1. Cermin Masa Lalu

68 2 0
                                    



Sarapan telah disantap. Nasi bungkus seharga 5 ribu itu cukup membuat perutku kenyang. Kini ku berada di depan cermin. Melihat wajahku yang nampak dewasa dengan sedikit kumis dan jenggot di usia 23 tahun. Aku teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu saat masih SMA. Masa-masa yang bejat dan kotor itu masih terkenang di kepala. Walau diri ingin menghilangkan pikiran itu namun sulit rasanya.

"Wahai para pengecut, keluar kalian semua!" teriak seseorang di depan sekolah. Ada banyak orang berseragam putih abu-abu berdiri di depan sekolah. Mereka menunjukkan wajah merah dan marah. Senjata tajam ada di tangan mereka. Sepertinya akan ada pertempuran atau tawuran.

Semua siswa dan siswi pun keluar melihat kejadian di luar sana. Aku pun tersentak ketika mendengar teriakan itu. Ku bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke kerumunan yang ada di luar. Segerombolan orang di sana menantikan perlawan. Ku pun mengajak semua teman-temannya untuk menghadang para lawan.

"Faris, akhirnya kau keluar juga dari sangkar. Ku kira kau akan terus bersembunyi seperti banci." Kata pemuda berambut keribo.

"Boy, yang kuat akan selalu menang." Ucapku sambil berlari menerjang musuh. Pertempuran antar sekolah pun tak terhindarkan. Semua petinggi sekolah juga tidak bisa menghentikan mereka. Karena sudah terlanjur terjadi.

Mereka adu pukul dan tendang. Keriuhan tawuran semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba si kribo melihatku sedang menghadapi temannya. Dia pun geram lalu mengeluarkan pisau dari balik baju putihnya. Diam-diam dia tikam aku dari belakang. Namun sayang, aku sudah merasakan kedatangan si Kribo, makanya ku bisa menghindari tusukan itu. Malahan pisau tajam itu bersarang ke perut temannya sendiri. Darah bercucuran dari perutnya. Tiba-tiba suasana hening. Semua orang berlarian ke mana-mana. Sedangkan aku malah membantu musuh untuk bangun dan segara membawanya ke rumah sakit.

Semua teman-temanku pada ketakutan atas kejadian yang berusan terjadi. Korban berada dalam keadaan kritis dan mempriahatinkan. Kemungkinan sembuh sangat tipis sekali. Tiba-tiba datang beberapa polisi. "Selamat pagi."

"Selamat pagi, Pak." Sahutku

"Apakah anda bernama Muhammad Al-farisi?"

"Benar, Pak."

"Sekarang ikut saya ke kantor polisi."

"Bukan salah saya. Itu gara-gara si Kribo."

"Saya tidak mau tahu, yang penting sekarang anda ikut saya." Aku pun dipaksa untuk ikut mereka. Semua teman-temanku tidak ada yang membela. Semuanya diam ketakutan. Aku juga merasa takut sekali ketika berjalan bersama dengan para polisi. Aku masuk ke mobil polisi dengan perasaan yang tidak karuan.

Sesampainya di kantor polisi, ku diinterogasi sambil dibentak-bentak. Aku hanya menjawab dengan sejujur-jujurnya, tapi polisi it uterus saja tidak percaya dan memaksaku untuk menjawab iya. Padahal bukan aku yang melakukan. Melainkan si Kribo, teman gengnya sendiri. Akhirnya aku pun dimasukkan ke dalam sel penjara.

Di dalam banyak sekali orang-orang berotot dengan tato-tato mengerikan di lengan dan muka. Aku jadi semakin takut. Ku jadi berpikir dan terngiang di kepala bagaimana kalau aku hidup dan tinggal bersama mereka selam bertahun-tahun. Bisa mati dihabisi mereka. Di antara kami, hanya akulah yang paling kecil dan paling muda. Aku yakin, mereka semua berumur 30 tahun lebih.

Aku masih terbanyang dengan keadaan kemarin. Bagaimana kalau aku yang tertusuk dan mati. Mungkin sekarang ku sudah berada dalam neraka. Pasti para malaikat sudah menyiksa dan mengazabku. Maka nampaknya di penjara ini agak lebih lumayan.

Satu bulan ku berada dalam sel penjara. Masa-masa itu membuatku terus merenung dan bemuhasabah. Sepertinya ku sudah jauh dari Tuhan. Ku jarang menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba. Malah suka berkelahi dan tawuran di mana orang-orang resah melihatnya. Kalau saja waktu bisa diulang, tak akan pernah ku lakukan ini sama sekali. Ku menyesal telah berbuat makar di muka bumi ini.

Mushaf kecil berwana biru itu selalu menemiku selama berada dalam sel penjara. Setiap hari ku lantunkan huruf-hurufnya dengan terbata-bata karena memang tidak pernah membaca kecuali ketika masih SD di TPA. Terjemahannya juga membantuku memahami isi dari al-Quran. Dan ketika bacaanku berhenti di ayat Kullu nafsin dzaiqotul maut.... "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Air mataku langsung pecah. Seakan ku telah disadarkan oleh Allah, di mana saja aku selama ini? Al-Quran ada untuk menjadi petunjuk bagi para hamba-Nya.

Sudah sangat lama sekali jauh dari kebenaran. Dan sekarang baru ku sadar, apa yang telah ku lakukan adalah kesalahan besar. Maka ku putuskan untuk belajar di pesantren. Aku ingin mendalami agamaku. Ku ingin menghafal dan memahami al-Quran dan Hadits. Dua marjak yang sudah lama ku tinggalkan. Seperti ku tak mengenalnya sama sekali.

Pesantren Darul Falah yang ada di jawa tengah adalah tempat ku merubah diri. Banyak pelajaran dan hikmah yang telah ku dapatkan. Semua ilmu alat yang menopang ilmu Syariah telah ku pelajari. Alhamdullillah, sekarang ku paham betapa indahnya islam. Betapa bahagianya ku sekarang. Bisa mengenal agamaku dengan baik.

3 tahun belajar di pesantren membuatku menjadi lebih dewasa. Kini ku tidak sembarangan dalam bertindak dan melakukan sesuatu. Memang benar yang diajarkan Islam agar memikirkan dahulu sebelum bertindak. Karena semua yang kita lakukan akan berpengaruh terhadap hidup kita.

Kini ku bangun dari lamunanku. Ternyata mengingat masa lalu membuatku sedih dan merana. Untung saja kejadian itu tidak membunuh nyawaku. Kalau saja Allah berkehendak lain, mungkin ku tidak ada di sini. Mungkin ku sudah dimakan cacing. Allah maha besar atas apa yang dikehendaki.

"Faris..." suara seorang laki-laki dari balik pintu.

"Apa?" ternyata di balik pintu adalah Budi. Dia teman seorganisasi.

"Ayo berangkat sekarang!"

"Iya, bentar. Aku mau ngambil tas sama jemur pakaian."

"Cepetan. Nanti bisa terlambat."

Aku segera membereskan semua yang perlu ku bereskan dan segera pergi ke kampus bersama sahabat karipku ini.


Cinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang