Pagi hari yang cerah telah menyambut Zia. Pagi-pagi, ia sudah berpakaian rapih. Namun, bukan untuk pergi kesekolah, melainkan menyambut kepulangan kedua orangtuanya.
Zia berjalan menggunakan bantuan tongkat agar lebih memudahkannya berjalan dan terhindar dari bahaya didepannya. Ia berusaha meraba-raba knop pintu untuk bisa membukanya.
Ceklek
Akhirnya terbuka. Namun, Zia tak bisa menuruni anak tangga sendirian, ia butuh bantuan Bi Asih.
'Menyusahkan' batinnya
"Bi.. Bi Asih.. bisa tuntun Zahra turun tangga?" Teriak Zia dari lantai atas. Bi Asih yang mendengar teriakan Zia langsung menyahut, "iya non.."
Sekarang Bi Asih telah tiba di hadapan Zia, "non Zahra mau ke ruang tamu atau ruang keluarga?" Zia menggeleng, "Zahra mau duduk di taman depan aja Bi. Suntuk banget pikiran Zahra sekarang."
Bi Asih menuntun Zia sampai di taman yang berada di depan halamannya, "mau Bi Asih temenin non?" Zia menggeleng, "Bi Asih kebelakang aja. Lanjutin pekerjaannya." Zia tersenyum tipis kearah Bi Asih. Bi Asih pun pergi melanjutkan pekerjaannya sesuai perintah dari Zia
Di sinilah Zia berada. Taman yang berada di sebelah garasi rumahnya, memang sangat tenang. Berbeda jika di taman belakang. Disana banyak sekali ocehan hewan peliharaan Zia dan Ayahnya, menjadikan pikirannya sedikit tidak tenang.
Zia menghela napasnya pasrah. Pasrah dengan kondisinya sekarang. Mata yang buta, dan menyusahkan semua orang--termasuk Alvaro.
"Gue emang udah gak berguna." Gumamnya
Deringan ponsel Zia bergetar di saku celananya. Ia mengambilnya dan langsung menggeser tombol hijau keatas. Memang Zia tak tahu siapa nama yang tertera disana. Namun mau tak mau, Zia harus mengangkatnya.
"Halo siapa?"
"Hikss.. i-- ini Bunda sayang. Bunda udah sampai di Bandara. Ini Bunda lagi nungguin Pak Agus datang. Hikss.. kamu-- kamu tungguin Bunda ya." Terdengar suara isakan tangis dari Bundanya. Zia mendengar itu. Meskipun ia buta, pendegarannya masih sangat lancar.
"Bunda nangis? Kenapa Bun?"
"Bunda gapapa, sayang. Hikss.. Bunda tutup telponnya ya."
"Iya Bun."
Tut
Sambungan diputuskan oleh Karin-Bunda Zia. Zia yang menyadari Bundanya menangis, sedikit ada rasa khawatir yang menyelimuti perasaannya. Namun apa daya, Zia tak bisa melakukan apapun di tengah kodisinya yang seperti ini.
"Gue emang orang yang nyusahin. Kenapa gue selalu bikin orang disekitar gue susah!" Setetes air mata Zia membasahi pipinya.
Ia baru sadar jika Alvaro akan datang ke rumahnya. Ia ingin menelponnya, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa sekarang. Mata yang buta sangat-sangat menyusahkan untuk Zia.
Tiba-tiba suara klakson dari pintu gerbang berbunyi nyaring. Siapa itu? Orangtuanya atau Alvaro?
"Sayang? Orangtua kamu udah dateng?"
Ternyata Alvaro lah yang datang. Zia menggeleng dan meraba-raba seperti ingin mengetahui keberadaan Alvaro, "belum, kamu dimana Ro?"
Alvaro langsung menarik tangan Zia lembut, "aku disini, sayang. Kita masuk kedalam aja ya." Zia mengangguk mengiyakan penuturan kekasihnya.
Kini Alvaro dan Zia sudah berada di ruang tamu. Alvaro menuntunnya untuk duduk secara perlahan dan hati-hati. Zia duduk di sebelah kiri Alvaro.
"Orangtua kamu udah di bandara?" Zia mengangguk, "iya. Lagi nunggu jemputan dari Pak Agus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ziarander
Teen FictionZia pernah berkata jika 'Semua cowok itu sama. Tidak ada yang tampan ataupun jelek. Ingat! Semuanya SAMA.' Apakah kata-kata itu masih tetap diucapkan oleh Zia setelah bertemu dengan cowok tampan, jail, dan ngeselin? Apakah hubungan mereka akan terus...