2. Cobaan apa lagi ini

764 24 0
                                    

Aku tak peduli dengan apa yang dilakukan Bu Bidan dengan benang dan jarumnya. Juga tentang nyinyiran Ibu yang seolah menganggap aku tidak lulus ujian dalam melahirkan. Hatiku terlanjur penuh dengan rasa haru dan bahagia.

Makhluk kecil yang sebelumnya menghuni rahimku, kini tengah menggeliat di atas dada. Kulitku yang bermandi peluh, menyentuh kulitnya yang masih membawa sisa-sisa ketuban dan darah, air mataku masih belum terbendung.

Gerakan halusnya membuat rasa tegang di perut perlahan menghilang. Mulut kecil si cantik itu bergerak-gerak mencari sesuatu yang telah dikenalnya sejak dalam kandungan. Dia mulai menghisap. Aku menyentuh punggungnya yang begitu halus dan licin.

"Ya Allah ... Ya Allah ...." Sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.

"Sudah. Sekarang giliran dedenya," ucap Bu Bidan sambil membetulkan penutup tubuhku.

Bayi kecilku dibersihkan Bu Bidan. Ibu sangat bersemangat menyiapkan pakaian yang akan dikenakan dan menyerahkannya pada Bu Bidan. Setelah dibedong, Bang Rafi menggendong dan mengadzani dengan berurai air mata, kami semua diliputi haru.

Bayiku cantik. Kata Mamah matanya percis mataku. Mata biji kenari. Ibu sangat bangga mengakui hidung dan dagu lancipnya seperti dirinya. Ibu mengambil alih bayiku dan menimangnya. Tampak raut bahagia di wajah Ibu yang jarang sekali tersenyum.

"Coba disusui lagi, Bu," pinta Bu Bidan. Ibu menyerahkan bayiku dengan enggan.

Aku duduk bersandar pada tiga buah bantal yang disusun di atas tempat tidur. "ASInya belum keluar dok," keluhku.

"Gak apa-apa, Bu. Sering-sering aja dikasih ke dedenya nanti juga keluar. Gak usah khawatir kalau ASInya sedikit, perut dede bayinya masih sebesar kelereng jadi gak perlu minum banyak-banyak. Kalau belum keluar selama beberapa hari juga gak akan bahaya, insya Allah dedenya masih kuat karena punya cadangan makanan di tubuhnya. Ingat ya, Bu, hanya berikan ASI saja sampai usia enam bulan." Bu Bidan berkata sambil mengusap kepala bayiku, kemudian berlalu membawa peralatan yang telah selesai dia gunakan.

Setelah dipastikan kondusiku stabil dan tidak terindikasi adanya pendarahan atau sesuatu yang berbahaya, aku diperbolehkan pulang. Jarak antara klinik dan rumah Ibu cukup dekat hanya sekitar seratus meter.

Ibu menggendong bayiku dan Mamah memayungi keduanya dengan berjalan di samping mereka. Aku dibonceng Bang Rafi naik motor. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar biaya persalinan, kami pun pamit.

Kamar besar telah disiapkan Ibu. Sebuah kasur bayi lengkap dengan bantal-bantal kecil berwarna merah jambu, tumpukkan pakaian, popok, handuk, pernel, perlak, bedak, kayu putih dan peralatan mandi telah tersedia. Jauh-jauh hari Ibu melarang kami membeli apapun karena Ibu yang akan membelikannya.

Bayiku adalah cucu perempuan pertama yang didambakan Ibu setelah dua cucu dari Kakak Bang Rafi semuanya laki-laki. Bang Rafi adalah bungsu dari tiga bersaudara yang juga semuanya laki-laki. Ibu begitu peduli dengan bayiku, tapi abai dengan aku yang melahirkannya.

Setelah mandi wajib, dan berganti pakaian aku merasa lebih segar. Tapi, kurasakan sakit yang berdenyut pada luka jahitan. Mungkin efek obat pereda nyerinya telah habis. Perutku pun perih, terasa asam sampai ke mulut.

"Mah ...," Aku menarik lengan Mamah. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Ning lapar," bisikku.

Mamah tampak gelagapan, aku tahu dia sungkan meminta pada Ibu. Melihat dan mengambil makanan sendiri di rumah ini jelas dia tak berani.

"Rafi, Ning sudah waktunya minum obat. Tapi dia harus makan dulu," ucap Mamah beralasan.

Bang Rafi mengangguk dan berlalu dari kamar. Tak lama, dia kembali dengan wajah masam.

"Gak ada nasi, Ning. Ibu belum masak," jelas Bang Rafi.

Air mataku menggenang, kalau tak ingat dengan statusku yang telah menjadi seorang ibu, ingin rasanya aku menangis sambil berguling-guling. Aku lapar, sangat lapar. Dulu Ibu selalu berkelakar, orang baru lahiran, lihat nasi sebakul saja takut tidak kenyang, nyatanya memang begitu.

Bang Rafi menghampiriku dan membelai pucuk kepalaku. "Jangan nangis, sebentar Abang belikan dulu ya, Ning mau makan apa?"

"Apa aja ...," jawabku dengan pandangan yang mengabur terhalang genangan air mata.

Setelah beberapa menit Bang Rafi datang menenteng plastik berisi beberapa bungkus nasi. Ia mengambil piring dan mulai menyiapkan nasi beserta lauknya. Nasi putih hangat dengan asap yang masih mengepul, balado ikan patin dan sayur capcay membuat perutku semakin tak sabar.

Suapan pertama masuk ke mulut dengan begitu nikmat. Tiba-tiba Ibu datang dari arah pintu, berjalan cepat karena melihat isi dalam piring yang tengah dipegang Bang Rafi untuk menyuapiku.

"Makan apa itu, Ning?"

Ya Allah ... cobaan apalagi ini?

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang