Bab 1

1.9K 108 4
                                    

Khandra menghela napas saat matanya menangkap Azura - sahabatnya yang masih saja betah berjongkok sambil menangis. Ia tahu kalau sahabat dari masa kecilnya ini sudah kehabisan stock malunya. Tapi kenapa, perempuan itu harus melibatkannya sih?

Akhirnya, Khandra yang tidak tahan ikut berjongkok untuk membujuk. "Ra, udah sih. Lo mau nangis sampe bandaranya banjir juga percuma. Paling cepet, si Angga baru balik empat tahun lagi. Dah lah, relain aja dulu dia pergi. Nanti kalo dia balik, gue bantu lo buat kejar dia deh."

Diam-diam Khandra bernapas lega tatkala melihat Azura yang mulai mendongakan kepalanya dan menatapnya dengan pandangan tertarik. Yah, setidaknya tangisan perempuan sedeng itu sudah mulai berhenti. "Beneran?"

Kepala Khandra mengangguk mantap. "Iya. Makanya, udah yuk balik. Gue udah nahan laper nih, dari tadi." Azura langsung mendengus saat mendengar kalimat terakhir dari laki-laki yang perlahan bergerak berdiri.

"Yang ada di pikiran lo tuh ya, kalo nggak makan ya tidur." sahutnya sengit sembari ikut berdiri lalu mengikuti langkah Khandra yang sudah terlebih dahulu berjalan.

"Ya gimana, lo tahu kan, semenjak gue koas, makan dan tidur adalah suatu hal yang sangat istimewa buat gue."

"Iya iya, yang udah mulai dipanggil Pak Dokter."

"Berisik." sahut Khandra sembari mempercepat langkahnya.

"Heh, lo nggak lupa kan kalo kaki gue lebih pendek dari punya lo?! Jangan cepet-cepet, bego!" ujar Azura yang tanpa sadar berlari kecil untuk mengikis jarak. Begitu ia bisa menyamakan langkanya dengan sahabatnya itu, Azura pun langsung memegangi kemeja bagian lengan milik Khandra.

"Gue bukan indukan lo ya. Nggak usah pegang-pegang begitu." protes Khandra.

"Diem, bawel. Dah jalan aja. Gue juga ikutan laper nih."

"Ya Allah, dosa apa gue sampe punya temen kayak lo."

~~~~~

Sepuluh tahun kemudian...

Membutuhkan waktu tiga jam bagi Khandra dan timnya untuk menyelesaikan operasi pasien yang mengalami pendarahan di beberapa organ dalam akibat kecelakaan. Setelah memberikan instruksi kepada asistennya untuk menyelesaikan urusan menjahit sayatan, Khandra pun melangkahkan kakinya keluar dari ruang operasi.

Pria itu menghela napas sembari melepaskan ikatan masker yang tadi ia kenakan selama tindakan operasi. Sembari berjalan keluar dari lorong ruang operasi menuju pintu utama untuk menemui keluarga pasien, Khandra memijat lehernya yang kini terasa begitu kaku.

Khandra mendesah pelan karena teringat bahwa dirinya sudah tidak pulang ke rumah hampir dua hari. Sebenarnya, tadi dia sudah berada di dalam mobil untuk berkendara pulang tapi tiba-tiba saja ia mendapatkan panggilan karena ada pasien kecelakaan yang membutuhkan operasi darurat.

"Udah nggak pulang berapa lama lo?" Khandra sedikit terkejut saat tiba-tiba saja mendapati Petra – teman seperjuangannya yang juga menjadi dokter bedah umum, sudah berjalan menjajarinya. "Dua hari." jawabnya singkat.

"Gue kasihan sama kucing gue. Terakhir kali gue kasih makan tiga hari yang lalu."

"Masih juga lo pelihara tu kucing bar bar? Udah gue bilangin kan, kalo lo masih tinggal sendiri mending nggak usah pelihara-pelihara gitu deh. Kasihan hewannya." timpal Khandra yang membuat Petra memberengut. "Gue nggak tega kalo harus kasih dia ke orang lain."

"Lo bisa titipin ke adik atau kakak lo dulu mungkin? Bilang aja titipnya sampe lo nikah." ucapan Khandra mengundang tatapan sinis milik Petra. "Gue belum tahu bakal nikah kapan, bego! Sama aja gue menjanjikan sesuatu yang nggak pasti."

Rasa Berbalut SamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang