7. Tak nyaman

389 18 1
                                    

"Kamu kurus banget, Ning," ujar Kak Lisna. Dia masuk tanpa mengucapkan salam, tanpa menanyakan kabar, langsung mengomentari bentuk tubuhku.

"Eh, ya, Kak." Aku mengulurkan tangan dan menyalaminya. Kak Lisna mengamati tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut, jengah sekali aku dibuatnya.

"Masuk, Kak."

"Gak usah disuruh juga aku udah masuk, jangan sok jadi tuan rumah, ini juga bukan rumah kamu," sengitnya.

Loh, kalimatku yang mana yang menyatakan aku pemilik rumah ini? Apa aku yang baper atau  kata-kata Kak Lisna memang berlebihan? Aku merasa tak enak hati, sakit.

Aku menyalami Gio, anak Kak Lisna. Dia menyambut uluran tanganku lalu menghempaskannya kasar dengan senyum mengejek. 'Anak kecil ko bisa seperti ini?' pikirku.

Daripada berdebat aku memilih masuk ke dalam kamar. Sebenarnya aku benci seperti ini. Selalu tak bisa membela diri saat orang-orang melakukan kekerasan verbal padaku, aku seperti kehabisan kata-kata dan tak punya ide untuk membalas. Entahlah, aku terlalu baik atau terlalu lemah, tapi yang pasti semua kata-kata kasar itu seolah menggerogoti tubuhku.

"Ning ada tamu ko malah ditinggal, gak sopan!" teriak Kak Lisna.

Aku keluar sambil menggendong Marisa. "Maaf, Kak." Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

"Ini anakmu, Ning?" Kak Lisna mengamati wajah bayiku dengan seksama. Aku sedikit memiringkan badan untuk menutupi Marisa dari pandangan Kak Lisna.

"Kamu hanya beruntung disayang Ibu karena punya anak cewe, padahal anakmu juga gak cantik-cantik amat," tuturnya.

"Anak itu kan anugrah Kak, laki-laki perempuan sama saja," jawabku.

Tiba-tiba terdengar benda jatuh di kamarku, aku menghampiri asal suara. Astagfirulloh ... tempat bedak Marisa jatuh, isinya berhamburan mengotori lantai. "Aduh ... kotor," ucapku spontan.

"Jangan lebay deh Ning, namanya juga anak kecil." Kak Lisna sama sekali tidak menegur Gio yang masuk ke kamarku tanpa izin, dan mengacak-acak barang-barang di kamar. Ternyata bukan hanya bedak yang tumpah, tisu dicabutinya, pakaian Marisa yang awalnya rapi pun menjadi berantakan.

"Mah, ini bagus deh," ucap Gio sambil menunjukkan bantal kecil berbentuk hati yang biasa aku pakai untuk menahan lengan saat menyusui Marisa.

"Ya, ambil aja." Kak Lisna mempersilahkan Gio tanpa meminta izin padaku. Ah, gak bener ini, aku bisa tambah stres.

Aku duduk di atas kasur yang tergelar, pasrah dengan tingkah Gio yang usil. Tangannya tak mau berhenti memegangi semua barang di kamarku, aku menatapnya tajam saat mata kami bersirobok, tapi Gio malah mencelos, rese.

Kak Lisna sibuk mengomentari semua barang di kamarku, tanya harga, beli di mana, uangnya dari siapa, dan masih banyak lagi. Aku hanya menjawab tanpa minat.

"Ning, orang habis lahiran itu harus pinter-pinter jaga diri. Kamu habis lahiran kerempeng begini, Rafi selingkuh baru tahu rasa." Kak Lisna berkata dengan ringannya.

Dia bercerita kalau tetangganya dicerai setelah empat puluh hari melahirkan karena gak bisa merawat tubuh, terutama organ kewanitaannya. Saat melahirkan wanita itu mengalami robekan dan pihak keluarga meminta bidan untuk tidak menjahitnya. Dibiarkanlah robekan tersebut sembuh sendiri tapi, dalam proses penyembuhannya si perempuan tidak bisa menghindari pekerjaan yang harus dia lakukan. Memasak, mencuci, mengasuh bayi atau mungkin mengangkat benda-benda berat hingga ada sesuatu menyembul dari organ intimnya yang membuat suaminya tak puas. Dan berakhir dengan perceraian.

Aku bergidik ngeri. Bagaimana denganku? Di sini aku sudah bekerja layaknya perempuan normal di hari ke tiga pasca melahirkan. Mungkinkah akan berpengaruh juga pada kewanitaanku hingga Bang Rafi akan kecewa? Aku tidak mendengar lagi kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Kak Lisna. Aku mendadak pusing, telingaku berdengung hebat.

Aku memeluk Marisa dengan kuat, semakin kuat hingga bayiku bersuara, "e ... ehee .... "

"Ning, itu bayimu kesakitan!" Kak Lisna berteriak dan segera mengambil Marisa dari tanganku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Menarik-narik rambutku. "Aku gak mau ... gak mau ... gak mau punya anak! Huuu ... huuu ... huuu."

Pikiranku kacau. Bagaimana kalau nanti Bang Rafi meninggalkanku, Marisa diambil Ibu, dan aku akan mereka buang begitu saja?

"Aaahhh....!" Aku membanting gelas disampingku hingga pecah berhamburan.

Kak Lisna segera berdiri, menarik tangan Gio dan keluar dari kamar dengan menggendong Marisa. "Tolooong ... tolooong...!" Masih kudengar dia berteriak mencari pertolongan.

Aku semakin kalap, apapun yang ada dihadapanku aku tarik dan ku lempar sekuatnya. Hingga tenagaku habis dan aku menjatuhkan diri di atas kasur, meringkuk dan menumpahkan air mata sampai tandas.

Tak lama, Kak Lisna datang bersama Mbak Titin dan seorang Kakek berbaju koko biru. "Itu Kek, Ning kesurupan." Kak Lisna menunjukku.

Kakek tersebut meminta satu gelas air putih pada kak Lisna kemudian mulutnya berkomat-kamit, entah apa yang dia baca, mungkin ayat suci Al Quran.

"Ada jin yang menganggu, seneng dia sama si Neng ini," jelas Si Kakek.

"Tuh, bener kan kata saya. Ning itu dideketin jin makanya suka kelihatan ngelamun dan saya sering lihat dia nangis sambil gendong Marisa, padahal di rumah lagi gak ada siap-siapa," tukas Mbak Titin.

'Ya, jinnya Ibu, Kak Lisna dan tetangga nyinyir yang gak punya empati,' rutukku di dalam hati.

"Tolong diusir jinnya, Kek," pinta Kak Lisna.

Si Kakek mendekatiku, menyodorkan air minum. Aku menengguknya sedikit. Dia memegang kepalaku dan membacakan doa, entah apa. Tapi rasa berat di kepalaku perlahan sirna. Ditumpahkannya sedikit air di dalam gelas pada tangan kirinya kemudian dia usapkan ke ubun-ubun hingga wajahku.

"Jangan sering ngelamun Neng, jangan kosong.  Setan dan jin suka sekali pada orang yang lalai. Apalagi kamu baru melahirkan," ucap Kakek itu.

"Walaupun belum boleh sholat dan mengaji, tapi kamu harus tetep ingat sama gusti Allah. Dzikir ... baca Subhanalloh, Walhamdulillah, Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar," imbuh Si Kakek.

Betul, selama ini aku lalai. Aku merasa sendiri, padahal Allah selalu ada bersamaku. Tapi, bukab karena jin aku seperti ini. Aku tertekan di rumah ini, aku harus pergi.

Saat Bang Rafi pulang nanti aku akan mengajaknya untuk kembali ke kontrakan, toh secara fisik aku merasa mulai sehat dan bisa mengurus bayiku sendiri. Di sini pun sebenarnya Ibu tak banyak membantu.

Si Kakek yang tak ku tahu namanya itu pamit bersama Mbak Titin, aku yakin setelah ini namaku akan menjadi trending topik dengan judul Mantu Bu Sukma kesurupan.

Ibu MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang