuliah dan tinggalkan gadis itu, atau menikahinya dan berhenti kuliah!" tutur Ibu saat hubungan kami menginjak tahun kedua.

Terkadang cinta memang setakwaras itu. Bang Rafi memilih berhenti kuliah, kami menikah dengan keyakinan bahwa cinta akan menguatkan kami dalam situasi apa pun.

Beruntung, pasca memutuskan cuti kuliah dan menikahiku, Bang Rafi mendapatkan pekerjaan di pabrik sebagai teknisi, berkat tawaran dari teman-temannya semasa STM. Saat itu, kami merasa sangat bahagia. Kami hidup berdua di sebuah kontrakan kecil yang kami anggap seperti istana.

Masa-masa menjadi pengantin baru itu adalah masa yang paling indah. Aku merasa hidupku sempurna. Bersatu dengan belahan jiwa, merasakan cinta yang begitu besar, seakan hidup akan selamanya seperti itu.

Ibu tak pernah sekali pun mengunjungi kami. Jangankan mengirim sesuatu, menanyakan kabar pun tidak pernah. Aku tidak terlalu ambil pusing, yang terpenting sikap Bang Rafi saat itu sangat manis dan perhatian.

Tiga bulan setelah menikah, aku positif hamil dengan hiperemesis gravidarum. Mual muntah yang berlebihan sehingga sering tak bisa masuk kerja. Semakin besar kandunganku, semakin aku merasa payah dan memutuskan untuk resign.

Di sanalah semua masalah bermula. Kondisi ekonomi keluarga kecil kami tidak lagi stabil. Hobi Bang Rafi mengoleksi sepatu bola yang dulu kuanggap biasa, setelah penghasilan kami berkurang drastis, sering aku protes. "Kita harus berhemat, Bang. Aku sudah tak bekerja dan sebentar lagi aku lahiran." Aku mencoba memberinya pengertian.

Rupanya, pergaulan Bang Rafi tetap menuntutnya untuk lebih mementingkan hobi daripada keluarga, dia memang tak cukup dewasa. Saat itu, aku baru sadar cinta tak sekuat yang kukira.

Ponsel sebagai harta satu-satunya yang kupunya, terpaksa aku jual untuk bekal persalinan. Aku sadar tak mungkin mengandalkan pertolongan Mamah apalagi belas kasihan Ibu.

"Ning, apa hasil USG-nya?" tanya Bang Rafi saat aku keluar dari ruangan dokter. Kandunganku saat itu sudah jalan delapan bulan, bidan yang rutin memeriksaku di posyandu menyarankan USG untuk memastikan kesehatan bayi dalam kandunganku. Mengingat kondisi kehamilanku yang mengkhawatirkan.

"Alhamdulillah sehat, walaupun bayinya kecil."

"Jenis kelaminnya?" Bang Rafi sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kami. Dia berharap aku melahirkan bayi perempuan, sesuai keinginan Ibunya.

Aku menatapnya lekat, sengaja tak segera menjawab pertanyaannya. Bang Rafi tampak tak sabar. Dia memegang bahuku.

"Perempuan?" terkanya.

Aku mengangguk dengan sudut bibir yang terangkat sempurna. Bang Rafi memelukku erat. "Ibu pasti sangat bahagia mendengar kabar ini, Ning. Terima kasih," ucap Bang Rafi penuh haru.

Aku mengangguk dalam pelukannya. Semoga bayiku menjadi perekat hubunganku dengan Ibu.

Sejak kabar kabar baik itu didengar Ibu. Aku dan Bang Rafi rajin dipanggil Ibu ke rumahnya. Ibu membelikanku susu hamil, baju hamil berwarna merah jambu juga sering mengajakku ke bidan. Ibu mengatakan bahwa semua keperluan bayiku kelak, Ibu yang akan menyiapkannya.

Aku berbesar hati, merasa bahwa hubunganku dan Ibu akan membaik karena bayi yang kukandung. Tapi, nyatanya Ibu hanya menerima Marisa, tapi tidak denganku.

Setelah pengalaman pahit melahirkan di rumah mertua, hari ini, aku akan kembali ke rumah itu, rumah yang tak pernah nyaman kutempati, demi Bang Rafi demi ayah Marisa.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang