Tak mau menjadi anak durhaka, itu alasan Bang Rafi untuk memaksaku tetap bertahan di rumah Ibu. Tapi, dia tidak takut menjadi suami dzolim.
"Ibu sayang sekali sama Marisa, Ning," ujar Bang Rafi.
Kuakui Ibu memang begitu perhatian pada putri kami, Marisa. Semua kebutuhannya Ibu yang menyediakan. Tapi, sebagai mertua dan sesama perempuan Ibu tak punya empati, tak punya hati.
Aku meminta Bang Rafi memangil tukang urut. Untuk mengurangi sakitku. Kebiasaan di kampungku, Ibu yang melahirkan itu diurut paraji (dukun beranak) agar otot dan syaraf yang tegang bisa kembali rileks.
Ibu mengizinkan karena tak punya pilihan, dia bosan melihatku hampir seharian di tempat tidur karena meriang, badanku panas.
Jam dinding besar di rumah Ibu baru saja berdentang enam kali saat seorang wanita paruh baya datang bersama Bang Rafi. Postur tubuhnya mirip pemeran Atun dalam film Si Doel. Wajahnya manis dengan senyuman hangat yang menghiasi.
Kebaya kuning bermotif bunga-bunga, serasi dengan kain sarung yang dipakainya. Kerudung panjang model pasmina jadul melekat menutupi rambut perempuan yang memiliki tahi lalat di kening itu.
Marisa kususui hingga terlelap, dan kutitipkan pada Ibu. Aku mulai bersiap dengan memakai sarung. Urusan urut mengurut biasanya memerlukan waktu yang cukup lama.
Mak Piyah, begitu ia menyebut dirinya. Mulai memijatku dari bagian punggung, kepala, tangan hingga kaki.
"Anak pertama ya, Neng?" tanyanya.
"Ya. Saya Ayuning, Mak. Panggil saja Ning," jelasku.
Selama melakukan pekerjaannya, Mak Piyah bercerita tentang dirinya yang telah belajar pijat urut sejak masih gadis, Ibu Mak Piyah dulu berprofesi sebagai dukun beranak juga.
"Habis melahirkan itu, gak boleh kerja berat dulu Ning. Ngomong aja gak boleh kenceng-kenceng. Di luar kelihatan sehat, nah dalamnya kan masih luka," tuturnya
Aku membatin. Kalau saja bisa, tentu aku memilih diam dan menjadi ratu pasca persalinan ini. Tapi, siapa yang bersedia melayaniku? Aku tak makan jika tidak mengambil sendiri. Tak ada pakaian bersih jika tak kucuci, dan Marisaku tentu akan kehabisan popok dan pernel jika aku tak mencucinya segera setelah dia pipis atau pup. Senangnya jika bisa pakai popok sekali pakai, tapi Ibu tak mengizinkan.
"Perutnya Ning kembung, Mak. Mules kaya masuk angin. Terus sakit sampai bikin merinding. Ning Meriang," keluhku. Aku seperti sedang bicara dengan Mamah. Pijatan lembut Mak Piyah membuat hati dan tubuhku terasa nyaman.
"Peranakannya masih bengkak itu, Ning. Nanti Mak bikinin godogan daun sembung sama daun sirih, biar lukanya cepet kering," imbuhnya.
Kata Mak Piyah, sekarang dia jarang sekali menangani persalinan. Sudah ada bidan desa yang lebih profesional dengan ilmu kesehatan modern. Tapi, Mak Piyah tetap dipanggil orang-orang untuk mengurut di hari ketiga, ketujuh, lima belas, tiga puluh dan keempat puluh, pasca melahirkan.
"Sudah berapa hari kamu lahiran, Ning?" tanya Mak Piyah.
"Mau dua minggu," jawabku.
"Ko baru diurut?" selidik Mak Piyah. "Ini peranakannya juga masih bengkak, belum sembuh kaya yang baru lahiran tiga hari," tutur Mak Piyah kala dia mengurut bagian perutku.
"Ning belum tahu, yang biasa ngurut di sini, Mak, gak kenal." Aku beralasan. Tak mau bercerita terlalu banyak, biar bagaimanapun nama baik keluarga Bang Rafi harus aku jaga.
"Gimana rasanya lahiran di rumah mertua, Seneng ya? kalau Mak gak mau, takut. Lebih enak lahiran di rumah orang tua atau di rumah sendiri. Itu pasti karena Bu Sukma sayang banget ya sama kamu?" terka Mak Piyah.
"Hehe ... " Aku hanya tertawa hambar. "Rumah Mamah Ning jauh Mak, di kampung. Kasihan Bang Rafi nanti susah kalau mau ketemu anaknya," jawabku.
Aku jujur soal jawabanku itu. Aku kasihan sama Bang Rafi kalau harus bolak-balik untuk menjenguk kami. Tiga jam perjalanan dengan medan terjal bukanlah sesuatu yang mudah dilalui. Aku juga berpikir tentang kondisi di rumah Mamah. Rumah berdinding bilik dengan kamar mandi di luar. Juga ruang kamar yang terbatas, kasihan Wening adikku, pasti gak kebagian kamar kalau aku tinggal di rumah Mamah. Walaupun aku yakin, di sana Mamah akan merawatku sepenuh hati.
Ada rasa sesal saat aku mengingat kembali nasihat Mamah dulu. Mamah kurang setuju aku menikah dengan Bang Rafi. Usia kami yang seumuran, gaya hidup Bang Rafi yang terlalu mementingkan penampilan luar, juga karena Bu Sukma, Ibu Bang Rafi yang dinilai Mamah sangat arogan. Sekali pandang saja, orang sudah dapat menebak bahwa Ibu memiliki watak yang keras. Urat di keningnya menonjol, tatapan mata tajam dan bibirnya tak pernah simetris jika tersenyum.
Menurut Mamah, aku akan lebih bahagia jika menikah dengan Bang Hendra putra sahabat Mamah yang terang-terangan menyatakan suka padaku. Tapi, aku terlanjur cinta pada Bang Rafi. Aku terlalu percaya diri jika cinta mampu membuatku menerima segalanya tentang dia, termasuk Ibunya.
"Ning, malah ngelamun." Tepukan Mak Piyah di pahaku membuatku kembali ke alam nyata. Menyesal memang tiada guna.
Hampir dua jam prosesipijat urut itu berlangsung. Rasanya ringan. Sakit kepala dan pegal di seluruh tubuh tak lagi kurasakan walaupun seluruh badan terasa lengket dengan minyak kelapa yang dibalurkan Mak Piyah ke seluruh tubuhku.
"Terima kasih ya, Mak," ucapku tulus.
"Sama-sama, Ning. Nanti air godogan sembung dan sirihnya Mak suruh anak Mak antar ke sini ya, harus di minum!" ucapnya dengan tatapan seolah mengancam.
"Siap!" Aku mengangkat ibu jari tanda menyanggupi.
Aku menyelipkan amplop yang telah kusiapkan saat kami bersalaman. Mak Piyah berterima kasih dan pamit pulang.
Kain yang kupakai basah, ASIku menetes. Kata orang, itu pertanda kalau bayinya lapar. Aku kembali mengenakan pakaian. Biarlah lengket-lengket begini sampai nanti siang, pesan Mak Piyah aku gak boleh langsung mandi setelah diurut.
Aku menyusul Ibu yang tengah mengasuh Marisa di halaman. Dia terlihat sedang mengobrol dengan sesorang.
"Si Ning itu orang miskin Tin, beruntung saya ajak di sini. Kalau ngelahirin di rumah orang tuanya, bisa-bisa gak makan dia!"
"Astagfirulloh ... Ibu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...