Marisa telah cantik, aku sengaja menyeka wajah dan tubuhnya, mendandaninya dengan baju terbaik. Bando berbentuk renda dengan warna baby pink bertenggee di kepala Marisa.
"Masya Allah cantik sekali putri Bunda ini ...."Dulu, aku ditegur Yayu saat memuji-muji anakku tanpa mendahuluinya dengan ucapan Masya Allah, Tabarokalloh. Pamali, katanya. Bisa mendatangkan penyakit ain. Aku sendiri tak paham penyakit ain itu seperti apa, waktu itu Yayu menjelaskan terlalu cepat, aku sulit mencernanya. Intinya, jika ingin memuji, maka pujilah dulu penciptanya.
Sengaja aku mempercantik Marisa demi menyambut Ibu. Ibu sangat sayang pada Marisa, lebih baik aku mencoba mengambil hati Ibu melalui Marisa, daripada terus-terusan meratapi nasib tanpa mencari solusi.
Dari dulu, aku terkenal cekatan. Bisa mengerjakan pekerjaan dengan cepat, rapi, dan memuaskan. Aku dididik Mamah sejak kecil untuk terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Sekarang tubuhku telah sehat, tak masalah dengan setumpuk pekerjaan rumah yang ditinggalkan Ibu.
Cucian telah beres sejak pagi. Lantai konclong dan wangi, sekarang aku mau masak, menyiapkan makan siang untukku. Ya, kalau masakanku enak, mungkin saja Ibu akan mengubah kebiasaannya makan siang di luar.
Mamah membekaliku dengan banyak bahan makanan. Beras dari sawah sendiri, berbagai jenis sayur, juga aneka kue-kue kampung. Mamah sangat takut aku kelaparan lagi apalagi sampai pingsan seperti waktu itu. Tiba-tiba air mataku jatuh, aku teringat Mamah.
Pengorbanan seorang Ibu baru aku sadari setelah aku pun kini menjadi Ibu. Melahirkan dengan bertaruh nyawa, menyusui dengan segala tantangannya, puting lecet, sakit punggung, bayi menggigit. Mengurus dan mencintainya pun tak pernah ada habisnya. Di mata mamah, aku tetaplah Ayuning kecil yang akan selalu dia lindungi.
Aku mengusap mata dengan punggung tangan. Sambil memotong bawang dan sesekali memeriksa Marisa yang sedang berbaring di atas bouncher, pikiranku jauh berkelana. Seharusnya saat ini aku masih bekerja, mengirimi Mamah setiap bulan dari gaji yang kusisihkan sebagai sedikit balasan dari segala pengorbanan Mamah dan Bapak, jika saja aku tidak bersikeras untuk menikah dengan Bang Rafi.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku sekarang seorang istri, seorang Ibu, juga menantu. Aku harus menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya. Aku percaya, ada celah di hati Ibu. Semoga suatu hari nanti, Ibu bisa tulus menerima dan menyayangiku.
Nasi sudah matang, tumis sawi, sambal dan kolak labu telah berhasil aku eksekusi dan terhidang cantik di meja makan saat Ibu tiba di rumah.
Seperti biasa, Ibu enggan mengucap salam. Dia menghampiri Marisa dan menciumnya. "Cantik sekali cucu Nenek, wangi lagi," ucap Ibu.
Aku yang memperhatikannya di dapur menyunggingkan senyum, 'awal yang baik,' tuturku di dalam hati.
Ibu menggendong Marisa dan menghampiriku. Dia menatap sekeliling dapur, semua rapi dan tak ada hal buruk yang bisa dia komentari. Aku tersenyum di dalam hati.
"Makan yu, Bu," ajakku pada Ibu.
"Nggak, Ibu sudah makan," jawabnya dengan ketus.
"Ning, makan dulu ya."
"Ya udah, orang kamu yang masak. Makan ya makan aja, biar Marisa Ibu bawa ke kamar."
Ibu berlalu meninggalkanku. Aku menghela napas lega, dan mulai makan dengan perasaan riang.
Saat ada Ibu di rumah, Marisa akan lebih sering bersama Ibu. Aku bisa leluasa untuk melakukan pekerjaan lain. Menyetrika, menyiangi rumput di halaman atau apa pun yang sekiranya bisa membuat diriku baik di mata Ibu. Ini namanya PEN CIT RA AN. Cape banget, tapi anggap saja ini investasi untuk kelangsungan rumah tanggaku.
Hari ini aman, Ibu tak punya alasan untuk menyindir atau memarahiku.
Bang Rafi pulang dengan wajah lelah dan rambut berantakan karena helm yang baru saja dilepasnya. Aku menyambut dengan senyum, Bang Rafi membalasnya dengan senyum yang tak kalah manis.
"Cantik," bisik Bang Rafi di telingaku saat aku mencium tangannya. Membuat hatiku berbunga-bunga dan melupakan lelahku hari ini.
Aku mengikuti Bang Rafi hingga ke kamar. "Marisa mana, Ning?"
"Di kamar Ibu," jawabku sambil menyodorkan handuk pada Bang Rafi.
"Habis maghrib Abang mau main futsal, ada janji sama teman-teman."
Aku mengangguk tanpa membantah. Biasanya aku akan protes, menasehatinya panjang lebar. Tapi, kali ini aku tahan. Aku harus mengubah cara-cara lama dalam menghadapi sifat buruk Bang Rafi.
"Tumben nggak protes?" cetus Bang Rafi sambil mencolek hidungku. Aku hanya nyengir tanpa berniat menjawab.
Adzan maghrib berkumandang, aku bergegas mengambil wudhu mumpung Marisa masih anteng bersama Ibu dan Bang Rafi di ruang TV. Kutunaikan tiga rakaat dengan khusu.
Bang Rafi masuk saat aku membuka mukena, dia mendekatiku dengan senyum penuh arti.
"Kamu udah sholat?"
"Hu um."
Bang Rafi meletakkan kembali tas berisi perlengkapan futsal yang sudah digendongnya.
"Loh, kenapa disimpan lagi?"
"Malam ini Abang nggak ikut main, mau buka puasa," tutur Bang Rafi sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Aku tergelak.
"Sholat, Bang," pintaku pada Bang Rafi.
"Siap, laksanakan!" ujarnya sambil mengankat tangan kanan, seperti tentara yang siap berperang. Bang Rafi mencium pipiku sebelum keluar untuk mengambil wudhu.
Pipiku memanas, ada gelenyar aneh yang sekian lama tak kurasakan. Aku rindu sikap manis Bang Rafi, aku rindu tidur nyaman di pelukannya.
Sepertinya malam ini akan sangat panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...