-20-

46 2 0
                                    

Satu minggu di rawat di rumah sakit bukannya menjadikan Alvaro sembuh namun malah bertambah stress. Disana ia selalu memikirkan keadaan Zia setelah ia memutuskan hubungannya. Akhirnya, terpaksa Alvaro meminta kedua orang tuanya untuk pulang dan menjalani istirahat dirumah saja.

Kini akhirnya ia telah pulang dari tempat menyebalkan itu. Ia duduk di kursi balkon kamarnya. Ia melihat matahari bersinar dengan terangnya. Hari ini ia tak sekolah, mungkin esok baru ia diperbolehkan masuk sekolah karena kemauan Alvaro sendiri.

Rayya, Wisnu, dan Noval juga sudah mengetahui keadaan Alvaro. Mereka senang akhirnya satu sahabatnya akan kembali bersekolah. Namun berbeda dengannya, ia ragu untuk masuk sekolah lagi. Ia tak mau bertemu dulu dengan Zia. Mengingat kejadian itu, membuat hatinya merasa ngilu.

Alvaro menghela nafasnya. Baru kali ini ia dihadapkan dengan masalah yang lumayan rumit. Keadaan beberapa hari yang lalu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Jika dulu ia memutuskan hubungan dengan Kayla sangat mudah, namun berbeda dengan ini. Ada rasa menyanggal di hatinya.

Jujur, Alvaro masih sangat mencintai Zia.

"Gue ... sakit, Zi." Gumamnya pelan. Ini semua ia lakukan juga demi kebaikan mereka berdua. Alvaro tak mungkin terus menerus melihat Zia menderita karenanya. Jika ia memilih hidup atau mati, sebaiknya ia mati. Namun takdir berkata lain, ia harus tetap hidup kembali ke dunia walau harus berpisah dengan Zia.

"Sayang?"

"Zia?" Ucapan spontan yang di ucapkan Alvaro membuat Bundanya terkekeh. Bagaimana bisa, ini suara Bundanya, namun Alvaro malah memanggilnya Zia.

"Ini Bunda, sayang." Disya terkekeh mendengar penuturan putranya. Alvaro menanggapinya dengan kekehan pula, "maaf, Bun."

"Kamu lagi ada masalah ya sama Zia?" Pertanyaan yang di lontarkan Disya sangat tepat menusuk hati Alvaro. Alvaro gugup. Ia mencoba menetralkan jantungnya dengan deheman pelan, "Bunda apaan sih."

"Coba selesain masalah dengan kepala dingin, sayang. Jangan dengerin omongan orang lain. Jangan dengerin omongan Ayah, kalo Bunda sih setuju aja kamu sama Zia, asalkan itu gak membebani hidup kamu." Disya bangkit dari duduknya. Ia mengacak rambut Alvaro, "jangan terlalu egois sama perempuan karena omongan orang lain. Jaga hati dan perasaannya." Disya pergi meninggalkan Alvaro setelah mengatakan itu.

Berbeda dengan Alvaro yang masih meresapi ucapan bundanya. Ia tak tahu bagaimana perasaan hati Zia saat ini. Ia sangat merasa bersalah padanya. Tapi takdir terus ingin membuat mereka berdua berpisah.

Alvaro menghela nafasnya lelah. Ia lelah dengan perasaannya. Tak mau memikirkan terlalu panjang, ia pun masuk ke dalam kamarnya.

***

Berbeda dengan permasalahan yang di alami Alvaro dan Zia, kini Kayla justru merasa menang. Berhari-hari ia menantikan kejadian ini. Kejadian dimana seseorang bisa ia dapatkan kembali.

"Gue kan uda bilang, jangan macem-macem sama gue ..." Ia tak melanjutkan kalimatnya. Kayla mengambil ponselnya di samping meja dan jarinya mulai mengetik sesuatu di sana.

Tercetak jelas senyum licik di bibirnya setelah mengetikkan sesuatu di ponselnya. Wanita licik akan selalu licik! Tak akan pernah berubah!

"Gue akan ambil semua yang gue mau meskipun gue uda punya yang lain."

***

Gemericik air kamar mandi terus mengguyur tubuh gadis yang sedang memejamkan matanya di sini. Sudah 10 menit ia tak keluar-keluar dari sini. Panggilan bundanya-Karin, belum sama sekali di responnya.

Ia menangis. Namun tangisannya bukan keluar dari mata, melainkan dari shower. Terlalu lama ia menangis sehingga air matanya tak lagi turun.

Tok-tok-tok

ZiaranderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang