10. Kerjaan

17 0 0
                                    


Hari pertamaku kerja di sebuah sekolah favorit. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat ku kagumi dan sukai. Maka ingin sekali ku ajarkan kepada orang lain. Karena bahasa ini adalah bahasa al-Quran. Bahasa Hadits. Mungkin ku tidak pernah belajar Bahasa Arab secara formal di kampus, tapi ku pernah belajar di pesantren selama tiga tahun. Maka daurah-daurah dari orang-orang Arab pun bisa ku pahami. Kecuali mereka yang berbicara Bahasa Amiyah. Tentu tidak bisa ku pahami. Karena itu adalah Bahasa pasar. Sama seperti Bahasa slanknya orang Inggris.

Kebanyakan anak-anak di sekolah favorit lebih fokus dan lebih suka Bahasa Inggris. Tapi itu meruapakan tantangan tersendiri untuk membbuat mereka suka dan ingin belajar Bahasa Arab. Aku juga bisa Bahasa Inggris, tapi tidak terlalu jago. Kalau cuma dengerin orang ngomong, insya Allah paham.

Sovia Fauziyyah yang sebenarnya masih kuliah S2 dan kini ku suruh berada di rumah ajah. Dia pun menurut tanpa membantah. Padahal aku juga tidak pernah menyentuhnya, apalagi tersenyum kepadanya. Hubungan kami benar-benar berada di ujung tanduk. Dan sekarang ku tak ingin banyak ngobrol dengnnya. Entah apa yang ku rasakan. Mungkin ngerasa jijik ajah kalau berada di sampingnya.

Hari pertama ku mengajar memang agak berat. Mengahadapi anak-anak orang kaya yang hidupnya bebas di luar. Mereka terlalu jauh dari agama. Sampai ku suruh baca al-Fatihah saja tidak bisa. Apalagi Bahasa Arab. Aku juga belum tahu seberapa banyak yang mereka ketahui tantang agama mereka. Mereka semua muslim, tapi sangat jauh dari Islam.

Ini PR besar bagiku untuk mengajak mereka lebih dekat dengan agama mereka. Apalagi kini ku menjadi guru PAI. Tidak cuma mengajarkan mereka bagaimana wudhu dan shalat, tapi juga mengajarkan mereka bagaimana menjalani kehidupan yang islami dengan menjalankan sayariat-Nya. Karena kuci kebahagiaan manusia adalah kedekatakan dia dengan sang Ilah.

Ku sampai di rumah. Sovia sudah menungguku di luar. Sungguh wanita salihah. Namun sayang, ku tak mencintainya. Dia memberikan senyuman manis di bibir mungilnya. Tapi tidak ku balas dengan balasan yang setimpal. Aku mendekatinya dengan wajah datar. Dia mencium punggung tanganku dengan penuh cinta. Aku cuek dan abai dengannya. Aku langsung masuk kamar dan mengganti bajuku.

"Mas, gimana keadaan di sekolah?" Tanya Sovia dari balik pintu.

"Biasa saja." Jawabku dengan ketus dan muka ditekuk.

"Apakah ada masalah di sana?"

"Tidak. Biasa saja."

"Baguslah."

"Sovia, apakah kamu keluar rumah tadi?"

"Tidak. Aku hanya di rumah saja sama Mamah. Memangnya kenapa, Mas?"

"Enggak, aku hanya ingin tanya saja."

"Sore ini mau jalan-jalankah? Aku tahu tempat-tempat yang bagus, loh."

"Nggak ah. Aku lagi malas keluar. Di rumah saja."

"Sudah dua minggu kita menikah, masak nggak pernah senang-senang atau bulan madu."

"Kalau mau senang-senang, mending sama orang lain saja." Ucapku dengan ketus.

"Mas, jahat banget."

"Mending kamu buatin aku teh anget." Sovia pun beranjak ke dapur.

Aku pun duduk di sofa dengan membaca buku karangan Adian Husaini tentang liberalisme. Aku agak lelah hari ini, nggak tahu kenapa. Melihat Sovia membawa teh hangat itu seakan rasa lelah sedikit demi sedikit hilang. "Terima kasih."

Abah dan Mamah lagi berkunjung ke kerabat yang ada di Cianjur. Bella juga lagi ada urusan dengan teman-temannya. Hanya ada aku dan Sovia di dalam. Sovia duduk di sampingku membuka laptop. Dia sepertinya sibuk dengan kuliahnya yang tertunda. Karena dari awal ku suruh dia tetap di rumah. Kalau bisa kuliah online, ya, silakanlah. Tapi kalau dia yang pergi sendiri, aku tidak mau. Cukuplah kemarin ku gagal menepati janji. Kali ini tidak akan lagi. Lagian Abah, Mamah, dan Bella juga nggak tahu isi perasaanku yang sebenarnya. Semuanya seperti biasa saja.

Aku tidak punya bahasan untuk berbicara dengan Sovia. Dia terlalu berpendidikan. Bahkan aku tidak selevel dengannya. Makanya agak berat kalau harus berbicara tentang sesuatu. Hubungan ini agak garing. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya sama sekali dan dia masih sabar menerima sikapku yang tidak baik. Aku jadi kasihan sama dia. Tapi sekali lagi, aku tidak mencintainya.

"Sovia?"

"Iya, Mas."

"Lagi ngapain?"

"Ini tugas kuliah banyak banget. Mas bisa bantuin, nggak?"

"Aku ini masih sarjana, mana mungkin aku paham. Nggak lucu, Sov."

"Maaf-maaf. Bukan begitu maksudku, Mas."

"Kamu sengaja menghinaku, ya?"

"Enggak, kok. Tapi.."

"Nggak usah tapi-tapi. Bikin kesel ajah." Aku geram dengan sikapnya yang sok-sokan. Aku pun masuk ke kamar. Dari situ ku mendengar suara tangisannya. Ku benci sekali dengan suara tangisan. Ku tutup telingaku dengan bantal. Aku jadi malas ngapa-ngapain.

***

Setelah shalat isya' di masjid, ku sengaja nggak ke rumah langsung. Melainkan mampir ke sebuah warung makan. Sengaja ku makan di luar biar nanti bisa punya alasan untuk tidak makan bereng dia. Lama kelamaan ku jadi jijik sama dia. Bahkan bisa dibilang ku telah menyesal telah menjadi suaminya.

Ku sampai juga di rumah. Ku lihat Sovia dan Bella sudah berada di meja makan. "Kak Faris, ayo makan."

Padahal tadi ku berniat untuk tidak makan bersama Sovia. Namun gara-gara Bella yang ngomong, ku jadi ikut duduk di antara mereka. Situasi menjadi berat dan sukar tuk dijelasin. Kalau orang lain berada di posisiku, mungkin mereka juga merasa bahwa situasi seperti ini memang berat. Aku bahkan tidak sanggup. Aku menyukai seseorang, tapi malah kakaknya yang ku nikahi. Dan kini mereka ada di depanku.

"Mas, boleh tanya?"

"Boleh."

"Apa Mas dulu memang benar niat ngelamar aku?" aku tiba-tiba keselek. Ku mencari air dan segera ku minum. Aku tidak tahu jawaban apa yang harus ku berikan. Aku hanya diam.

"Mas, jawab pertanyaanku!"

"Sovia, kenapa sih malam-malam gini mau cari ribut?"

"Bukankah kamu ingin melamar Gea alias Bella yang sesungguhnya?" aku terbungkam. Bagaimana dia tahu dengan perasaan yang ku rasakan. Padahal ku tidak pernah memberitahu siapapun, bahkan keluarga.

"Orang yang sebenarnya ingin kamu lamar itu Gea kan, Mas?"

"Sudahlah, Sovia. Nggak usah ngurusin masalah nggak penting seperti itu."

"Ini bukan perkara sederhana, Mas. Ini soal hati. Sudah lebih hampir sebulan kita menikah, tapi seakan kita bukan sepasang suami istri. Hubungan ini hambar dan garing, Mas."

"Lalu kamu ingin apa? Cerai?" tiba-tiba Sovia diam. Suasana di meja makan menjadi sangat panas. Bella dari tadi hanya diam melihat kami berselisih.

"Kalau memang Mas Faris tidak menyukaiku, mending ceraikan aku. Lalu nikahi orang yang Mas suka. Kalau itu memang jalan terbaik dari hubungan ini."

"kamu jangan sombong, ya!"

"Cukup!! Kenapa kalian jadi berantem, sih? Ini waktu makan malam bukan waktunya berantem. Kalau memang ingin berantem, mending di luar sana. Kak Sovia, kenapa kakak mengatakan sesuatau yang belum tentu benar? Mungkin bisa saja benar, tapi itu akan berpengaruh buruk terhadap hubungan kalian. Kak Faris, kamu sudah janji untuk tidak menyakiti istrimu nanti. Jadi jangan pernah langar itu. Aku jadi nggak nafsu makan." Ucap Bella dengan muka merah seperti kepiting rebus. Dia pergi meninggalkan kami berdua di meja makan.

Kejadian seperti ini sering terjadi. Dan kebanyakan ketika Bella ada bersama kami. Aku sangat jengkel sekali dengan situasi seperti ini. Yang jelas pecekcokan kami seperti perang yang tak pernah berakhir. Aku kasihan dengan Bella yang selalu mendengar kami berkelahi. Entahlah apa yang harus ku lakukan.

Allah itu sangat membenci yang namanya percaraian. Tapi melihat kondisi kami seperti ini, sepertinya hal itu adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan kami yang rumit ini. Kalau orang berada di posisiku, mungkin akan mengatakan hal yang sama. Bagaimana ku bisa hidup tenang kalau ku menyukai seseorang, tapi ku malah menikahi kakaknya. Kesalahan besar dan fatal.


Cinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang