1. Kelahiran si buah hatiku

1.4K 31 0
                                    

"Bang, kata Bu bidan posisi dede bayi udah bagus, udah masuk jalan lahir. Kayaknya, minggu ini juga si Dede bakalan launching,"  Aku berbicara pada suamiku sambil melipat baju. Dia yang sedang mengunyah mie rebus dengan mata fokus pada layar TV mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Terus, kapan kita ke rumah Ibu?"

"Maksud kamu?

"Ya, kata Ibu, nanti kamu lahirannya di rumah Ibu biar ada yang ngurus," ucap Bang Rafi.

Sejak tahu bahwa bayi yang ku kandung ini kemungkinan besar perempuan, ibu mertuaku sangat antusias. Dia ingin aku melahirkan di rumahnya. Sebenarnya aku ingin menolak, aku dan mertuaku belum begitu dekat, selalu ada dinding pemisah antara kami, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu bernada sindiran dan penghinaan.

"Aku sih pengen lahiran di tempat Mamah, Bang," usulku.

"Janganlah, Ning. Kasihan Ibu udah nyiapin semua keperluan dede bayi di sana. Ini juga kesempatan kamu buat lebih akrab sama Ibu," tutur lelaki yang mempersuntingku setahun lalu itu. Aku hanya diam tanpa berniat mengiyakan atau menolak permintaan suamiku.

Kamis pagi aku merasakan sesuatu yang lain di perut besarku, terasa kencang dan mulai berkontraksi tapi masih timbul tenggelam. Bang Rafi yang sudah terlanjur berangkat bekerja aku kabari lewat chat. Aku juga menghubungi Mamah, berharap beliau bisa menemaniku di saat aku berjuang antara hidup dan mati.

"Ning, kamu mau melahirkan?" Suara Bang Rafi terdengar panik di sebrang telepon.

"Ya, Bang. Sepertinya begitu."

"Abang pulang sekarang," tandas Bang Rafi sebelum memutus sambungan telepon.

Rupanya Bang Rafi menjemput Ibu mertuaku sebelum dia pulang ke kontrakan kami. Aku, Bang Rafi dan Ibu berangkat bersama ke klinik bersalin di dekat rumah Ibu.

Keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di atas kening, perut semakin kencang dengan sensasi panas disekitar pinggang. Saat Bu Bidan melakukan cek dalam aku sudah pembukaan lima.

"Ibu miring ke kiri ya, supaya bayinya cepat turun, atau kalau masih kuat boleh jalan-jalan dulu," usul Bu Bidan.

Aku mencoba berdiri, dari beberapa artikel yang kubaca berjalan-jalan membuat proses persalinan menjadi lebih cepat. Tapi, kontraksi yang datang dan datang lagi membuat kakiku lemas, aku tak sanggup.

Aku berbaring sambil meremas tangan Bang Rafi saat kurasakan sesuatu menekan di perut bagian bawah. Sakitnya menjalar hingga ke pangkal paha, aku menggigil. Satu jam, dua jam, tiga jam pembukaan masih belum lengkap. Air mataku sudah tumpah, tak kuat menahan sakit.

"Jangan nangis, ini masih belum seberapa Ning, nanti akan ada yang lebih sakit," ucap Ibu mertuaku tanpa perasaan. Dia hanya keluar masuk ruang bersalin tanpa sedikit pun menyentuhku.

Aku terus menangis tanpa memperdulikan larangan Ibu, ini benar-benar sakit, semakin lama semakin sakit. Aku mulai tak sabar, aku berteriak sambil menangis.

"Jangan begitu Bu, nanti tenaga Ibu habis." Bu Bidan cantik itu menghampiriku dan mengusap-ngusap punggungku.

"Lebih baik Ibu dzikir ya, minta pertolongan pada Allah."

Ada yang keluar dari jalan lahir, diikuti rasa ingin mengejan. "Bu Bidan, saya mau buang air, Bu," ucapku pada Bu Bidan.

"Sebentar, saya cek dulu ya." Setelah menyatakan pembukaan telah lengkap aku dipersilahkan untuk mengejan.

"Heee ... Heee ...." Aku mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa.

"Bukan Bu, bukan begitu. Coba Ibu lihat ke puser, ngejannya gak usah bersuara. Ayo tarik napas dulu."

Aku mengikuti setiap intruksi yang diberikan Bu Bidan, tapi masih belum berhasil mendorong bayiku. Bu Bidan memasang alat infus kemudian menyuntikan sesuatu ke dalamnya.

"Kalau mau ngejan lagi, Ibu ngejan yang kuat ya."

"Saya gak kuat Bu ...." Aku mulai kehilangan semangat, rasanya tak sanggup melanjutkan perjuangan ini.

Bang Rafi mengusap keningku kemudian mengecupnya, "Ayo Ning, yang kuat. Kamu pasti bisa, ingat anak kita."

"Mamah ... Mamah ... hu ... hu ...." Aku menangis seperti anak kecil.

Seberkas harapan kembali muncul saat kulihat Mamah masuk dari arah pintu. Dia menghambur dan menciumiku.

"Maafkan Ning Mah, maaf ...." Aku menggengam erat tangan Mamah.

"Mamah ridho, Mamah maafin semua salah Ning. Ayo, Nak, kasihan cucu Mamah sudah pengen ketemu kamu dan ayahnya." Kata-kata Mamah membuat energiku bangkit, aku bersiap mengejan.

"Yaa bunayya ukhruj, biidznillah ...." ucap Bu Bidan sambil menahan kedua pahaku.

Plok ...
Bayiku keluar perasaan lega, haru, bahagia membuncah memenuhi hati. Dan luar biasa, sakit yang berjam-jam kurasakan hilang begitu saja, tak tersisa.

Bayi perempuan cantik dan sempurna diletakkan di atas dadaku sesaat setelah tali ari-ari yang menghubungkan raga kami diputus.

"Sebentar ya, Bu. Ini harus dijahit dulu."

"Dijahit dok?" Ibu mertua yang baru masuk langsung menghampiriku dengan tatapan mengintrogasi.

"Ibu kan udah bilang, kalau ngeden jangan ngangkat punggul!" Serunya dengan tatapan menghakimi.

Aku hanya memalingkan wajah sambil menjatuhkan air mata sepuasnya.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang