14. Lelah Bahagia

15 0 0
                                    


Hubunganku dengan Sovia sekarang sudah sangat membaik. Setelah berbulan-bulan kami bertengkar dan tidak harmonis. Kalau saja hubungan kami dari awal baik, mungkin rasanya tidak seperti ini. Seakan hati ini haus akan cinta. Ku merasakan jatuh cinta sangat luar biasa. Hati ini sudah tersangkut dengan hati Sovia.

Kebetulan saja hari ini libur. Aku mengajak Sovia untuk jalan-jalan ke beberapa tempat. Aku menyesal dulu ku tak pernah bersikap romantic di awal-awal pernikahan kami. Seakan bulan pertama kami menikah menjadi bulan yang hambar dan tak berasa. Kalau orang lain mungkin merasakan bulan madu, tapi bagi kami hanyalah bulan biasa. Sekarang, ku ingin membalas semua sikapku yang begitu jahat pada Sovia.

"Sudah siap?"

"Iya." Ku memboncengnya dengan motor beatku. Tujuan kami untuk sekarang adalah puncak. Tempat yang indah nan sejuk. Orang-orang suka ke sana untuk bersenang-senang sambil menikmati pemandangan. Bahkan banyak orang Arab datang ke temapt itu untuk bersenang-senang.

Antara rumahku dan puncak cukup jauh. Mungkin bisa menghabiskan waktu dua jam untuk bisa sampai di sana. Apalagi sekarang sedang libur. Maka bisa dipastikan jalan menuju ke sana macet. Karena biasanya orang-orang kota yang tinggal di Jakarta atau mungkin Bogor kota, senang datang ke tempat-tempat sejuk seperti puncak. Mereka sudah bosan dengan keributan di kota. Yang ada di pinggir jalan hanyalah gedung-gedung besar dan ber-AC. Cuaca panas dan berpolusi. Aku sendiri tak ingin tinggal di kota. Kalalu nanti sudah punya uang, ku lebih memilih tinggal di desa atau kampung yang hijau dan udaranya segar.

Udara dingin sudah menusuk kulit. Tanda tempat tujuan sudah dekat. Dan memang tidak butuh waktu lama. Tempat orang-orang berkumpul dan bersenang-senang itu sudah berada di depan mata. Ku parkirkan motorku di tempat parkir. Lalu lanjutkan dengan jalan-jalan di sekitar situ bersama Sovia.

Sungguh jauh sekali hawa di sini dengan di rumah. Ku tinggal dekat kota, udaranya agak sedikit panas. Kalau di sini dingin total walau sekarang sudah jam 10 siang. Aku harus memakai jaket untuk menghangatkan tubuh. Ku lihat Sovia mengenakan sweater merah mudanya. Lucu sekali kayak anak muda. Dia kan memang masih muda. Aku lupa kalau dia lebih muda dariku dua tahun.

"Sayang..."

"Iya, Mas?"

"DInign, ya?"

"Iya, Mas."

"Mau dibeliin apa biar nggak dingin?"

"Ke kafe itu yok, Mas. Aku pengen minum coklat hangat."

"Boleh."

Kami masuk ke kafe kecil itu. Suasana sangat keren. Walaupun sederhana, tapi pemiliknya menyusun dan menata ruangan dengan rapi dan keren, hingga membuat pengunjung betah untuk tinggal di dalamnya. Kami langsung memesan coklat hangat. Tapi tidak perlu bilang coklat manis. Karena orang Sunda tidak biasa minum coklat pahit. Tidak seperti teh yang harus komplit penjalasannya. Tak lama menunggu, dua cangkit coklat sudah ada di depan kami. Kepulan asap itu menambah selera. Cuaca dingin seperti ini coklat memang cocok untuk menghangatkan tubuh.

"Enak?"

"Banget.."

Melihat senyumnya yang indah, seakan ku akan meleleh. Cantik banget pokoknya istriku yang satu ini. Kalau ada banyak orang kayak Sovia, mungkin bukan Cuma aku yang meleleh, tapi seisi dunia ikut meleleh karena kagum dengan keindahan senyumannya.

"Habis ini mau ngapain?"

"Kayaknya makan jagung enak deh, Mas."

"Boleh."

"Ayo...." Sovia lalu menarik tanganku ke tempat penjual jagung bakar.

Asap mengepul begitu kuat. Bau jagung bakar sungguh menggugah nafsu makan. Aku melirik istriku yang sedang makan jagung dengan lahap. Tidak seperti biasa. Dia makan begitu banyak sekali. Ini adalah jalan-jalan pertamaku. Entahlah ku merasa sanagat senang dan bahagia. Apalagi sambil melihat Sovia yang sedang makan jagung.

"Mas, aku ingin muntah." Ueekkk... ku langsung tarik dia ke toilet yang ada di dekat kafe. Ueekk... ueekk... suaranya begitu keras terdengar. Aku hanya bisa menunggu, karena itu adalah toilet wanita.

Beberapa saat kemudian, dia nongol dengan wajah yang pucat dan lemas. "Dik, apa kamu sakit?"

"Nggak tahu, Mas. Tapi ku merasa lemas dan lelah. Rasanya ku ingin muntah terus."

"Kayaknya kamu benar-benar sakit, deh. Ayo pergi ke rumah sakit."

"Nggak usah, Mas. Paling cuma masuk angin."

"Tidak, Sov. Kita harus pergi ke klinik. Aku takut kamu kenapa-kepana."

"Yaudahlah."

***

Mendapatkan klinik di Bogor bukanlah hal susah. Bagitu banyak klinik tersebar di kota hujan ini. salah satu klinik yang menjadi pilihanku adalah klinik As-Syifa. Aku suka dengan pelayanannya dan penanganannya. Aku giring istriku ke dalam ruang dokter. Kebetulan dokternya ada wanita. Semoga Sovia tidak apa-apa.

Aku hanya menunggu di luar. Hatiku cemas tidak karuan. Baru saja ku merasakan jatuh cinta, masak orang yang ku cinta jatuh sakit. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Apalagi sampai mempunyai penyakit parah.

Dokter itu pun keluar. "Gimana keadaan istri saya, Dok? Sakit apa dia?"

"Siapa yang sakit, Pak? Dia itu hanya kecapekan saja."

"Tapi dia tadi muntah-muntah, Dok."

"Ya, pastilah. Karena dia sedang hamil." Whaaatttt.....

"Ha-mil? Be-benaran, Dok?"

"Iya. Maka janga sampai dia capek dan lelah."

"Alhamdulillah......" ku sangat senang sekali mendengar kabar gembira ini. perasaan baru beberapa minggu yang lalu ku bercanda sama Bella. Ternyata benar terjadi.

Sovia pun keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya nampak sangat lelah dan letih. Sudah wajar bagi setiap orang yang berada di masa-masa kehamilan. Ku pun tersenyum ke wajah cantiknya. Dia merasa aneh dengan apa yang sedang ku lakukan.

"Mas, kenapa senyum kayak gitu? Orang lagi sakit juga malah senyum. Mas senang kalau aku sakit?" ucapnya dengan manyun.

"Bagaimana nggak senang kalau aku sebentar lagi akan menjadi seorang ayah."

"Maksudnya?"

"Kamu hamil."

"A-apa?"


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang