16. Menghitan Marisa

288 16 0
                                    

Bu Bidan Isti sedang duduk sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya saat aku tiba ambang  pintu klinik yang terbuka.

Senyum ramah Bu Isti menyungging di bibirnya seraya menjawab salam yang aku ucapkan. "Ayuning ya? Ayo sini masuk!" ajaknya.

Aku duduk tepat di depan Bu Isti, ternyata nama lengkapnya Istiqomah dengan gelar S.Keb di belakang namanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu Ning?" tanyanya, menatapku penuh perhatian dengan posisi kepala condong ke depan. Aku merasa sangat diperhatikan. Sepertinya, pasien yang sakit akan 80% sembuh hanya dengan melihat senyum di wajah Bu Isti.

"Panggil saja Ning, Bu."

"Ya. Kenapa dengan bayinya, sakit?" selidik Bu Isti.

Aku mengutarakan maksudku untuk mengkhitan Marisa. Bu Bidan Isti menyambut baik keinginanku. Dia menjelaskan tentang manfaat khitan bagi anak perempuan dan keutamaannya dalam pandangan islam.

"Kalau di barat, khitan perempuan itu dianggap melanggar HAM, ya, Bu?"

"Ya, karena mereka menyikapi praktik khitan pada suku-suku tertentu yang sangat merugikan kaum perempuan. Contohnya, di Afrika. Banyak suku di sana yang mengkhitan perempuan dengan cara memotong salah satu bagian yang menyebabkan perempuan menjadi tidak memiliki hasrat dan kenikmatan seksualnya. Dan dalam aturan islam, tidak seperti itu," papar Bu Isti.

"Nanti Marisa hanya digores sedikit saja tanpa, memotong bagian apa pun. Sekarang setiap bidan dan dokter dibekali ilmu untuk melakukan khitan pada anak perempuan dengan syar'i dan ilmiah," tandasnya.

Aku semakin mantap untuk melaksanakan salah satu kewajibanku pada Marisa. Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib, tapi tetap menegaskan bahwa ada keutamaan dalam mengkhitan anak perempuan.

Marisa di bawa ke dalam ruangan, Bu Bidan Isti melaksanakan tugasnya dengan teliti dan penuh perhatian. Gadis kecilku menangis, tapi segera reda setelah aku memeluk dan memberinya ASI.

"Alhamdulillah ...," lirihku.

Tujuan khitan perempuan salah satunya adalah untuk melindungi marwah perempuan dari perilaku tercela yang disebabkan oleh hasrat seksual yang terlalu tinggi, itu menurut guru ngajiku dulu. Banyak juga teman-temanku yang memilih untuk tidak mengkhitan anak perempuannya karena berbagai alasan. Menurutku itu hak masing-masing orang berdasarkan keyakinan yang mereka miliki, tapi bagiku menghkhitan Marisa adalah salah satu bentuk kepatuhan terhadap aturan agama dan pasti ada hikmah dibalik perintah tersebut.

Aku pamit pada Bu Isti setelah melakukan pembayaran dan mengucapkan terima kasih.

Tangan kananku memegang payung, sedang yang lain menahan leher Marisa agar tetap nyaman dalam gendongan. Sepertinya Ibu sudah ada di rumah karena pintu rumah tak lagi terkunci.

"Kamu darimana?" sergah Ibu, saat aku merapikan payung yang baru saja kututup.

"Dari tempat Bu Bidan Isti, Bu. Mengkhitan Marisa," tuturku.

"Ya, Marisa itu memang anak kamu! Suka-suka kamu mau diapain juga, Ibu ini memang nggak penting!"

Loh, apa ada yang salah dengan ucapan aku? Aku meringis, menyadari ketersinggungan Ibu karena aku tidak melibatkan Ibu untuk peristiwa penting Marisa.

"Maaf, Bu. Tadi Ning baru kepikiran dan spontan aja pergi ke rumah Bu Bidan. Tadinya mau ke rumah Wak Piyah, tapi kata Bu Suparti lebih baik di bidan, lebih terpercaya."

"Ngobrol apa aja kamu sama tukang kue itu? Ngomongin Ibu ya?" terka Ibu. Nada bicaranya masih saja sinis.

"Ngobrolin resep kue, Bu. Nanti Ning mau belajar bikin kue sama Bu Suparti."

"Jangan, nggak usah kamu deket-deket sama dia. Dia itu sok cantik, so artis! Apa enaknya kue buatan dia, enakan juga bikin sendiri," pungkas Ibu sambil berjalan ke arah kamar.

Aku mengusap dada. Rumit banget hidup Ibu, kenapa semua orang selalu salah di matanya?

Ternyata tidak minta izinnya aku saat akan mengkhitan Marisa berbuntut panjang. Seharian Ibu tidak menyapa Marisa. Aku kerepotan saat harus memasak sementara Marisa sedang rewel, mungkin karena rasa sakit bekas khitannya.

Akhirnya aku memilih menemani Marisa dan melupakan pekerjaan yang biasa kulakukan. Aku masih mendengar suara Ibu saat dia melewati pintu kamarku.

"Punya menantu, ko pemalas."

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang