15. Kucing-kucingan

357 18 1
                                    

Pagi ini, sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak bertemu Ibu. Masih malu dengan kejadian semalam. Saat Ibu di ruang TV, aku sembunyi di kamar, saat Ibu ke kamar, aku melakukan pekerjaanku di dapur. Saat Ibu ke dapur, aku buru-buru masuk ke kamar mandi, tanpa tujuan yang jelas.

Aku memegangi pintu kamar mandi merapatkan telinga pada dinding dan mendengar langkah Ibu menjauh dari dapur. Aku buru-buru keluar, takut tempe yang sedang aku goreng menjadi gosong.

"Fiuhhh ..." cape juga kucing-kucingan sama Ibu.

"Fi, istri kamu kenapa kaya maling? Ngumpet sana ngumpet sini!" ketus Ibu.

Haduuuhhh ... ternyata Ibu menangkap gelagat anehku. Aku mengintip dari balik dinding dapur, Bang Rafi melihatku, dia menyeringai. Ingin aku lempar centong nasi yang kupegang tapi tak berani. Takut malah mengenai punggung Ibu yang sedang membelakangiku. Bisa runyam urusannya.

Setelah sarapan bersama tanpa saling bicara, Ibu dan Bang Rafi pergi menuju tempat mereka mencari rezeki masing-masing. Sebenarnya aku salut dengan kerja keras Ibu. Dia bisa mandiri secara finansial tanpa tergantung pada orang lain.

Seandainya Ibu mau mengajakku, aku mau membantu dia menjaga kios, atau mempromosikan dagangannya melalui media sosial. Tapi, sekarang HP saja aku tak punya, apalagi melihat sifat Ibu yang masih ketus saat bicara denganku, harapan itu rasanya tipis.

Saat orang lain banyak menghabiskan waktunya di dunia maya untuk sekedar melepas penat, aku tidak bisa melakukannya. Sebagai ibu rumah tangga sejati, pekerjaanku hanya berkutat sekitaran rumah dan Marisa.

Di usia sekarang Marisa masih anteng dan tidak terlalu khawatir saat aku tinggal untuk mencuci, memasak atau beres-beres. Cukup dibaringkan di tempat tidur atau bouncher, aman.

Jika lapar dia akan memberi kode dengan mengeluarkan suara tangisan yang melengking. Aku pun akan segera menggampirinya dan menghentikan segala aktivitas yang kukerjakan. Marisa adalah prioritas.

"Astagfirulloh ...." Aku melupakan sesuatu yang penting. Marisa belum dikhitan. Ini hari ke 41 sedikit terlambat tapi masih bisa dilakukan. Kenapa Mamah dan Yayu tidak mengingatkanku dengan masalah sepenting ini?

Dalam madzhab imam syafi'i yang dianut sebagian besar orang Indonesia khitan bagi anak laki-laki maupun perempuan sama wajibnya. Walaupun tujuan dari keduanya berbeda.

Pada laki-laki, khitan bertujuan untuk menghilangkan penutup yang bisa menyebabkan terperangkapnya najis di sana. Najis yang membuat sholat menjadi tidak sah.

Sedangkan pada perempuan, khitan tidak berhubungan dengan najis, melainkan dengan syahwat. Konon perempuan yang tidak dikhitan akan berlaku lebih agresif dan sulit mengendalikan syahwat mereka.

Kalau melahirkan di dukun beranak, sudah pasti mereka memberikan pelayanan paket khitan. Mereka sangat faham dengan hukum dan tujuan dari khitan pada anak perempuan.

Di bidan, aku kurang tahu. Nanti aku coba tanya pada Bu Bidan yang membantu persalinanku. Mudah-mudahan ia bisa menolongku. "Atau aku pergi ke Mak Piyah saja?" Aku bergumam sendiri.

Setelah pekerjaan rumah selesai aku memutuskan untuk menemui Mak Piyah, aku tidak tahu dimana rumahnya. Tapi, waktu mengurutku dulu dia datang dengan berjalan kaki, kemungkinan besar rumahnya tak jauh dari sini.

Aku mengambil jarit bermotif bunga warna ungu, dan menggendongnya dengan cara tradisional. Aku pernah melihat para artis di TV menggendong bayinya di depan dada dengan posisi kaki membentuk huruf M, aku belum berani, mengingat usia Marisa belum genap dua bulan. Dia terlihat cukup nyaman dengan posisi gendongan seperti yang biasa Mamah lakukan.

Aku meraih payung di belakang kulkas, menulis pesan dan meletakkannya di atas meja, takut nanti Ibu pulang lebih dulu. Kuputar gagang kunci dua kali, memastikan semua aman sebelum pergi berjalan menuju rumah Mak Piyah.

"Mau kemana, Ning?" Bu Suparti menyapaku.

"Mau ke rumah Mak Piyah, Bu. Tapi, Ning blm tahu rumahnya dimana," jawabku.

"Anakmu mau diurut?"

"Bukan, Bu, mau dikhitan."

"Kalau mau khitan bayi perempuan, ke Bu Bidan aja, sudah biasa kok," papar Bu Suparti. "Ayo, Ibu antar, sekalian mau ke depan ngantar pesanan kue," imbuh Bu Suparti sambil berjalan di depanku.

Sepanjang jalan aku ngobrol dengan Bu Suparti. Ternyata, sehari-hari dia suka menerima pesanan kue kering dan kue-kue basah. Aku tertarik untuk ikut membantunya sambil belajar, siapa tahu bisa menjadi sumber rezeki bagiku. Nanti aku mau minta izin sama Bang Rafi.

Aku dan Bu Suparti berpisah di klinik bersalin sekaligus rumah Bu Bidan tempatku dulu melahirkan Marisa. Pintunya terbuka, semoga Bu Bidan sedang ada di rumah. "Bismillah ...."

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang