9. Aku mulai gila

377 17 1
                                    

Baru beberapa menit suara mesin motor Kak Lisna menghilang dari pendengaranku, saat Ibu masuk rumah, lagi-lagi tanpa salam. Mungkin Ibu lupa kalau ada keberkahan pada setiap ucapan salam. Jangankan ada aku sebagai penghuni di rumah ini, kalaupun tidak ada siapa-siapa, kita harus tetap mengucapkan salam jika memasuki rumah dengan bacaan Assalamu alainaa wa alaa 'ibadillahisshooliin. Ah sudahlah, aku gak mungkin bisa mengkritik Ibu. Mungkin nanti aku bilang sama Bang Rafi, biar dia yang memberitahu Ibu.

"Ya ampuuun, rumah berantakan begini, kaya gak ada penghuninya!" teriak Ibu dengan nada menyindir.

Dug dug dug,
Jantungku langsung berdetak tak biasa. Selalu seperti ini setiap mendengar teriakan Ibu. Lama-lama aku bisa kena serangan jantung.

Aku bergegas melepaskan Marisa yang tengah menyusu dan menemui Ibu di ruang tamu. TV yang masih menyala, remahan biskuit bekas ngemil Gio dengan tutup toples yang tergeletak di lantai, pantas saja Ibu ngomel. Tadi aku belum sempat merapikannya karena Marisa keburu rewel minta mimi.

"Maaf, Bu. Tadi ada Kak Lisna sama Gio, Ning belum sempat beres-beres," ucapku dengan irama jantung yang masih tak karuan.

"Ya udah, beresin! Mana Marisa?" Ibu melewatiku dan masuk ke kamar mencari Marisa. Aku mengejar Ibu.

"Bu, cuci tangan dulu," pintaku pada Ibu. Ibu menatapku tajam, tapi tak urung dia mengikuti kemauanku.

Aku membersihkan rumah, sedangkan Ibu menggendong Marisa sambil mengawasi pekerjaanku. Percis majikan yang tak ingin pembantunya membuat kesalahan.

"Ning, jangan deket-deket sama Lisna, nanti kamu ketularan durhaka." Ibu berbicara tanpa melihatku.

"Kenapa dengan Kak Lisna, Bu?" tanyaku penasaran.

"Gara-gara dia, Rizal jadi gak sayang sama Ibu. Dia lebih mentingin istrinya. Padahal cantik juga gak, manja dan bikin repot, ya. Ngelahirin aja pakai oprasi segala, buang-buang duit!" sinis Ibu.

Aku hanya bisa membisu. Tak tahu harus bagaimana menanggapi ocehan Ibu. Rasanya apapun yang keluar dari mulutku akibatnya akan buruk. Lebih baik aku diam.

"Rizal memang gak nurut, beda sama Rafi. Rafi itu pasti nurut sama Ibu. Kalau Ibu suruh dia ninggalin kamu juga, dia pasti mau," tandas Ibu.

Dug dug dug
Gemuruh di dadaku makin menggila, aku menekan dada yang terasa sesak. Ibu, kenapa kata-katamu begitu tajam?

Aku tak tahan, cepat-cepat ku sapu kotoran di lantai dan pergi meninggalkan Ibu. Aku pergi ke dapur menyembunyikan air mata yang akan tumpah. Ku remas-remas spons pencuci piring hingga busanya memenuhi sela-sela jariku.

"Bagaimana jika itu benar? Ibu meminta Bang Rafi menceraikanku dan Bang Rafi mematuhinya," lirihku.

Aku mencuci piring dengan penuh emosi hingga terdengar bunyi gaduh saat piring-piring itu saling beradu. Sesekali kuusap air mata dengan punggung tangan. Terserah Bang Rafi mau pilih aku atau Ibunya, yang pasti malam ini juga aku akan bicara sama Bang Rafi untuk pulang ke kontrakan, demi kewarasanku. Dekat dengan Ibu tak baik untuk kesehatan jiwa dan ragaku.

Sepanjang hari itu aku tak tenang. Terus memikirkan kata-kata Ibu. Bang Rafi anak bungsu kesayangan Ibu, dia yang paling dekat dan sayang sama Ibu, jujur aku tak berani berharap dia akan memilihku dibandingkan dengan Ibunya. Tapi Bang Rafi tak seharusnya memilih diantara kami, jika saja Ibu bisa sedikit saja menurunkan egonya dan bersikap lebih manusiawi.

Sore pun tiba, deru mesin motor yang sangat ku hafal berhenti di halaman. Bang Rafi pulang. Kugendong Marisa yang telah cantik dan wangi, aku pun telah mandi dan sedikit berdandan demi menyambut kepulangannya.

"Assalamualaikum...." Bang Rafi mengucap salam saat melihatku di depan pintu.

"Waalaikumsalam." Ku jawab dengan senyuman termanis yang bisa kuberi.

Netraku menangkap hal tak biasa. Motor Bang Rafi dipenuhi dus-dus yang saling bertumpuk, terikat tali yang terbuat dari karet ban.

"Apa itu Bang?" Aku mendekati Bang Rafi yang sedang membuka tali pengikat.

"Barang-barang dari kontrakan. Baru sebagian Abang angkut, sisanya besok aja sekalian mau ngajak Bang Somad bawa mobil bak," tuturnya.

Aku sudah gemas, mencoba menenangkan diri dengan menghirup udara beberapa kali.

"Kenapa Abang angkut, kita kan mau pindah lagi ke sana?" cecarku. Bang Rafi membawa sebuah kardus ke dalam rumah dan aku mengikutinya dari belakang.

"Kontrakan kita habis, Ning. Abang gak perpanjang, gak ada uangnya. Kan udah buat lahiran kamu dan sebagian Abang kasih ke Ibu. Gak enak juga kita tinggal di sini kalau gak bantu-bantu."

Aku terduduk lemas. Tak berdaya. Gaji Bang Rafi memang tak seberapa, berat memang kalau harus membayar kontrakan yang seharga seperempat gajinya. Sebelum aku melahirkan, akulah yang bertugas membayar uang kontrakan dari gaji sebagai penjaga minimatket. Tapi, setelah aku hamil besar dan melahirkan aku berhenti dan otomatis tak punya penghasilan.

"Bang aku gak betah di sini, aku mau pindah," keluhku dengan air mata berderai.

Bang Rafi mengambil tempat duduk di sisiku dan mengusap lembut pucuk kepalaku.

"Sabar ya Ning. Abang harap kamu bisa damai sama Ibu, bisa saling sayang. Demi Abang," pintanya.

Aku menjatuhkan air mata di bahunya. Tak tahu harus berkata apa. Sudah berulang kali aku bilang tak kerasan tinggal di sini, tak kuat dengan sikap Ibu. Tapi, Bang Rafi selalu menyangkal, memintaku untuk mengalah dan jangan terlalu terbawa perasaan. Bang Rafi lupa, aku baru melahirkan, berdamai dengan status baruku sebagai seorang Ibu saja aku masih tertatih-tatih, apalagi disuruh berdamai dengan semua perlakuan Ibu padaku, aku muak.

Hari-hariku semakin hampa. Bang Rafi yang kuharapkan bisa menjadi tameng pelindung, nyatanya tak bisa diharapkan. Aku mulai belajar menerima nasib walaupun sering terbangun tengah malam dan menyusui Marisa sambil menangis. Untunglah aku bisa mengendalikan diri, berdzikir dan terus mengingat Allah membuat hatiku tabah. 'Ini ujian, dan aku harus kuat,' batinku.

Hari demi hari badanku semakin kurus, hilang dua puluh kilo dari dari berat badan saat hamil. Saat posyandu Bu Bidan selalu memintaku untuk makan makanan yang bergizi demi kesehatan aku dan bayiku. Mau gimana lagi, bisa makan kenyang saja aku sudah bersyukur. Mie instan adalah makanan pengganjal perut saat nasi habis di sore hari atau terbangun karena lapar di malam hari. Tak heran, perutku sering sakit dan terasa kembung.

Pagi itu aku merasa tak enak badan tapi rutinitas harian tak bisa kutinggalkan. Pakaian kotor bekas Bang Rafi main bola kemarin Minggu sudah menumpuk di tempat cucian, belum lagi bajuku dan Marisa. Semalam Marisa gumoh mengotori sprei, semakin menggununglah cucianku.

Aku memilih tak menemani Ibu dan Bang Rafi sarapan, rasa tak nyaman di perutku membuatku tak berselera makan, apalagi hari itu Ibu menggoreng udang, makanan yang tak pernah bisa aku makan.

Kakiku gemetar saat menuruni tangga usai menjemur pakaian. Perut mulai terasa perih hingga keringat dingin mengucur di dahi. Pandanganku kabur. Dengan tangan mencengkram pegangan tangga aku sampai di lantai dapur dengan selamat. Aku menangkap suara ramai di depan rumah. Dengan gerak badan yang hampir tak dapat kukendalikan aku berjalan menuju ruang tamu. Di depan pintu aku melihat Mamah dan Bapak tapi tak begitu jelas dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang