Awan mendung pagi ini tak menyurutkan semangat si pemuda berkulit pucat itu yang kini sedang menuruni tangga. Ia sudah siap pergi ke sekolah. Sesekali ia menyisir rambutnya ke belakang karena poninya yang sudah mulai memanjang.
"Ren, sarapannya mau dibekal atau gimana?" tanya Bi Tina selaku asisten rumah tangga di rumahnya.
Dengan senyuman khasnya, Ren menggelengkan kepala. "Enggak usah Bi. Dimakan aja, jangan lupa bagi-bagi sama yang lain juga, biar enggak ngamuk macam sapi yang mau disembelih di hari raya, hahah ... Ren mau minta traktir aja sama Jaylani di kantin," katanya dengan senyuman lebar yang selalu terlukis di ranumnya.
Bi Tina terkekeh melihatnya. Memang, Ren ini adalah jelmaan neneknya, baik hati dan hangat. Tidak seperti Dewangga—ayahnya—yang memiliki kepribadian cuek. Beruntunglah Ren mewarisi sifat sang nenek walau terkadang menjengkelkan sebab Ren terlalu banyak bicara—bawel.
"Jangan lupa, di sekolah jangan terlalu pecicilan harus inget sama batasan. Ya, Nak?" Sudah seperti seorang ibu, Bi Tina menasehatinya dengan lembut.
Ren terdiam setelah meminum air madu yang disiapkan Bi Tina di atas meja. Ia pun bangkit dan tersenyum. "Ren berangkat ya, Bi?" pamitnya tanpa membahas pesan yang baru saja Bi Tina sampaikan. Ren bosan mendengar petuah yang selalu sama. Iya, Ren tahu ia banyak kekurangan, Ren juga tahu sampai mana batasannya. Tidak seharusnya orang-orang menyinggung soal itu. Kendati ia paham bahwa mereka mengkhawatirkannya, tetapi tetap saja Ren tidak suka.
"Hati-hati, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya."
"Nah, lo enggak tuli kan Ru? Denger apa kata Bi Tina barusan? Dilarang ngebut!" ujarnya berbicara kepada sang mobil yang dinamai Ren dengan nama Biru tersebut. Bi Tina hanya terkekeh melihat kelakuan random Ren yang terkadang berbicara pada benda mati.
Ren membuka pintu Jazz birunya lalu menyalakan mesin. "Daa Bi." Ren melambaikan tangannya kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan area pekarangan rumah. Lantas Bi Tina kembali ke dalam untuk menyelesaikan tugas hariannya.
☆☆☆
Sebenarnya Faza tidak tega meninggalkan ibunya sendirian setelah mereka berhasil menenangkan Gian yang baru saja marah besar karena ucapan pedas beberapa tetangga yang kebetulan sedang berbelanja di depan rumah. Bahkan ia hampir melukai orang-orang itu.
"Udah, Kakak kamu gak perlu di pikirin terus. Kamu berangkat sekolah aja sana, nanti malah kesiangan lagi." Sandra berujar lembut pada putra bungsunya.
Faza yang melihat senyuman manis ibunya pun jadi semakin merasa bersalah, tapi ia paksakan untuk menampilkan senyuman berdimple andalannya agar ibunya tidak khawatir juga terhadapnya.
"Tapi kan Mama harus kerja."
"Mama ambil kerjaannya ke rumah, nanti juga papa Dewa dateng kok jadi kamu enggak perlu khawatir lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara✔
FanfictionRenjana Lazuardi, si kesayangan Papa Dewangga, si penebar keceriaan, si pelipur lara, dan si luka tak kasat mata.