Suara tangisan Marisa semakin tak terdengar. Mungkin Ibu membawanya keluar. Aku menyandarkan punggung pada dinginnya dinding kamar. Duduk dengan memeluk lutut yang masih gemetar. Aku sedih, tapi tak bisa menangis, tak ada air mata yang keluar dari mataku, dan membuat dada semakin sesak kurasa.
Entah berapa lama aku terdiam hingga suara Bang Rafi memecah kesendirianku.
"Ning!" seru Bang Rafi. Dia terlihat begitu lelah, ujung kerahnya basah dengan keringat.
Bang Rafi menghampiriku, mengusap pundak, dan meluruskan kakiku. "Mana Marisa?" tanyanya.
Aku hanya meliriknya sekilas, lalu membuang muka. Bang Rafi membopong tubuhku dan membaringkannya di tempat tidur. "Kamu demam, Ning. Abang mau panggil Bu Bidan dulu ya." Bang Rafi mengeluarkan gawai di saku celananya kemudian berbicara dengan seseorang.
"Istri kamu gila!" teriak Ibu yang baru masuk. Marisa terlelap di pangkuannnya, mungkin dia lelah menangis. "Dia tadi mau bunuh Ibu dan anakmu ini," tutur Ibu sambil mengarahkan telunjuknya ke wajahku.
"Benar begitu, Ning?" Bang Rafi menatapku meminta penjelasan. Lagi-lagi, aku hanya membuang muka.
Aku yakin, sekuat apapun aku membela diri. Alasanku akan tetap patah oleh penjelasan Ibu, percuma. Aku lebih baik diam, menghemat energiku.
Ibu membawa kantong besar di tangan kirinya, kantong putih berlogo sebuah minimarket dengan dus merah di dalamnya. Aku ingin bertanya, tapi aku yakin ini bukan waktu yang tepat.
"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam Bu Isti, silahkan masuk." Bang Rafi mempersilahkan Bu Bidan yang dulu menangani persalinanku.
"Maaf saya langsung masuk rumah, pintunya terbuka," jelas Bu Bidan yang kini kutahu bernama Isti.
Bu Isti tersenyum ramah, mengeluarkan tensi meter dan mulai mengecek tekanan darahku. "80/60, Bu rendah sekali," ucap Bu Bidan.
Dia mengeluarkan stetoskop, menyelipkannya pada telinga dan mulai memeriksa bagian dada hingga perut. Stetoskop itu terasa dingin menyentuh kulitku.
"Perut Ibu kembung, nih. Suka telat makan, ya?" Aku hanya menarik sedikit bibir tanpa menjawab.
Bu Bidan Isti mengeluarkan beberapa obat dari tas yang dibawanya, memasukannya pada plastik-plastik kecil dengan perekat. Dia menuliskan sesuatu pada plastik itu. Bu Isti menatapku hingga netra kami saling bertemu.
Marisa yang berada di pangkuan Ibu menggeliat, terbangun dan menangis.
"Dede bayinya, lapar itu, Bu," ucap Bu Bidan.
"Dia gak mau nyusuin, Bu Bidan," ungkap Ibu.
Aku hanya tertunduk. Lagi-lagi tak bisa membela diri.
"Karena sakit ya? Gak apa-apa, walaupun Ibunya demam begini, ASInya tetap bagus." Bu Bidan mengambil Marisa dari pangkuan Ibu.
"Bang Rafi, bisa tolong ambilkan teh manis dan kue?"
"Ya." Bang Rafi pun pergi mengikuti intruksi Bu Bidan dan kembali dengan membawa cangkir besar teh manis dan toples kecil dengan biskuit kelapa di dalamnya.
"Tolong kasih ke Ibu Ayu," pinta Bu Bidan.
"Ning, Bu Bidan, panggil saja Ning," tukasku. Suaraku mulai keluar.
Aku mengambil teh manis yang diberikan Bang Rafi dan meminumnya dengan rakus. Kurang panas, tapi membuatku bisa menghabiskan semuanya tanpa terganggu.
"Ini dede cantiknya disusui dulu ya, Ning."
Aku tersentak, masih enggan memegang Marisa. Bu Bidan Isti menangkap gelagatku dan urung memberikan Marisa.
"Cantik sekali dede bayinya, percis Ibunya. Dede kangen Mamah? Sebentar ya, mamanya masih capek." Bu Bidan berbicara pada Marisa sambil menggendong dan membenarkan posisi baju Marisa.
Aku melihat wajah anakku, wajah polos tak berdosa, air mataku luruh, aku bisa menangis lagi.
"Sini, Nak," pintaku.
Aku meraih Marisa dan menciuminya, menghirup wangi syurga, yang lebih wangi dari parfum mana pun di dunia.
Bu Bidan membenarkan posisi Marisa hingga dia nyaman menyusu. Awalnya Marisa menolak aku susui karena tak nyaman dengan suhu badanku. Tapi, rasa laparnya membuat dia mulai menghisap dan semakin lama semakin kencang.
Ibu memasuki kamar dengan botol berisi susu. Benar dugaanku, ia tadi membeli susu formula untuk anakku. Dia ingin aku semakin jauh dari Marisa.
"Bu Bidan, kasih ini aja," pinta Ibu.
"Gak usah Bu, ASI Bu Ayuning cukup dan lebih bagus buat dede bayi,"
"Ning lagi demam, ASInya hambar," bela Ibu.
"ASI itu gak akan hambar, kapanpun, dimanapun ASI akan tetap hangat dan sesuai kebutuhan si kecil. Susu formula itu mahal, Bu," jelas Bu Isti sambil tersenyum.
"Ibu dan Bang Rafi gak usah repot-repot beli susu formula. Ada yang gratis kok. Lebih baik uangnya untuk beli ikan, daging, sayur, Buah dan makanan sehat lainnya buat Ning, nanti ASInya semakin berkualitas. Dan ... Ibu menyusui itu harus bahagia," tutur Bu Bidan sambil melirik ke Bang Rafi.
"Ning makan yang banyak ya, selama makanan itu sehat gak masalah, gak harus dipantang. Tapi, jangan makan mie instan ya, nanti perutnya kembung." Dia tersenyum penuh arti, memperlihatkan gingsulnya.
Aku menyusui Marisa sambil terus memandangi wajahnya. Bu Bidan terlihat bercakap-cakap dengan Ibu dan Bang Rafi, Sebelum akhirnya dia pamit.
Bang Rafi membelikan makanan karena aku harus minum obat. Ada yang berdenyut di bagian perut, rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan rasa sakit itu menghilang setelah meminum obat dari Bidan Isti. Beruntung, ada dia hari ini. Perut Marisa masih aman dari selain ASI tapi, aku tak yakin Ibu akan patuh untuk tidak memberikan susu formula, mengingat dus-dus merah yang dibelinya lebih dari satu buah.
"Kalau mau pergi, pergi aja, tapi jangan bawa Marisa!" teriak Ibu.
Ada apa lagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...