6. Masalah lagi

362 20 0
                                        

Ibu tampak gelagapan saat ekor matanya menangkap bayanganku yang tengah berdiri di dekatnya. Tapi, bukan Ibu namanya kalau dia merasa bersalah apalagi meminta maaf.

Aku memberanikan diri menatap mata Ibu, menuntut penjelasan dari ucapannya barusan. Cukup aku yang merasa terhina di sini tapi kalau Ibu menghina keluargaku juga, aku tak terima.

"Ngapain kamu lihatin Ibu kayak gitu, Ning? Kesambet?" cetus Ibu.

Aku hendak membuka mulut. Tapi, Ibu buru-buru memberikan Marisa ke pangkuanku. "Anak kamu nih, kasih ASI. Kalau gak mau nyusui buat Ibu aja!"

Deg!
Apa maksud Ibu? Apakah dia pikir Marisa anak ayam yang bisa diberikan begitu saja. Apa dia merasa lebih berhak atas Marisa daripada aku yang melahirkannya? Ibu berlalu meninggalkanku. Dadaku bergemuruh, sesak. Ingin ku menangis tapi tak ada air mata yang keluar. Aku menggigit bibir dan mengepalkan tangan sekuatnya, berharap amarah ini pergi dan tak jadi racun yang membunuh tubuhku.

Tak kuhiraukan Mbak Titin yang menatapku iba. Aku mengayun langkah cepat menuju kamar untuk menyusui Marisa. Bayiku merengek dia menolak saat kususui. "Ini mimi!" Kasar ku dekap Marisa, kujejalkan ASI pada mulut kecilnya agar dia berhenti menangis. Marisa tak nyaman, berkali-kali dia menghentikan hisapannya.

"Mimi Marisa! Jangan nangis! Kalau kamu nangis terus, Mamah kasih kamu ke Nenek lampir itu, heh!" Bayi sebelas hari itu menjadi sasaran emosiku.

Marisa mulai menghisap, ASIku deras mengalir memenuhi mulut mungilnya yang tampak kewalahan menelan. Rasa sakit akibat ASI yang penuh perlahan menghilang, berganti dengan kenikmatan yang tak dapat terlukis dengan kata. Hanya Ibu yang tahu rasanya.

"Astagfirulloh...." Aku meraup wajahku dengan kasar. Kesadaranku kembali saat mataku menatap mata Indah marisa. "Maafkan Mamahmu, Nak ... Maaf...." ku sentuhkan bibirku pada pipi Marisa. Kuhirup udara dari seluruh wajahnya, rasa sesak di dadaku perlahan menghilang.

Marisa melepaskan hisapan dari dada kananku yang terasa kosong, lalu kupindahkan ke bagian kiri. Dia tampak nyaman dengan ASI yang kali ini keluar deras, mungkin efek dari urutan Mak Piyah, karena hari-hari sebelumnya ASIku seret, Marisa akan lama menyusu hingga membuat put*ngku lecet dan perih.

Kubaringkan bayi kecilku pada kasur cantik berwarna merah jambu pemberian Ibu. Kutarik kelambu pada bagian atas kasur agar bayiku aman dan nyaman, rasa lapar membuatku ingin segera makan. Ini sudah hampir pukul sembilan dan belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke perutku. Sengaja aku menunda sarapan karena tadi mau diurut.

Aku keluar kamar. Rumah tampak sepi. Mungkin Ibu sudah berangkat ke kios. Dia memang tak pernah pamit saat hendak pergi, tak jua menyapaku saat pulang. Dia akan memberi tanda dengan suara hentakan kaki di depan pintu kamarku saat telah di rumah. Ah, Ibu. Kenapa hubungan kita setidak baik ini? Apa salahku?

Dua potong tempe dan semangkuk kecil sayur bayam, tersaji di atas meja, padahal kutahu tadi pagi ibu menggoreng ayam. Ah, sudahlah yang pentung aku bisa makan. Aku melihat nasi di magicom, Alhamdulillah penuh. Aku memang meminta Bang Rafi untuk membeli beras dan memasaknya sendiri saat subuh hingga porsi nasi di rumah ini tidak membuatku khawatir. Biarlah tak ada lauk, nasi sudah cukup sebagai pelipur lara. Karena merasa lapar itu sungguh kepedihan tak terperi.

Aku makan dengan lahap dan cepat, harus mengejar waktu karena harus membereskan rumah dan mandi sebelum Marisa bangun. Tiga hari ini Bang Rafi yang mencuci bajuku dan Marisa diiringi omelan panjang Ibu tentunya. Tapi, aku bersyukur bisa menahan diri untuk pura-pura tak mendengar hingga badanku kini terasa lebih sehat.

Ibu tinggal sendirian di rumah ini setelah orang tua Bang Rafi bercerai. Jika saja sikap Ibu bisa lebih lembut tentu aku tak keberatan tinggal di sini. Ibu tak kesepian dan kami tak harus mengontrak. Tapi, dengan sikap sinis Ibu aku lebih memilih tinggal celah batu yang sempit daripada terus-terusan makan hati setiap hari.

Perut kenyang dan badan yang segar membuat suasana hatiku lebih baik. Aku mendengar ketukan di pintu saat mengucek bekas pipis Marisa. Di rumah ini ada mesin cuci, tapi untuk seluruh pakaian Marisa aku disuruh Ibu untuk mencucinya pakai tangan, takut bayinya pegal-pegal. Entahlah itu mitos atau fakta. Aku menurut saja daripada harus berdebat dengan Ibu.

Kuletakkan cucianku pada ember biru yang masih berisi air sabun, kemudian berjalan ke arah pintu. Seorang pemuda bertubuh gempal berdiri dengan kantong hitam di tangannya.

"Kak Ning ya?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Ini dari Emak," ucap anak itu sambil menyerahkan barang bawaannya.

Aku menerima dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih. Tak lupa menitip salam untuk Mak Piyah.

Bungkusan itu berisi satu kantong plastik air berwarna hijau pekat. Mungkin itu air rebusan daun sembung dan sirih yang dikatakan Mak Piyah tadi pagi. Satu kantong lagi berisi kue wajit kacang ijo cocok sekali untuk cemilan Ibu menyusui sepertiku.Aku bersyukur bertemu Mak Piyah semoga dia selalu sehat dan diberi limpahan rezeki.

Kutuangkan cairan itu pada gelas besar. Baunya sudah sangat menyengat, aku tak suka. Tapi, membayangkan Mak Piyah yang telah repot-repot membuatnya, aku memaksakan diri untuk meminumnya.

Aku memegang gelas dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri memencet hidung.
Glek, satu tegukan masuk ke kerongkongan. Hoek ... hampir keluar lagi. Mataku sampai berair.

Aku mencoba meminumnya lagi. Kali ini dengan menarik napas panjang terlebih dahulu. Dan ... sukses. Satu gelas penuh tak tersisa, semoga menjadi obat.

Ampun ... aku tak mau lagi. Lebih baik memakan tablet, kapsul dan semacamnya daripada meminum ramuan seperti ini. Aku gak sanggup.

Setelah berjuang menghabiskan minuman itu, aku melanjutkan mencuci dan menjemurnya di loteng. Ah, kenapa harus di loteng? Kakiku gemetar dan harus sangat hati-hati saat naik turun tangga.

Baru saja mau masak kamar saat lagi-lagi terdengar ketukan di pintu. Tiba-tiba pintu terbuka, anak kecil lima tahunan muncul dari balik pintu diikuti Kak Lisna, Kakak ipar Bang Rafi.

Masalah lagi

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang