13. Pernikahan

27 1 0
                                    



Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi Bella. Karena akan diadakan akad nikah antara Bella dengan Rendra, teman sekelasnya. Aku dan Sovia bersiap-siap mengenakan pakaian yang terbaik dan terkeren. Aku sekarang sudah tidak canggung lagi bertemu dengan Bella. Seakan yang ada di pikiranku hanyalah Sovia.

Jarak rumah kami tidaklah jauh. Hanya 10 menit dengan motor, kami sudah sampai. Suasana begitu ramai di penuhi banyak orang. Rumah Abah menjadi meriah dengan hiasan di mana-mana. Aku jadi ingat dengan pernikahanku dengan Sovia setengah tahun yang lalu. Kurang lebih samalah dekorasinya.

Sovia meninggalkanku sendirian di kursi. Dari kejauhan, ku lihat Bella mengenakan pakaian yang sangat bagus dan indah dengan kacamata. Seakan benda itu tak pernah lepas darinya. Sosok yang pernah ku kagumi. Dan sekarang sosok itu akan menjadi milik orang lain. Aku senang kalau dia bisa bahagia. Aku juga senang kalau dia bisa mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Walaupun ku gagal memilikinya, tapi takdir Allah mempertemukanku dengan Sovia yang jauh lebih baik darinya. Aku bersyukur sekali.

Bella duduk dan diam saja di kursi. Dia nampak menangis meneteskan air mata. Ku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya di hari yang seharusnya membuatnya bahagia. Apakah itu air mata bahagia atau kecewa? Semoga saja itu adalah tanda kebahagian. Karena air mata tak selamanya bermakana sedih dan kecewa. Terkadang itu juga bermakna senang dan bahagia.

"Mas, aku mau ngomong sesuatu." Ucap Sovia yang tiba-tiba membangunkan lamunanku.

"Iya, ada apa?"

"Gea sedang sedih dan bimbang, Mas."

"Kenapa?"

"Karena dia akan menikah dengan orang sebenarnya tidak dia cintai."

"Hah, benaran? Kenapa dia terima kalau tidak cinta?"

"Mas, sebenarnya dia telah mengagumi seseorang."

"Lah, kenapa dia tidak bilang ke orang yang disukainya?"

"Karena dia sudah menikah."

"Waduh, berat juga, ya."

"Dan orang itu adalah kamu, Mas."

"Whaaaattttt????" aku kaget mendengarnya.

"Iya. Dan kamu juga suka sama dia, kan?" aku terdiam mendengar pernyataan Sovia.

"Aku tahu, Mas. Aku pernah membaca tulisanmu di laptop. Semua isi hatimu kamu keluarkan semua. Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Aku tahu sebenarnya orang yang kamu lamar itu adalah Gea alias Bella, bukan Sovia. Hatimu akan berat menerimaku, aku tahu itu. Aku bisa maklum dengan keadaan itu." Aku tersentak dengan penjelasannya yang detil dan persis dengan apa yang pernah ku rasakan.

"Sekarang, aku mohon hibur dia. Aku rela kamu ngobrol berdua, Mas. Kasih semangat ke dia. Ungkapkan perasaanmu terdahulu agar membuatnya kembali bangkit. Kamu masih mencintai Bella, kan?"

"Iya, benar. Aku memang mencintai Bella. Aku sangat mencintainya. Melebihi cintaku pada orang lain di dunia ini."

"Ka-kalau gitu pergilah, Mas. Aku ikhlas." Ucapnya dengan melas.

"Tapi Bella yang ku cintai adalah Bella Sovia Faziyyah." Ku pun tersenyum kepadanya. Dia pun nampak kaget dan tak percaya dengan apa yang ku katakan barusan. Ku tarik tagannya, ku cium punggung telapak tangannya.

"Aku ingin pergi ke sana bersamamu. Karena dia bukanlah mahramku, melainkan kamu." Ku gandeng tangannya menuju ke tempat di mana Bella sedang menangis dan bersedih.

"Bella, Allah berfirman, 'Mungkin kamu membenci sesuatu tapi bisa jadi itu baik buat kamu. Atau mungkin kamu suka sesuatu, tapi bisa jadi itu buruk buat kamu. Allah maha Mengetahui dan kamu tidak tahu'. Kalau sekarang kamu sedang dirundu kegalauan karena akan menikah dengan orang yang tidak kamu cintai, maka coba tanyakan kemballi hati nuranimu, apa sebenarnya tujuan sebuah pernikahan. Sesungguhnya tujuan pernikahan adalah ibadah. Menjalakan syariat Allah dalam kehidupan bersama-sama sampai masuk surga nanti. Kalau tujuan kamu adalah surga, maka kamu akan memilih orang yang baik. Bukan orang yang kamu suka. Bisa jadi orang yang kamu suka adalah orang yang tidak baik atau mungkin tidak cocok. Dan orang yang belum kamu cintai, tapi dia baik dan salih, insya Allah akan menggiringmu menuju surga-Nya."

Bella pun tersnyum mendengarkan apa nasihatku. "Aku akan berjanji untuk tidak menyakiti suamiku kelak. Kak Faris dan Kak Bella (Sovia), doakan aku biar bisa menjalani ini semua, ya?"

"Insya Allah, Gea(Bella)." Sovia

"Doa kami akan selalu menyertaimu, Bella. Orang Jawa pernah mengatakan, 'Witing tresna jalaran saka kulina'. Cinta itu ada karena terbiasa. Maka ketika kamu sudah terbiasa dengan suamimu, rasa cinta itu akan tumbuh. Samalah dengan aku dan kakakmu, Sovia. Cinta kami semakin lama semakin membesar." Tiba-tiba cubitan itu mengenai perutku. Aaahhhhkkkk........

"Dasar gombal." Muka Sovia memerah seperti kepeting rebus.

"Eh, benaran." Ahhhkkk... aku malah dicubit lagi.

"Gombal lagi."

"Yaudah, aku ganti kata-katanya, 'aku benci kamu'. Gimana?" ku dicubit lagi. Ahhhkkkh.....

"Kenapa aku malah dicubit lagi?"

"Kamu jahat, Mas."

"Dasar wanita memang nggak jelas. Makhluk abstrak dan aneh." Cubitan itu semakin keras. Ahhkkk....

"Kenapa dicubit lagi?"

"Bullying, ah."

"Memang aku suka membuli orang ku cinta. Hehehe.." muka Sovia makin memerah, tersipu malu gara-gara rayuanku.

"Kalian memang pasangan yang serasi. Ku harap kalian bisa bersama untuk selamanya."

"Amiiinnn..." ucap kami berdua.

"Jangan lupa juga doanya buat calon keponakanmu, Bella." Ucapku sambil mengusap perut Sovia.

"Oh, sudah isi, ya?"

"Apaan sih, Mas. Cuma bercanda, Gea(Bella)."

"Eh, biarlah seorang tante mendoakan keponakannya."

"Semoga keponakanku nanti menjadi orang yang salih dan salihah, menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa."

"Amiinn..." ucapku sambil melirik Sovia yang pipinya sudah merah sekali.

Hubunganku dengan Bella sekarang sudah wajar seperti orang biasa. Ku tak malu atau kaku seperti dulu. Sekarang ku anggap dia sebagai adik. Karena ku sudah menjafi suami kakaknya, Sovia. Cintaku pada Bella sedikit demi sedikit pudar. Cintaku pada Sovia semakin lama semakin bertambah. Ini berkat doa dan nasihat orang tua dan dosenku, Pak Malik.


Cinta HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang