BAGIAN 18

1.7K 305 48
                                    

Selamat membaca

Auris menangkup wajahnya yang memerah disertai mata yang agak sembam. Ia menatap wajah melalui cermin kamar mandi lalu mengembuskan napas.

"Kenapa aku harus menangis, sih?"

Tatapannya turun memandang keran yang berada di wastafel kemudian memutar kerannya sehingga air mengucur. Ia membasuh mukanya berkali-kali lalu kembali menatap cermin.

"Aku memang masih menyukai Liam, tapi aku tidak ingin menjalin hubungan lagi dengannya kecuali antara Raja dan Orthess. Selain itu, apa yang akan kudapatkan jika dalam masalah seperti ini aku justru berangkat ke eksekusi bersamanya," gumam Auris sambil mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan.

"Hah, rambutku jadi berantakan," keluh Auris kemudian mulai merapikan rambutnya yang berantakan akibat ulahnya sendiri.

Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan napasnya perlahan. Ia tidak boleh bersikap kekanak-kanakan di depan orang tua Liam. Terkadang sikap manjanya hampir saja keluar ketika Kiera memeluknya dan menatapnya penuh kasih sayang. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Auris tidak pernah bermanja sama sekali dengan siapapun.

Merasa dirinya sudah rapi, Auris memilih keluar dari kamar mandi namun, alangkah terkejutnya dia ketika Liam berdiri di depan pintu dan menyandar di dinding sambil bersedekap tangan di dada.

Liam memperhatikan Auris. Rambut wanita itu sedikit berantakan dan wajahnya agak basah.

Liam mendekati Auris kemudian merapikan rambut wanita itu sambil bertanya, "Maafkan orang tuaku jika menyinggungmu."

"S-sejak kapan Yang Mulia berada di sini?"

"Sedari tadi," jawab Liam.

"Apa saja yang kau dengar?"

"Hah? Apa maksudmu? Aku hanya berdiri sambil memikirkanmu yang menangis di kamar mandi. Berhenti mencurigaiku, Auris," kata Liam setelah merapikan rambut Auris.

Padahal Auris kira rambutnya sudah rapi, ia jadi agak malu.

"Tidak, bukan begitu."

"Masih mau menangis?" tanya Liam sambil merentangkan kedua tangannya.

Pria itu menawarkan sebuah pelukan untuk Auris menangis, Liam selalu mengingatkannya pada masa-masa sulit yang pernah dialaminya.

Auris memalingkan wajahnya. " Tidak mau."

Liam menahan senyumnya kemudian meraih Auris dan mendekapnya hingga wanita itu terkejut.

Tidak butuh waktu lama Liam mendekap Auris kemudian melepaskannya.

"Hah, memelukmu membuatku lebih tenang," lirihnya.

"Ayo, pergi ke eksekusi," tutur Liam sambil mengenggam tangan Auris dan membawanya pergi dari sana.

****

Pensik adalah gelanggang terbuka yang biasa digunakan untuk mengeksekusi kriminal dengan mempertunjukkannya pada rakyat. Saat ini, Guillotine raksasa telah berdiri di atas stan. Dua orang pelaksana eksekusi terlihat berjaga di sisi kira dan kanan benda eksekusi tersebut.

Lalu Sion dan Liona menunduk malu ketika ratusan pasang mata memandang mereka yang dituntun naik ke atas stan tersebut. Bisikan berupa makian, hinaan dan ketidakpercayaan bergema di sekitar stand. Para rakyat seakan mengarungi stan tersebut. Bukan hanya Liona dan Sion yang sudah berada di atas sana bahkan Reito-ayah Liona telah bersimpuh dengan sepasang tangan yang diikat di balik punggungnya.

LIAM OSMOND✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang