Sekilas, aku mendengar benda-benda yang beradu dengan kasar. Gedebak-gedebuk. Mungkin Ibu ingin memberi tanda kalau dia sedang marah padaku, caper.
Aku melepas Marisa dengan perlahan, takut dia kembali bangun apalagi mendengar suara gaduh yang ditimbulkan Ibu. Aku berjinjit keluar kamar. Sesekali aku berpaling melihat Marisa, "aman ...." Dia tidur dengan nyenyak.
Ibu sedang mengeluarkan perabotan dari dalam kitchen set. Mixer, open, loyang dan segala peralatan membuat kue lainnya. "Ibu sedang apa?" tanyaku.
"Kamu kira, Si Suparti aja yang bisa bikin kue? Ibu juga bisa!" sengitnya.
Ya, Allah ... Ibu jealous ternyata. Aku mencoba mengatur napas, antara ingin tertawa dengan sikap kekanak-kanakan Ibu, tapi takut membuat dia semakin tersinggung.
Setelah menarik napas beberapa kali, aku melancarkan misiku untuk terus melakukan pencitraan di depan Ibu. Ini pencitraan halal ko, karena niatnya juga baik.
"Wah, Ibu pinter bikin kue juga! Ngapain Ning minta diajarin bikin kue sama bu Suparti, kalau mertua sendiri pintar bikin kue!" seruku, menekan suara agar tidak terdengar terlalu lebay.
Raut muka Ibu mulai tenang. Tangannya tidak lagi grasak-grusuk seperti tadi. Ibu menoleh ke arahku, "Kamu mau diajarin bikin kue apa?" tantang Ibu.
Aku berjongkok, mensejajarkan diri dengan Ibu yang masih sibuk menarik-narik perabotan di bawah meja kompor. "Ning sama sekali nggak pernah bikin kue, Bu. Jadi terserah Ibu aja, mau bikin apa." Dengan intonasi sehalus mungkin aku berbicara pada Ibu.
"Kamu belanja dulu ke minimarket depan, biar Marisa Ibu yang jagain," pinta Ibu.
Aku mengangguk tanda menyanggupi. Dengan sabar aku menunggui Ibu menuliskan bahan-bahan yang harus aku beli. Aku melirik, memperhatikan wajah Ibu yang tampak serius, sudut bibirku terangkat. Sepertinya, misi pencitraanku akan berhasil.
Matahari mulai bergulir ke arah barat, membuat udara cukup bersahabat denganku yang harus berjalan kaki demi memenuhi permintaan Ibu. Sesampainya di minimarket yang kutuju, semua bahan aku ambil dengan sigap.
Kupastikan semua bahan di daftar belanjaan tidak ada yang terlewat, walaupun jarak dari rumah ke minimarket hanya sekitar tiga ratus meter, aku tak mau jika nanti harus kembali ke sini karena keteledoranku, bisa gagal menaikan nilai jualku di mata Ibu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Begitu keluar dari minimarket, motor Bang Rafi melintas tepat di depanku. "Bang!" Aku memanggilnya dengan suara keras.
Bang Rafi menghentikan motornya, memutar arah kemudi dan kembali menghampiriku yang telah tertinggal cukup jauh.
"Hey, tumben banget keluar sendiri! Beli apa?"
"Nih!" Aku mengangkat kantong pkastik putih berisikan bahan-bahan kue pesanan Ibu.
Kening Bang Rafi sedikit terlipat. "Disuruh Ibu beli bahan-bahan buat bikin kue," paparku.
Bang Rafi tampak heran, tapi akhirnya dia tersenyum juga. "Ya udah, yu!" ajaknya, sambil meraih kantong yang kupegang dan meletakkannya di atas tank motor dua tax yang dikendarainya. "Pegangin!" Bang Rafi menarik lenganku untuk memegangi kantong belanjaan hingga tanganku melingkari pinggangnya. "Modus!" ejekku.
"Haha ...." Dia tertawa renyah. Rasanya kami kembali ke masa-masa sebelum menikah dulu. Manis.
Ah, sayang, perjalanan dari mini market ke rumah hanya beberapa menit saja. Padahal, aku masih betah menyandarkan kepala di punggung Bang Rafi. Menikmati aroma khas yang sangat akrab di penciumanku, memberikan sensasi rileks dan bahagia.
Ibu menyambut kami di depan pintu, dengan Marisa di pangkuannya.
"Sayang Ayaaah ...." Bang Rafi hendak mencium Marisa tapi ditampik Ibu. "Kotor, sana mandi dulu!" Bang Rafi pura-pura cemberut dan segera berlari saat Ibu hendak mencubitnya.
"Urus saja suamimu dulu, Ning! Kita bikin kuenya habis maghrib," perintah Ibu. Walaupun masih tanpa senyum, nada bicaranya terdengar lebih lembut, tak seketus biasanya.
Aku menghampiri Bang Rafi di dalam kamar, dia langsung meraih pinggangku dan memeluk erat. Aku menggeliat saat dia mendekatkan wajahnya. "Ish, lepassss ...!"
Cup,
Bibirnya berhasil mendarat di pipiku. "Bau!" Aku mengusap-usap pipi."Awas ya, nanti malam!" ujarnya.
Aku tersenyum malu, menyambar handuk dan mendorong ke arah dada Bang Rafi. Bang Rafi pun berlalu ke kamar mandi, tak lupa mengedipkan matanya sebelum menutup pintu kamar.
Selepas Maghrib, Bang Rafi bertugas menjaga Marisa. Dia menggelar karpet di depan TV, berbaring di samping Marisa sambil menonton pertandingan sepak bola yang tengah tayang. Bang Rafi memang pecinta bola, dan aku sebaliknya.
Ibu menakar beberapa bahan, sedangkan aku bertugas mengocoknya dengan mixer. Kata Ibu, kali ini kami akan membuat cheesecake.
"Kamu sudah KB belum?" tanya Ibu, saat menuangkan adonan ke dalam loyang.
Deg,
Aku seperti baru menyadari sesuatu. "Belum, Bu," jawabku dengan sungkan."KB dulu sana! Sekarang aja, sambil nunggu kuenya matang," titah Ibu.
Aku menggigit bibir menahan malu. Masih teringat kejadian malam tadi. Ibu pasti khawatir aku kesundulan, Marisa saja belum genap dua bulan, kalau positif lagi bisa gawat. Sebenarnya, aku pun mimiliki kekhawatiran serupa. Mempunyai anak dengan jarak yang terlalu dekat itu tantangan luar biasa.
Bang Rafi yang telah mengenakan sarung dan motor pun sudah berada di garasi. Motor yang dipakai Bang Rafi tadi adalah motor Ibu, motor pajangan yang hanya sesekali digunakan. Ibu membeli motor besar Ibu hanya demi gengsi, toh Ibu tak bisa mengendarainya. Anak-anaknya pun jarang diizinkan menyentuh, tumben Bang Rafi bisa meminjamnya. Hari ini, Ibu memang ajaib!
Bang Rafi mengantarku ke rumah Bu Bidan Isti, terpaksa meninggalkan pertandingan sepak bola yang sedang seru, karena tak berani melawan perintah Ibu.
Sepanjang jalan, tangan Bang Rafi menggenggam erat tanganku. Langit cerah bertabur bintang gemintang membuat suasana malam kian syahdu. Sesekali kami saling melirik dan melempar senyum. Menyemai kembali benih-benih cinta yang dulu selalu kami junjung dan sempat meranggas karena himpitan beban. Kami sempat lupa bahagia, lupa bahwa menikah muda adalah jalan yang kami pilih untuk leluasa saling mencinta, bukan malah menjadi lekas tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Ficção Científica"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...