Marisa telah lelap di sampingku. Aku merasa resah. Ini adalah kali pertama aku kembali menjalani kewajibanku sebagai seorang istri pasca melahirkan. Aku takut membuat Bang Rafi kecewa.
Kata Yayu, lelaki tidak akan berpaling saat kebutuhan perut dan syahwatnya terpenuhi dengan baik. Sebelum menikah aku selalu yakin bahwa cinta adalah segalanya. Tapi, setelah menikah aku berkesimpulan bahwa rasa cinta saja tidak cukup.
Setiap pasangan harus berupaya untuk memegang komitmen, saling mencocokan diri dan memberikan rasa nyaman pada pasangannya. Tak boleh egois dengan mempertahankan sifat yang tidak baik. Istilah "aku mencintaimu apa adanya" tidak sepenuhnya tepat. Cinta seharusnya bisa mengubah setiap orang hingga menjadi lebih baik dari sekedar "apa adanya".
Aku berbaring membelakangi pintu, saat Bang Rafi memasuki kamar. Suara detak jantung begitu nyata terdengar. Iramanya gaduh, tak biasa. Aku menggigit bibir dan meremas selimut yang kupakai untuk meredam perasaan yang tak menentu.
Perlahan kurasakan Bang Rafi menyentuh punggungku, dan malam itu kami seperti pengantin baru yang menikmati malam pertama.
Aku duduk bersandar pada dinding, begitu pun Bang Rafi. Selimut menutupi tubuh kami sampai ke leher. "Makasih ya, Ning," ucap Bang Rafi sambil mengecup keningku.
Aku memegang wajahnya, membelai pipinya yang kini mulai ditumbuhi bulu-bulu halus, Bang Rafi tampak lebih dewasa dengan cambang yang mulai menutupi bawah pipinya.
Sepertinya aku tidak membuatnya kecewa malam ini. Perasaan takut dan was-was karena masih terbayang proses melahirkan Marisa tidak aku hiraukan. Sebagai laki-laki, Bang Rafi telah lulus ujian "berpuasa" selama masa nifasku. Ketika selesai, sudah sepantasnya aku berusaha memberikan yang terbaik.
Kebutuhan biologis pun butuh dikomunikasikan dengan baik. Ada sebagian wanita yang membutuhkan waktu berbulan-bulan pasca melahirkan untuk dapat kembali berhubungan dengan normal, dan suami harus mengerti. Begitupun sebaliknya, istri harus mengerti kebutuhan suami ketika tidak dapat menahan keinginannya. Toh, banyak cara yang dapat dilakukan selama itu tidak bertentangan dengan aturan agama.
Resep dari Yayu ternyata ampuh. Di rumah Mamah aku selalu meminum ramuan yang diberikan Yayu. Bubuk manjakani berwarna coklat muda, rutin aku seduh dengan air hangat dan aku minum sehari sekali. Rasanya pahit dan menempel di pangkal lidah tapi sangat berkhasiat sebagai anti bakteri, dan meremajakan organ intim wanita.
Ada lagi butiran kecil berwarna hitam yang juga rutin aku konsumsi. Yayu bilang itu terbuat dari cacing sonari. Cacing raksasa yang hidup di bawah pohon hutan hujan. Cacing ini bersuara di malam hari dan bisa hidup selama lima belas tahun.
Cacing sonari bermanfaat untuk menyehatkan tubuh, anti demam, bisa mengobati tifus, melancarkan pembuluh darah dan dipercaya juga memberikan manfaat baik untuk masalah kewanitaan.
Malam ini semuanya berbuah manis. Bang Rafi tampak sumringah dengan senyum yang tak henti menghiasi wajahnya.
"Bang, gimana kerjaan Abang?" Aku membuka obrolan. Sepertinya malam ini waktu yang baik untuk berbicara dengan Bang Rafi.
"Baik." Bang Rafi menjawab sambil memainkan rambut panjangku.
"Emh ... Abang ada rencana untuk ngontrak lagi?" Aku bertanya hati-hati.
"Kamu nggak betah ya, di sini?" Bang Rafi meluruskan punggungnya.
"Ada kalanya, hubungan baik terjaga saat kita jauh," jawabku diplomatis.
"Abang harap, kamu bisa dekat dengan Ibu. Abang tak mungkin bisa memilih salah satu diantara kalian. Berusahalah dulu, demi Abang. Kita lihat apa yang terjadi setelah berusaha."
Aku menghela napas. Dan menatap lekat wajah suamiku. "Baiklah, tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Abang pun harus berusaha untuk lebih dewasa. Kita ini sudah berumah tangga. Abang sekarang sudah jadi ayah. Nggak usahlah terlalu sering nongkrong bareng teman-teman Abang. Hobi Abang mengoleksi sepatu dan bola yang harganya mahal itu, coba kurangi. Lebih baik dipakai untuk kebutuhan yang lebih penting. Ning juga mau dikasih uang lebih untuk belanja. Biar bisa masak setiap hari tanpa harus menunggu disediakan Ibu." Aku berbicara sangat cepat.
"Terusss ...."
"Abang harus bangun lebih pagi, sholat subuh, bantu jagain Marisa kalau Ning lagi sibuk. Sholatnya jangan bolong-bolong lagi, harus bisa jadi imam yang baik ... bla ... bla ... bla ...."
Aku nyerocos mengeluarkan segala unek-unek yang kusimpan selama ini. Kapan lagi, Bang Rafi mau menyediakan kupingnya untuk mendengar keluh kesahku?
Bang Rafi menatapku tak berkedip. Mungkin dia heran, aku bisa berbicara sebanyak itu dengan satu kali tarikan napas. Mulutku tak henti bicara sampai Bang Rafi menutup mukutku dengan bibirnya. Bang Rafi baru berhenti setelah tangis Marisa terdengar. "Yaaa ... ronde kedua, gagal," bisiknya.
Aku tersenyum geli melihat tingkah Bang Rafi, bibirnya mencebik. Dia menarik selimut hingga menutupi kepala, tertidur.
Aku buru-buru ke kamar mandi saat terbangun dari tidur dan mendapati Bang Rafi tengah terlelap di sampingku. Bahaya, kalau Ibu mendapati rambut basahku di pagi hari, malu.
Masih pukul tiga dini hari. Kalau aku mandi sekarang, dan mengerigkannya dengan handuk. Subuh nanti tidak akan terlihat basah. Aku bisa menutupinya dengan kerudung. Ini nih, salah satu tantangan hidup satu atap dengan mertua.
Aku mengguncang tubuh Bang Rafi. "Bang, titip Marisa ya, Ning mau mandi."
"Hemmm ...." Bang Rafi bergumam tanpa membuka mata. Aku mengendap-endap ke arah kamar mandi. Sengaja tak kunyalakan lampu rumah, takut Ibu tiba-tiba terbangun.
Kupeluk erat handuk di depan dada, berjalan berjinjit, sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Mataku awas melihat ke arah pintu kamar Ibu takut tiba-tiba terbuka. Aku berjalan mundur ke arah kamar mandi sampai punggungku menabrak sesuatu.
"Astagfirulloh!" Aku berbalik melihat sesuatu di balik tubuhku.
"Ibu?"
Apes! Aku berpapasan dengan Ibu yang baru keluar dari kamar mandi. Kalau saja lampu di dapur ini lebih terang, Ibu pasti melihat wajahku semerah udang rebus.
Ibu hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar, kemudian berlalu meninggalkanku yang tertunduk sambil menggigit handuk. "Haduuuhhh ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ibu Mertua
Science-Fiction"Sehebat apapun pekerjaan rumah yang sudah diselesaikan menantu, tidak akan memiliki arti apa-apa kalau belum memberikan pelayanan memuaskan pada ibu mertua." "Beban mental terberat saat tinggal dengan mertua adalah ketika kamu kelelahan dan butuh i...